Proklamasi
Prematur ISIL
Ibnu Burdah ; Pemerhati masalah
Timur Tengah dan dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga, Penulis buku “Islam
Kontemporer: Revolusi dan Demokratisasi”
|
SUARA
MERDEKA, 03 Juli 2014
PROKLAMASI pendirian khilafah Islam di sebagian wilayah Irak dan
Suriah menggambarkan kepercayaan diri yang tinggi dari kelompok militan
ISIL/ISIS. Mereka memang telah menguasai seluruh Irak utara, kecuali wilayah
Kurdistan, sebagian wilayah tengah, dan hampir seluruh Irak bagian barat.
Praktis kelompok garis keras tersebut telah mengepung Baghdad
dari berbagai penjuru. Kelompok ini biasa disebut Daisy (akronim dari Daulah
Islamiyyah fil Iraq wa Syam/Islamic State in Iraq and Levant/ISIL). Dari
nama itu, tercermin cita-cita menguasai Irak dan negara-negara Bulan Sabit
Subur (Levant/al-hilal al-ahmar).
Wilayah itu menembus sejumlah negara, tak hanya Irak dan Suriah
tapi juga sejumlah negara kecil di sekitarnya, termasuk Lebanon. Wilayah
operasi awal mereka adalah Irak dan Suriah. Keberlipatan kemampuan dan
capaian akhir-akhit ini membuat mereka seperti ”mabuk” kemenangan. Mereka
mengambil langkah sangat tak realistis. Mereka membuat proklamasi berdirinya
negara Islam dan memperluas wilayah yang dicitacitakan. Melalui jubirnya
al-Adnani, mereka mengumumkan kelahiran negara baru yang dipimpin seorang
khalifah.
Mereka mengklaim bahwa ahlul
halli wal aqdi (semacam perwakilan) masyarakat Islam, telah membaiat
pemimpin mereka, yang mereka sebut al-Syekh al-Mujahid Abu Bakar al-Baghdadi.
Ia khalifah yang mesti ditaati oleh seluruh kekuatan dan umat Islam sedunia.
Proklamasi negara Islam itu menunjukkan kepercayaan diri yang luar biasa.
Bahwa mereka bukan hanya akan memimpin Baghdad melainkan seluruh dunia Islam.
Semua kekuatan umat Islam, menurut mereka, harus memilih antara
patuh atau menjadi musuh. Sejatinya, tindakan Daisy tersebut terlalu ceroboh,
bahkan menjurus bodoh. Benar bahwa dengan proklamas, militansi pengikut
mereka berlipat. Itu berarti positif bagi upaya mereka untuk tak letih
merebut wilayah-wilayah yang ada di sekitar kekuasaan mereka.
Tapi mereka mestinya sadar bahwa kekuatan mereka itu tak
seberapa dibanding sebuah negara yang cukup mapan. Taruhlah dibanding Iran,
Turki, dan negara-negara sekitarnya. Faktanya, mereka tak berdaya berhadapan
dengan pasukan Assad di Suriah padahal mereka bekerja sama dengan banyak
kekuatan oposisi lain. Mereka berhasil dengan cepat menguasai sebagian
wilayah Irak itu karena banyak faktor.
Bukan semata-mata kekuatan mereka melainkan karena kekuatan
dalam negeri Irak telah terpecah, dan masing-masing kelompok memiliki tentara
atau milisi. Saham kelompok militan Sunni di luar mereka termasuk eks tentara
Saddam dan kekuatan suku-suku anti-Maliki sangatlah besar.
Tak ada jaminan mereka dapat menembus Irak utara dengan mudah
tanpa bantuan kekuatan-kekuatan itu. Proklamasi pendirian negara Irak ini
justru kontraproduktif bagi upaya mewujudkan cita-cita. Hampir bisa
dipastikan, sekutu-sekutu mereka, baik di Irak maupun Suriah akan mengambil
jarak sejenak untuk mengambil sikap. Sebagian sekutu kemungkinan
meninggalkan, dan berbalik memerangi. Pasalnya, kelompok-kelompok militan
biasanya memiliki organisasi sangat otonom yang sulit diintervensi, apalagi
disuruh tunduk kepada kelompok lain.
Musuh Bersama
Skenario semacam itu telah terjadi di Suriah. Mereka akhirnya
menjadi musuh bersama kelompok oposisi moderat, bahkan musuh Jabhah al-Nushrah, organisasi garis
keras juga.
Padahal, mereka semua adalah satu barisan dalam menghadapi
Assad. Di Irak, sangat mungkin mereka segera ditinggalkan oleh
kawan-kawannya. Milisi Sunni ekstrem yang kebanyakan bekas loyalis Saddam
adalah orang-orang berideologi Baathis (nasionalisme Arab sekuler). Demikian
pula, kelompok-kelompok suku di Irak juga memiliki struktur otonom yang
seringkali otoritas mereka tak bisa ditembus negara.
Bagaimana mereka mau tunduk pada kemauan kelompok agama
superekstrem ini? Keberanian mereka mendirikan negara Islam yang menuntut semua
kekuatan lain tunduk kepadanya juga bisa menjadi masalah besar dengan tandzim
Al-Qaedah pusat atau sayap-sayap lainnya. Tradisi kelompok militan adalah
tradisi minus kompromi. Karena itu, sikap sepihak Daisy, kendati sekarang sangat kuat, bisa memicu permusuhan
serius dengan jaringan Al-Qaedah yang pada gilirannya memperlemah mereka.
Proklamasi itu justru menyudutkan mereka dalam konteks
konstelasi kawasan. Sebagian kekuatan besar kawasan, taruhlah Arab Saudi,
Qatar, dan sejumlah negara ”Sunni” anti-Syiah lain selama ini cenderung
”membela” pergerakan kelompok-kelompok yang merebut sejumlah kota di Irak
itu. Mereka terus mempersalahkan pemerintah Maliki dan jaringan Syiah kawasan
sebagai biang dari apa yang terjadi di Irak.
Bukan sepak-terjang kelompok ini yang dipersalahkan. Gambaran
sikap ini dengan sangat mudah dicermati dari ”opini” televisi-televisi resmi
negara-negara itu. Dengan sikap yang terlalu PD dan angkuh ini, sikap
negara-negara dan kekuatan yang semula memandang positif gerakan mereka
melawan Maliki, bisa berubah drastis.
Mereka akan dipandang sebagai ancaman, dan itu bisa berarti
isolasi. Yang paling gawat bagi kelompok militan seperti itu adalah
diputusnya logistik dan sumber-sumber pendanaan. Jika demikian, proklamasi
negara Islam itu menjadi prematur yang bisa menjadi titik awal kelenyapan
mereka dari peta kekuatan Timur Tengah dan dunia Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar