Ramadan
dan Idul Fitri
Andre Moller ;
Penyusun Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Swedia
|
KOMPAS,
05 Juli 2014
TAMU tahunan nan agung yang selalu dinantikan umat Islam kini mengetuk
hati nurani kita lagi. Dari pagi sampai malam, orang saleh dan saleh-salehan
akan menghindari makanan lezat, minuman menyegarkan, pengucapan kata-kata tak
tak terpuji, perbuatan keji, dan bahasa Indonesia yang tidak atau kurang
benar. Spamduk (lihat kolom ”Bahasa” terbitan 18 Januari tahun ini) akan
mengotori ruang publik dengan sejumlah ucapan dan pesan moril, dan barangkali
tingkat korupsi akan menurun sedikit untuk waktu terbatas. Masjid-masjid akan
dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menunaikan salat sunah walaupun
sehari-hari mereka jarang melangsungkan salat wajib. Ya, bulan puasa datang
lagi.
Semestinya bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriah ini kita sebut
bagaimana? Ramadhan? Ramadhon? Ramadlan? Ramazan? Romadlon? Romadhan? Ada
peribahasa Swedia yang kira-kira berbunyi: ”anak yang disayang memiliki
banyak panggilan”, tapi kita tidak bisa sembunyi di belakang kata-kata yang
sok bijak dari benua lain. Mungkin kita ingin mengikuti ormas kesukaan kita
dalam masalah penyebutan bulan puasa, sebagaimana kita ingin mengikuti
cara-cara mereka menentukan awal dan akhir bulan. Hanya saya, ormas-ormas
tidak konsisten dalam penggunaan kata. Begitu pula dengan koran dan stasiun
televisi. Kiai, dai, dan khatib juga tidak konsisten. Bisa saja mereka semua
tidak konsisten karena mereka tahu bahwa intisari bulan puasa tidak terletak
pada cara penulisannya. Bisa saja mereka menyadari bahwa penyalahketikan
tidak akan jadi rintangan bagi kaum yang ingin kembali ke fitrahnya. Bisa
saja mereka menginsafi bahwa masalah ejaan tidak dibahas secara panjang lebar
oleh Bukhari ataupun Muslim.
Di pihak lain, kita berhak merenungkan penyebutan bulan puasa ini, dan
kita juga berhak memberikan rekomendasi. Kalau tidak, bisa jadi kita
menemukan bentuk seperti Ramadzlon atau Romadlzoon dalam waktu dekat. Seperti
biasa, tidak salah kalau kita menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
mengikuti pola yang kita temukan di sana. Menariknya, kita menemukan bentuk
yang tidak begitu sering muncul di Indonesia, yakni Ramadan. Dengan kata
lain, semua vokal dalam kata ini ditransliterasi sebagai a, dan huruf
kelimabelas (dad) dalam abjad Arab ditransliterasi sebagai d. Itu berarti
bahwa huruf dad ini tidak dibedakan dalam penulisan bahasa Indonesia dari
huruf Arab yang kedelapan, yakni dal. Ini dibuktikan dari, misalnya, kata
fardu. Huruf d dalam kata ini tidak sama seperti huruf d dalam Ramadan, tapi
penulisannya ternyata tetap sama. Ini juga berarti bahwa kata pertama dalam
ormas NU dalam pandangan KBBI akan ditulis nahdatul dan tidak nahdlatul.
Huruf d dalam kata Idulfitri juga tidak sama seperti d dalam Ramadan,
tapi tetap saja ditulis seperti d biasa. Hanya saja, sekali-kali jangan tulis
”Selamat Idul Fitri” dalam kartu Lebaran, SMS, atau pesan-pesan di media
sosial. Mengapa? Karena idul bukan kata dalam bahasa Indonesia. Idul ini
tidak bisa berdiri sendiri, dan dengan demikian tidak eksis sebagai kata,
tapi mesti digabungkan dengan fitri atau adha. Id, di pihak lain, adalah kata
yang baku, dan dengan demikian kita bisa salat id atau mengucapkan id mubarak
tanpa kehilangan muka.
Nah, jika Anda sekarang sedang siap-siap untuk membuat spamduk, mohon
pilihlah ejaan berikut untuk kreasi Anda: Ramadan, salat, tarawih, Idulfitri,
hadis, daif, dan wudu.
Mohon maafkan batin dan lahir saya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar