Sabtu, 05 Juli 2014

Tayangan TV yang Melenakan

                                  Tayangan TV yang Melenakan

M Abdul Rozak ;   Direktur Walisongo TV IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA,  03 Juli 2014
                                                


Ketika Ramadan tiba, stasiun televisi sibuk menawarkan definisi lain tentang ibadah puasa. Definisi yang menjauh dari ihwal akidah, lepas dari syariat, dan mengaburkan konsep iman. Definisi itu lebih merapat pada kehendak hedonis, yang memandang segala sesuatu tak lebih dari perkara gaya hidup, persoalan jasmaniah.

Yang penting bukan lagi soal rohaniah, nilai sakral ibadah melainkan bagaimana melunasi kebutuhan jasmaniah, memanjakan selera belanja (konsumtif). Ini seperti mengamini atas patologi modernitas, penyakit yang ditumbuhkan kapitalisme. Muslim yang berjumlah ratusan juta di negeri ini, yang mestinya menjadikan puasa Ramadan itu sebagai ibadah momentum penting mendekatkan diri kepada Ilahi perlahan-lahan dan pasti mengamini definisi yang ditawarkan televisi.

Sebagian muslim beranggapan menjadi komsumtif atas barang dan jasa akan memajukan dunia industri. Budaya itu malah membuat perekonomian nasional tumbuh lebih baik. ”Kenapa saat puasa justru pengeluaran rumah tangga bertambah?” Ada nada kebingungan, tentu. Bukankah puasa seharusnya membuat umat Islam bisa berhemat? Kenyataannya justru terbalik, makin banyak membelanjakan uang.

Mungkin ini bukan berarti kaum kapitalisme sukses mendangkalkan makna ibadah puas melainkan lantaran sebagian umat Islam terlanjur meyakini nilai yang keliru tentang ibadah puasa. Keyakinan itu baru sebatas proses menahan lapar dan dahaga. Dalam konteks itu, mereka menganggap ada pengorbanan luar biasa, mengekang diri.

Mengingat merasa sudah berkorban banyak hal, mereka menuntut perlakuan lebih. Soal makan misalnya, orang berpuasa ingin makanan dan minuman yang lebih enak dari biasanya. Ada kemanjaan luar biasa. Lebih parah lagi, ada privilese. Orang yang berpuasa bukan saja minta dihormati secara istimewa melainkan juga terhadap orang lain yang tidak berpuasa, untuk bersedia berkorban untuk mereka. Inilah yang ditangkap pengelola stasiun televisi.

Mereka memanjakan orang yang berpuasa dengan sekian banyak kelebihan. Lewat aneka pesan tentang produk barang dan jasa dalam bentuk iklan, orang yang berpuasa dijanjikan memperoleh kepuasan lebih selama 30 hari. Ada diskon yang mencengangkan bagi mereka yang akan merayakan Lebaran. Semuanya melenakan, membuat tiap orang yang berpuasa merasa sebagai raja.

Kedekatan dalam tataran akidah, umat Islam harus selalu bertanggung jawab, baik secara individu maupun sosial (fardu kifayah). Dengan begitu puasa juga persoalan privatisasi. Dengan menahan lapar dan dahaga selama sekian jam, manusia diharapkan bisa menyelami makna lapar dan dahaga bukan semata sebagai akibat ketiadaan pangan dan air.

Tapi televisi kita menghendaki agar umat Islam menganggap kedekatan terhadap Sang Pencipta bukan tujuan pragmatis. Bisa menikmati ragam produk industri barang dan jasa, sembari mengamini apa yang dicitrakan kaum kapitalis bahwa barang dan jasa itu bernuansa Islami, merupakan satu-satunya yang harus diraih.

Pasar Potensial

Kaum kapitalisme memandang puasa Ramadan sebagai pasar potensial bagi keberlangsungan industri. Jutaan muslim di negeri ini digarap sebagai konsumen atas produk barang dan jasa berkait bulan suci itu. Nilai kesucian tak perlu terlalu melekat pada barang dan jasa tersebut, cukup hanya mengandung nuansa Islam.

Iklan barang dan jasa di layar televisi dirancang sedemikian rupa, menampilkan ikon bernuansa agama Islam. Inilah yang ”dikeluhkan” Ziauddin Sardar dalam buku Information and the Muslim World: AS trategy fot the Twenty-first Century (1988) sehingga ia menyebut abad informasi bukanlah rahmat bagi umat Islam.

Maka, bagi negeri kita, dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia, menerima kemajuan teknologi tak bisa dilakukan tanpa tindakan penuh pertimbangan. Bila tidak, perlahan-lahan namun pasti, kemajuan teknologi informasi malah mendangkalkan akidah seperti terjadi saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar