Rabu, 09 Juli 2014

Tak Ada Lagi Orang Suci

                                         Tak Ada Lagi Orang Suci

Indra Tranggono  ;   Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS,  08 Juli 2014
                                                


POLITIK uang yang menggila dalam pileg lalu sangat mungkin terulang dalam Pilpres 9 Juli besok. Bahkan bisa lebih brutal. Jabatan presiden adalah kunci pembuka ruang untuk berkuasa.  Siapa pun akan mengerahkan kemampuan finansialnya untuk menjadi RI-1. Tak ada orang suci dalam demokrasi transaksional.

Orang suci telah jadi bagian dari dongeng masa lalu, ketika perjalanan sejarah bangsa menempatkan integritas kejuangan di rak susun paling atas. Saat itu politikus pejuang menjadi pilihan kolektif hampir semua anak bangsa: apa pun risikonya!

Ada ideologi dan idealisme yang menggerakkan para politikus pejuang untuk menegakkan eksistensi dan martabat negeri ini. Kerja keras mereka yang penuh integritas dan komitmen jauh lebih panjang daripada jam tidurnya. Di hati, pikiran, detak jantung, dan aliran darah mereka yang ada hanya rakyat.

Kini didih ideologi dan idealisme itu kian menguap dan digantikan impian-impian tentang kamukten (kelimpahan harta benda). Puncak dari seluruh perjuangan politik bukan lagi terciptanya negara kesejahteraan, melainkan hedonisme.

Jagat politik kini lebih terminologi seperti marketing, cost product, kapitalisasi potensi dan media terkait upaya melahirkan seorang tokoh yang maknanya terdistorsi jadi sekadar pesohor. Popularitas telah menggantikan etos kerja, etika, moralitas dan dedikasi   yang semestinya dimiliki politikus pejuang. Politikus salon dan bebotoh kapital kini telah menggusur kesatria konstitusi berkapasitas orang suci dan arif.

Dalam latar gelap itu, rakyat kehilangan harapan munculnya para pembebas, reformer yang memiliki orientasi profetik. Impian tentang ”joko-joko pingit” sejarah telah pupus di cakrawala putus asa. ”Joko pingit” telah digantikan ”joko kendil-joko kendil” yang hanya berpikir soal perolehan material  dan dipingit kuasa modal. Mereka tak lebih boneka-boneka yang digerakkan dan dimainkan mesin neoliberalisme yang menendang fungsi dan peran negara ke pinggiran.

Neoliberalisme tak butuh pemimpin bangsa-negara, tetapi orang-orang patuh untuk di-casting menjadi lurah pasar atau mandor perusahaan. Tugas mandor adalah menjaga keadaan tetap kondusif demi lancarnya perdagangan internasional dan investasi. Neoliberalisme memberi janji, keajaiban tangan pasar bebas akan mampu meningkatkan taraf hidup rakyat.

Kini  banyak tokoh nasional berebut posisi menjadi presiden dengan seluruh modal politik dan ekonominya. Bergumpal-gumpal uang dilempar kepada masyarakat, tempat ratusan juta mulut menganga. Kedaulatan rakyat pun akan menjelma jadi kedaulatan uang, seiring kian menguatnya kedaulatan pasar bebas.

Lomba panjat pinang

Para tokoh politik nasional berbagai parpol gigih menggelar teater koalisi demi merebut kursi presiden. Mereka melontarkan berbagai retorika politik, seolah- olah koalisi ini serius dan memiliki karakter dan corak ideologi serta memperjuangkan aspirasi rakyat. Padahal, yang terjadi tak lebih dari kerja sama biasa, sarat kepentingan jangka pendek.

Ibarat lomba naik pohon pinang, parpol-parpol kuat memanfaatkan parpol-parpol menengah dan kecil untuk mau jadi alas kaki, sehingga parpol-parpol kuat bisa naik dan mengambil hadiah. Hadiah, misalnya jabatan menteri, itu akan dibagi berdasar kontribusi masing-masing.

Maka, sebagai rakyat biasa, ada baiknya kita menyiapkan diri untuk kecewa. Pilpres yang kita sangka akan membawa perubahan menuju sistem ekonomi yang pro rakyat pada akhirnya hanya akan melahirkan mandor besar dan mandor-mandor kecil dalam kekuasaan pasar bebas.

Pilpres tak lebih dari panggung teater para aktor politik yang berlagak mengusung ideologi dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Siapa pun yang menang dalam pilpres, neoliberalismelah yang jadi teks utama/pokok bagi  praktik ekonomi domestik. Rakyat hanya bisa berharap keajaiban pasar benar-benar hadir untuk mengubah nasib buram ratusan juta orang miskin. Presiden dan eksekutif lainnya paling pol hanya bisa dimintai tolong untuk menyampaikan harapan itu kepada penguasa kapital sesembahan mereka. Perkara dikabulkan atau ditolak, itu bukan urusan mereka.

Demokrasi liberal-transaksional yang tidak memberi ruang kepada orang-orang suci, para pemimpin bangsa dan kesatria- kesatria konstitusi akhirnya hanya jadi demokrasi tipu daya bagi rakyat. Keajaiban pasar bebas yang mampu meningkatkan taraf hidup rakyat seperti  digemborkan para politisi dan intelektual neolib itu hanya akan berhenti sebagai jargon.

Dalam hegemoni neoliberalisme, sangat sulit mengharapkan hasil pileg dan pilpres mampu menciptakan masa depan yang gemilang. Justru kemiskinan kolektiflah yang  menjadi masa depan rakyat.

”Itulah kutukan uang,” ujar orang suci. Namun, tak ada orang  yang mendengar di negeri yang telah berubah menjadi pasar dan dipenuhi juragan dan makelar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar