Sabtu, 05 Juli 2014

Proklamasi Prematur ISIL

                                        Proklamasi Prematur ISIL

Ibnu Burdah ;   Pemerhati masalah Timur Tengah dan dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga, Penulis buku “Islam Kontemporer: Revolusi dan Demokratisasi”
SUARA MERDEKA,  03 Juli 2014
                                                


PROKLAMASI pendirian khilafah Islam di sebagian wilayah Irak dan Suriah menggambarkan kepercayaan diri yang tinggi dari kelompok militan ISIL/ISIS. Mereka memang telah menguasai seluruh Irak utara, kecuali wilayah Kurdistan, sebagian wilayah tengah, dan hampir seluruh Irak bagian barat.

Praktis kelompok garis keras tersebut telah mengepung Baghdad dari berbagai penjuru. Kelompok ini biasa disebut Daisy (akronim dari Daulah Islamiyyah fil Iraq wa Syam/Islamic State in Iraq and Levant/ISIL). Dari nama itu, tercermin cita-cita menguasai Irak dan negara-negara Bulan Sabit Subur (Levant/al-hilal al-ahmar).

Wilayah itu menembus sejumlah negara, tak hanya Irak dan Suriah tapi juga sejumlah negara kecil di sekitarnya, termasuk Lebanon. Wilayah operasi awal mereka adalah Irak dan Suriah. Keberlipatan kemampuan dan capaian akhir-akhit ini membuat mereka seperti ”mabuk” kemenangan. Mereka mengambil langkah sangat tak realistis. Mereka membuat proklamasi berdirinya negara Islam dan memperluas wilayah yang dicitacitakan. Melalui jubirnya al-Adnani, mereka mengumumkan kelahiran negara baru yang dipimpin seorang khalifah.

Mereka mengklaim bahwa ahlul halli wal aqdi (semacam perwakilan) masyarakat Islam, telah membaiat pemimpin mereka, yang mereka sebut al-Syekh al-Mujahid Abu Bakar al-Baghdadi. Ia khalifah yang mesti ditaati oleh seluruh kekuatan dan umat Islam sedunia. Proklamasi negara Islam itu menunjukkan kepercayaan diri yang luar biasa. Bahwa mereka bukan hanya akan memimpin Baghdad melainkan seluruh dunia Islam.

Semua kekuatan umat Islam, menurut mereka, harus memilih antara patuh atau menjadi musuh. Sejatinya, tindakan Daisy tersebut terlalu ceroboh, bahkan menjurus bodoh. Benar bahwa dengan proklamas, militansi pengikut mereka berlipat. Itu berarti positif bagi upaya mereka untuk tak letih merebut wilayah-wilayah yang ada di sekitar kekuasaan mereka.

Tapi mereka mestinya sadar bahwa kekuatan mereka itu tak seberapa dibanding sebuah negara yang cukup mapan. Taruhlah dibanding Iran, Turki, dan negara-negara sekitarnya. Faktanya, mereka tak berdaya berhadapan dengan pasukan Assad di Suriah padahal mereka bekerja sama dengan banyak kekuatan oposisi lain. Mereka berhasil dengan cepat menguasai sebagian wilayah Irak itu karena banyak faktor.

Bukan semata-mata kekuatan mereka melainkan karena kekuatan dalam negeri Irak telah terpecah, dan masing-masing kelompok memiliki tentara atau milisi. Saham kelompok militan Sunni di luar mereka termasuk eks tentara Saddam dan kekuatan suku-suku anti-Maliki sangatlah besar.

Tak ada jaminan mereka dapat menembus Irak utara dengan mudah tanpa bantuan kekuatan-kekuatan itu. Proklamasi pendirian negara Irak ini justru kontraproduktif bagi upaya mewujudkan cita-cita. Hampir bisa dipastikan, sekutu-sekutu mereka, baik di Irak maupun Suriah akan mengambil jarak sejenak untuk mengambil sikap. Sebagian sekutu kemungkinan meninggalkan, dan berbalik memerangi. Pasalnya, kelompok-kelompok militan biasanya memiliki organisasi sangat otonom yang sulit diintervensi, apalagi disuruh tunduk kepada kelompok lain.

Musuh Bersama

Skenario semacam itu telah terjadi di Suriah. Mereka akhirnya menjadi musuh bersama kelompok oposisi moderat, bahkan musuh Jabhah al-Nushrah, organisasi garis keras juga.

Padahal, mereka semua adalah satu barisan dalam menghadapi Assad. Di Irak, sangat mungkin mereka segera ditinggalkan oleh kawan-kawannya. Milisi Sunni ekstrem yang kebanyakan bekas loyalis Saddam adalah orang-orang berideologi Baathis (nasionalisme Arab sekuler). Demikian pula, kelompok-kelompok suku di Irak juga memiliki struktur otonom yang seringkali otoritas mereka tak bisa ditembus negara.

Bagaimana mereka mau tunduk pada kemauan kelompok agama superekstrem ini? Keberanian mereka mendirikan negara Islam yang menuntut semua kekuatan lain tunduk kepadanya juga bisa menjadi masalah besar dengan tandzim Al-Qaedah pusat atau sayap-sayap lainnya. Tradisi kelompok militan adalah tradisi minus kompromi. Karena itu, sikap sepihak Daisy, kendati sekarang sangat kuat, bisa memicu permusuhan serius dengan jaringan Al-Qaedah yang pada gilirannya memperlemah mereka.

Proklamasi itu justru menyudutkan mereka dalam konteks konstelasi kawasan. Sebagian kekuatan besar kawasan, taruhlah Arab Saudi, Qatar, dan sejumlah negara ”Sunni” anti-Syiah lain selama ini cenderung ”membela” pergerakan kelompok-kelompok yang merebut sejumlah kota di Irak itu. Mereka terus mempersalahkan pemerintah Maliki dan jaringan Syiah kawasan sebagai biang dari apa yang terjadi di Irak.

Bukan sepak-terjang kelompok ini yang dipersalahkan. Gambaran sikap ini dengan sangat mudah dicermati dari ”opini” televisi-televisi resmi negara-negara itu. Dengan sikap yang terlalu PD dan angkuh ini, sikap negara-negara dan kekuatan yang semula memandang positif gerakan mereka melawan Maliki, bisa berubah drastis.

Mereka akan dipandang sebagai ancaman, dan itu bisa berarti isolasi. Yang paling gawat bagi kelompok militan seperti itu adalah diputusnya logistik dan sumber-sumber pendanaan. Jika demikian, proklamasi negara Islam itu menjadi prematur yang bisa menjadi titik awal kelenyapan mereka dari peta kekuatan Timur Tengah dan dunia Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar