Selasa, 08 Juli 2014

Politik Kita dan Revolusi Perancis

                            Politik Kita dan Revolusi Perancis

Fachry Ali  ;   Salah Satu Pendiri LSPEU
KOMPAS,  07 Juli 2014
                                                


EMA Indriana, murid kelas II MAN 9, Duren Sawit, Jakarta Timur, bercerita tentang sejarah Revolusi Perancis 1789 dan kemunculan Napoleon Bonaparte yang menyatakan diri kaisar pada 1804.

Ia mengaitkan peristiwa abad ke-18 itu dengan konteks regional, global, dan nasional: pemilihan presiden dewasa ini. Saya tertegun. Bukankah efek revolusi itu secara tak langsung berpotensi mempertajam perspektif melihat aspek struktur yang sama dalam politik-ekonomi menjelang dan pasca pilpres di sini?

Revolusi Perancis adalah produk diskrepansi struktural, ketika kekuasaan ancien règime (pemerintahan kuno) yang terpecah dan terbagi di tangan raja, bangsawan penguasa lokal, pemuka agama, dan aktor ekonomi gagal menampung dan menyalurkan energi ekonomi, politik, dan sosial-budaya kekuatan masyarakat (petani dan kaum borjuasi kota) ke dalam industrialisasi.

Di tingkat perdesaan, meski skala ekonominya setara dengan wol, komoditas andalan Inggris untuk industrialisasi, minuman anggur Perancis pada abad ke-18, tidak mendorong proses produksi bersifat mekanis. Aktivitas pemikir terkenal Perancis, Montesqiue, sebagai pelobi anggur tidak berpengaruh. Yang berlaku sebaliknya: penurunan pajak masuk barang olahan Inggris pada 1786 dan penghapusan hambatan perdagangan gandum pada 1787. Semua ini kian menghambat industrialisasi Perancis.

Luputnya Perancis dari industrialisasi berdasarkan sumber daya pertanian ini justru memperkukuh energi antagonistis perdesaan. Dasarnya adalah karena itu berarti mengawetkan sistem hubungan feodalisme yang menindas petani. Praktik yang telah berlangsung ratusan tahun ini memperbesar benih kebencian terhadap ancien règime di kawasan perdesaan.

Hal yang sebetulnya mirip terjadi di wilayah perkotaan. Untuk memperoleh dukungan finansial, negara mempraktikkan penjualan jabatan pemerintah kepada pihak swasta, kaum borjuasi. Secara otomatis praktik yang terdeteksi sejak abad ke-17 ini menghamburkan sumber daya finansial yang mestinya diinvestasikan di sektor komersial dan industri.

”Blokade” struktural ke arah industrialisasi ini mematangkan kesadaran politik wilayah perkotaan melalui jalan tak langsung. Penjualan jabatan pemerintah adalah politik status quo. Dalam arti, melalui itu kaum borjuasi terintegrasi ke dalam struktur kehidupan kebangsawanan.

Namun, justru oleh itu terjadi infiltrasi elemen reformis ke sistem monarki. Melalui Barrington Moore diperoleh keterangan bahwa di bawah Louis XVI jabatan pemerintah telah jadi pusat utama rekrutmen nirbangsawan ke dalam pemerintahan. Dari 943 parlementaires yang direkrut sepanjang 1774-1789 dan bertahan hingga 1790, sebanyak 394 (42 persen) bekas roturiers (orang biasa) yang jadi bangsawan karena posisi baru mereka.

Ini berarti, elemen revolusioner telah bersarang dalam jantung ancien règime. Energi sosial-ekonomi petani yang tersumbat sistem feodalisme selama ratusan tahun, ketidakjelasan ekonomi kaum borjuasi perkotaan, dan kegelisahan kaum bangsawan tiban (tiba-tiba) di dalam negara, terkonsolidasi ke dalam bentuk perlawanan frontal dan meledak dalam bentuk revolusi.

Hasil nyata Revolusi Perancis adalah, dalam sebutan Marx, hancurnya sampah abad pertengahan tatanan kekuasaan lama, yaitu lembaga dan aktor dominan prarevolusi dan tampilnya peran pemilik tanah menengah dan kecil di perdesaan bersama dengan menu peuple ’gabungan massa kecil’ dan sans colletes ’pedagang kecil beraspirasi terlaksananya sistem ekonomi pasar’ perkotaan, kaum borjuasi profesional, dan cendekiawan secara dominan.

Apa relevansinya dengan Indonesia? Dalam ”Surviving the Meltdown: Liberal Reform and Political Oligarchy in Indonesia”, dimuat dalam Politics and Market in the Wake of Asia Crisis (2000), Richard Robison dan Andrew Rosser menyatakan bahwa Reformasi 1998 yang menjatuhkan kekuasaan Orde Baru (1967-1998) adalah refleksi kegagalan negara menyesuaikan diri ke dalam sistem pasar liberal sebab sistem pasar liberal bukan hanya mekanisme mencapai rasionalisme alokasi sumber daya saja, juga alat membangun dan mengalokasikan kekuasaan.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama hampir tiga dekade pembangunan Orde Baru adalah isyarat peralihan orientasi ekonomi ke dalam sistem pasar liberal. Peralihan yang sempurna ini luput terjadi karena itu berarti merombak kekuasaan dan hak-hak istimewa oligarki Orde Baru.

Revolusi ala Indonesia

Dilihat dari konteks ini, Reformasi 1998 mirip dengan Revolusi Perancis hampir 200 tahun lalu itu. Jika yang terakhir ini gagal melakukan industrialisasi ketika syaratnya telah terpenuhi, rezim Orde Baru enggan melangkah ke arah pasar bebas karena mengganggu kepentingan kekuatan ekonomi-politik yang telah lama bercokol. Dalam beberapa hal hasil Reformasi 1988 juga mirip dengan Revolusi Perancis: munculnya kaum borjuasi kota secara dominan dalam panggung politik nasional.

Indonesia pasca Reformasi menyaksikan kemunculan masif kaum borjuasi kota melalui partai politik baru sebab pra-Reformasi hanya sedikit yang mengenal Muhaimin Iskandar, Hatta Rajasa, Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, Jero Wacik, Marzuki Alie, dan lainnya di jajaran elite nasional. Rasanya amat kecil peluang kemunculan kaum borjuasi kota ini tanpa Reformasi dan kemunculan partai politik baru.

Akan tetapi, jika Revolusi Perancis ditandai lenyapnya medieval rubbish dan tampil dominannya menu peuple di perkotaan bersama dengan pemilik tanah kecil di perdesaan, Reformasi 1998 justru telah membuat aktor kapitalis Orde Baru bukan saja sintas, bahkan bebas dari tekanan negara. Sebagian kaum kapitalis produk Orde Baru ini bermigrasi ke dunia politik dan melalui itu mereka berpotensi memasuki jantung negara. Dibandingkan dengan masa Orde Baru, modal ekonomi lebih menjadi energi politik pasca Reformasi.

Reformasi 1998 melahirkan negara lemah. Sistem demokrasi yang dikenakan telah membongkar kekuasaan memusat negara. Pelemahan ini kian parah oleh latar global kapitalisme dan politik georegional.

Kedua hal terakhir ini penting dicatat. Dalam latar global kapitalisme, negara tak mampu jadi aktor bagi dirinya. Usaha negara melakukan semi-industrialisasi sektor ekstraktif, yaitu mewajibkan korporasi membangun smelter, misalnya, tak berjalan sesuai dengan rencana karena dihambat investor kapitalis global. Dalam konteks georegional, pertumbuhan ekonomi yang kian disumbang pertumbuhan sektor padat modal telah mereduksi penyerapan tenaga kerja. Akibatnya, kelebihan tenaga kerja tak terdidik berhamburan ke negara tetangga. Ketegangan regional yang diakibatkan konflik tenaga kerja di perantauan telah memberi kesan Indonesia negara ”lemah”.

Polarisasi

Dalam suasana semacam inilah Pilpres 2014 berlangsung. Bagaimana kita menyimaknya dari perspektif Revolusi Perancis? Melalui lukisan Skocpol, kita bisa membuat skenario pilihan antara godaan negara besar dan/atau negara berbasis partisipasi rakyat pasca pilpres, yakni ketika Skocpol melukiskan kecilnya dukungan politik atas rezim Directorate, yang muncul pada 1795 menggantikan Kaum Montagards, sehingga terpaksa beraliansi dengan kaum militer menstabilkan efek Revolusi. Aliansi dengan kaum militer yang bermaksud menciptakan Perancis sebagai negara besar Eropa inilah yang melahirkan kepemimpinan Napoleon Bonaparte, jenderal yang mengangkat dirinya kaisar pada 1804 dan mengobarkan perang di Eropa sampai dihentikan pada 1814.

Citra lemahnya negara di tingkat domestik, regional, dan internasional pasca Reformasi 1998 mengingatkan kita pada dilema rezim Directorate Perancis akhir abad ke-18 itu. Itu sebabnya sebagian politisi dan kaum borjuasi kota ”tergoda” memimpikan lahirnya seorang pemimpin tegas dan mampu mengangkat wibawa negara dalam Pilpres 2014. Pada saat sama, becermin pada pergerakan rakyat gabungan  métairie (kaum petani pemilik tanah kecil) dan sans colletes (pedagang kecil beraspirasi terlaksananya sistem ekonomi pasar) dalam revolusi serupa, musim pilpres ini juga memperlihatkan kebangkitan dan partisipasi rakyat secara genuine mendukung pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Partisipasi kalangan terakhir ini bahkan telah menciptakan sejarah: mengumpulkan dana dukungan untuk calon pemimpin mereka lebih dari Rp 47 miliar.

Akankah Indonesia masuk dalam godaan negara besar atau negara berbasis partisipasi rakyat akan bergantung pada apakah Prabowo Subianto atau Joko Widodo (Jokowi) yang terpilih menjadi presiden dalam Pemilu 9 April 2014. Yang jelas, di luar efek Revolusi Perancis, melalui kemunculan Jokowi, untuk kali pertama terlihat polarisasi preferensi politik tegas antara rakyat jelata dan kalangan kelas menengah ke atas di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar