Tayangan
TV yang Melenakan
M Abdul Rozak ; Direktur Walisongo TV
IAIN Walisongo Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 03 Juli 2014
Ketika Ramadan tiba, stasiun televisi sibuk menawarkan definisi
lain tentang ibadah puasa. Definisi yang menjauh dari ihwal akidah, lepas
dari syariat, dan mengaburkan konsep iman. Definisi itu lebih merapat pada
kehendak hedonis, yang memandang segala sesuatu tak lebih dari perkara gaya
hidup, persoalan jasmaniah.
Yang penting bukan lagi soal rohaniah, nilai sakral ibadah
melainkan bagaimana melunasi kebutuhan jasmaniah, memanjakan selera belanja
(konsumtif). Ini seperti mengamini atas patologi modernitas, penyakit yang
ditumbuhkan kapitalisme. Muslim yang berjumlah ratusan juta di negeri ini,
yang mestinya menjadikan puasa Ramadan itu sebagai ibadah momentum penting
mendekatkan diri kepada Ilahi perlahan-lahan dan pasti mengamini definisi
yang ditawarkan televisi.
Sebagian muslim beranggapan menjadi komsumtif atas barang dan
jasa akan memajukan dunia industri. Budaya itu malah membuat perekonomian
nasional tumbuh lebih baik. ”Kenapa saat puasa justru pengeluaran rumah
tangga bertambah?” Ada nada kebingungan, tentu. Bukankah puasa seharusnya
membuat umat Islam bisa berhemat? Kenyataannya justru terbalik, makin banyak
membelanjakan uang.
Mungkin ini bukan berarti kaum kapitalisme sukses mendangkalkan
makna ibadah puas melainkan lantaran sebagian umat Islam terlanjur meyakini
nilai yang keliru tentang ibadah puasa. Keyakinan itu baru sebatas proses
menahan lapar dan dahaga. Dalam konteks itu, mereka menganggap ada
pengorbanan luar biasa, mengekang diri.
Mengingat merasa sudah berkorban banyak hal, mereka menuntut
perlakuan lebih. Soal makan misalnya, orang berpuasa ingin makanan dan
minuman yang lebih enak dari biasanya. Ada kemanjaan luar biasa. Lebih parah
lagi, ada privilese. Orang yang berpuasa bukan saja minta dihormati secara
istimewa melainkan juga terhadap orang lain yang tidak berpuasa, untuk
bersedia berkorban untuk mereka. Inilah yang ditangkap pengelola stasiun
televisi.
Mereka memanjakan orang yang berpuasa dengan sekian banyak
kelebihan. Lewat aneka pesan tentang produk barang dan jasa dalam bentuk
iklan, orang yang berpuasa dijanjikan memperoleh kepuasan lebih selama 30
hari. Ada diskon yang mencengangkan bagi mereka yang akan merayakan Lebaran.
Semuanya melenakan, membuat tiap orang yang berpuasa merasa sebagai raja.
Kedekatan dalam tataran akidah, umat Islam harus selalu
bertanggung jawab, baik secara individu maupun sosial (fardu kifayah). Dengan begitu puasa juga persoalan privatisasi.
Dengan menahan lapar dan dahaga selama sekian jam, manusia diharapkan bisa
menyelami makna lapar dan dahaga bukan semata sebagai akibat ketiadaan pangan
dan air.
Tapi televisi kita menghendaki agar umat Islam menganggap
kedekatan terhadap Sang Pencipta bukan tujuan pragmatis. Bisa menikmati ragam
produk industri barang dan jasa, sembari mengamini apa yang dicitrakan kaum
kapitalis bahwa barang dan jasa itu bernuansa Islami, merupakan satu-satunya
yang harus diraih.
Pasar Potensial
Kaum kapitalisme memandang puasa Ramadan sebagai pasar potensial
bagi keberlangsungan industri. Jutaan muslim di negeri ini digarap sebagai
konsumen atas produk barang dan jasa berkait bulan suci itu. Nilai kesucian
tak perlu terlalu melekat pada barang dan jasa tersebut, cukup hanya
mengandung nuansa Islam.
Iklan barang dan jasa di layar televisi dirancang sedemikian
rupa, menampilkan ikon bernuansa agama Islam. Inilah yang ”dikeluhkan”
Ziauddin Sardar dalam buku Information
and the Muslim World: AS trategy fot the Twenty-first Century (1988)
sehingga ia menyebut abad informasi bukanlah rahmat bagi umat Islam.
Maka, bagi negeri kita, dengan penduduk beragama Islam terbanyak
di dunia, menerima kemajuan teknologi tak bisa dilakukan tanpa tindakan penuh
pertimbangan. Bila tidak, perlahan-lahan namun pasti, kemajuan teknologi
informasi malah mendangkalkan akidah seperti terjadi saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar