Tak
Ada Lagi Orang Suci
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS,
08 Juli 2014
POLITIK uang yang menggila dalam pileg lalu sangat mungkin terulang
dalam Pilpres 9 Juli besok. Bahkan bisa lebih brutal. Jabatan presiden adalah
kunci pembuka ruang untuk berkuasa.
Siapa pun akan mengerahkan kemampuan finansialnya untuk menjadi RI-1.
Tak ada orang suci dalam demokrasi transaksional.
Orang suci telah jadi bagian dari dongeng masa lalu, ketika perjalanan
sejarah bangsa menempatkan integritas kejuangan di rak susun paling atas.
Saat itu politikus pejuang menjadi pilihan kolektif hampir semua anak bangsa:
apa pun risikonya!
Ada ideologi dan idealisme yang menggerakkan para politikus pejuang
untuk menegakkan eksistensi dan martabat negeri ini. Kerja keras mereka yang
penuh integritas dan komitmen jauh lebih panjang daripada jam tidurnya. Di
hati, pikiran, detak jantung, dan aliran darah mereka yang ada hanya rakyat.
Kini didih ideologi dan idealisme itu kian menguap dan digantikan
impian-impian tentang kamukten (kelimpahan harta benda). Puncak dari seluruh
perjuangan politik bukan lagi terciptanya negara kesejahteraan, melainkan
hedonisme.
Jagat politik kini lebih terminologi seperti marketing, cost product,
kapitalisasi potensi dan media terkait upaya melahirkan seorang tokoh yang
maknanya terdistorsi jadi sekadar pesohor. Popularitas telah menggantikan
etos kerja, etika, moralitas dan dedikasi
yang semestinya dimiliki politikus pejuang. Politikus salon dan
bebotoh kapital kini telah menggusur kesatria konstitusi berkapasitas orang
suci dan arif.
Dalam latar gelap itu, rakyat kehilangan harapan munculnya para
pembebas, reformer yang memiliki orientasi profetik. Impian tentang
”joko-joko pingit” sejarah telah pupus di cakrawala putus asa. ”Joko pingit”
telah digantikan ”joko kendil-joko kendil” yang hanya berpikir soal perolehan
material dan dipingit kuasa modal.
Mereka tak lebih boneka-boneka yang digerakkan dan dimainkan mesin
neoliberalisme yang menendang fungsi dan peran negara ke pinggiran.
Neoliberalisme tak butuh pemimpin bangsa-negara, tetapi orang-orang
patuh untuk di-casting menjadi lurah pasar atau mandor perusahaan. Tugas
mandor adalah menjaga keadaan tetap kondusif demi lancarnya perdagangan
internasional dan investasi. Neoliberalisme memberi janji, keajaiban tangan
pasar bebas akan mampu meningkatkan taraf hidup rakyat.
Kini banyak tokoh nasional
berebut posisi menjadi presiden dengan seluruh modal politik dan ekonominya.
Bergumpal-gumpal uang dilempar kepada masyarakat, tempat ratusan juta mulut
menganga. Kedaulatan rakyat pun akan menjelma jadi kedaulatan uang, seiring
kian menguatnya kedaulatan pasar bebas.
Lomba
panjat pinang
Para tokoh politik nasional berbagai parpol gigih menggelar teater
koalisi demi merebut kursi presiden. Mereka melontarkan berbagai retorika
politik, seolah- olah koalisi ini serius dan memiliki karakter dan corak
ideologi serta memperjuangkan aspirasi rakyat. Padahal, yang terjadi tak
lebih dari kerja sama biasa, sarat kepentingan jangka pendek.
Ibarat lomba naik pohon pinang, parpol-parpol kuat memanfaatkan
parpol-parpol menengah dan kecil untuk mau jadi alas kaki, sehingga
parpol-parpol kuat bisa naik dan mengambil hadiah. Hadiah, misalnya jabatan
menteri, itu akan dibagi berdasar kontribusi masing-masing.
Maka, sebagai rakyat biasa, ada baiknya kita menyiapkan diri untuk
kecewa. Pilpres yang kita sangka akan membawa perubahan menuju sistem ekonomi
yang pro rakyat pada akhirnya hanya akan melahirkan mandor besar dan
mandor-mandor kecil dalam kekuasaan pasar bebas.
Pilpres tak lebih dari panggung teater para aktor politik yang berlagak
mengusung ideologi dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Siapa pun yang menang dalam pilpres, neoliberalismelah yang jadi teks
utama/pokok bagi praktik ekonomi
domestik. Rakyat hanya bisa berharap keajaiban pasar benar-benar hadir untuk
mengubah nasib buram ratusan juta orang miskin. Presiden dan eksekutif
lainnya paling pol hanya bisa dimintai tolong untuk menyampaikan harapan itu
kepada penguasa kapital sesembahan mereka. Perkara dikabulkan atau ditolak,
itu bukan urusan mereka.
Demokrasi liberal-transaksional yang tidak memberi ruang kepada
orang-orang suci, para pemimpin bangsa dan kesatria- kesatria konstitusi
akhirnya hanya jadi demokrasi tipu daya bagi rakyat. Keajaiban pasar bebas
yang mampu meningkatkan taraf hidup rakyat seperti digemborkan para politisi dan intelektual
neolib itu hanya akan berhenti sebagai jargon.
Dalam hegemoni neoliberalisme, sangat sulit mengharapkan hasil pileg
dan pilpres mampu menciptakan masa depan yang gemilang. Justru kemiskinan
kolektiflah yang menjadi masa depan
rakyat.
”Itulah
kutukan uang,” ujar orang suci. Namun, tak ada orang yang mendengar di negeri yang telah berubah
menjadi pasar dan dipenuhi juragan dan makelar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar