“Rukun
Agawe Santosa”
Mohamad Sobary ; Budayawan
|
KOMPAS,
08 Juli 2014
DALAM tata kehidupan tradisional, ada kearifan lokal rukun agawe
santosa.
Ini dalil sosiologis yang telah lama teruji dalam tradisi, bahwa saling
menolong membikin hidup lebih kokoh. Di sana, tanpa dinyatakan, ada semangat
memperkuat dukungan, suatu energi sosial positif, bukan memperkuat
rongrongan.
Sebaliknya, dalam masyarakat modern, khususnya di tengah suasana
mencekam menjelang pemilihan presiden seperti ini, peribahasa itu merupakan
suatu ”aspirasi kultural”, suatu harapan, ekspektasi, dan cita-cita. Di sini
rukun agawe santosa dianggap belum ada.
Kita ingin dalil itu ada, agar menjadi tombo ati, obat pelipur lara,
bagi jiwa bangsa kita yang sedang terteror oleh kampanye hitam yang begitu
masif.
Mencekam
Belum pernah ada pemilu begitu mencekam seperti sekarang ini. Banyak
orang terteror dan cemas mengikuti perkembangan ”serangan”, ”ancaman”,
”fitnah”, dan apa yang keji, tetapi seolah ”halal” karena partai-partai agama
diam seribu bahasa.
Sebelumnya, Pemilu 1999, kita dicengkam rasa takut akan terjadi
perpecahan bangsa. Barang siapa tak puas dengan pusat, langsung menyatakan
daerahnya akan melepaskan diri dari negara kesatuan ini. Kita takut, tetapi
ancaman rasa takut itu bisa diredam oleh iklan bagus Garin Nugroho, yang
”menyatukan” kita: ”Inga…inga...inga....” Dan, kita sedikit tersenyum.
Pemilu sebelumnya tak kalah gawat. Namun, kegawatan tak diancamkan, tak
dinyatakan. Tiap pemilu pada masa Orde Baru yang ada ketegangan diam. Pak
Harto dan kaki tangannya selalu menemukan PKI ”baru”.
Penguasa Orde Baru selalu tak berkenan kalau ada pihak yang berani
melawan. Siapa saja bisa disebut PKI. Pihak lain dicap gerakan pengacau
keamanan, GPK, atau tokoh negara Islam, dan jenis ini banyak sekali.
Siapa yang membuat penguasa Orde Baru kurang terhibur, nasibnya jelas:
hilang dalam kegelapan. Dulu, ketakutan merayap pelan, diam-diam, dan
terbatas pada mereka yang punya akses politik pusat. Sekarang, semua orang,
tak peduli petani desa, punya akses ke mana pun.
Maka, apabila tersebar isu menakutkan, ketakutan tersebar secara
terbuka, sangat cepat, seperti pasar tradisional yang termakan api lalu
diganti mal.
Dulu, ketakutan berkembang melalui bisik-bisik, di ruang tertutup dan
terbatas. Namun, ancaman tetap ancaman. Tak peduli dia bersifat tertutup atau
terbuka. Selebihnya, di zaman Orde Baru, pemilu demi pemilu, berkali-kali,
selalu sudah bisa diketahui hasilnya, bahkan sebelum pemilu dimulai. Apa yang
sekarang disebut quick count dulu tak diperlukan karena mesin politik Orde
Baru, Golkar, lebih tahu berapa puluh persen kemenangan pemerintah.
Seolah
demokratis
Dua kali pemilu dalam sepuluh tahun terakhir tampil dalam gaya seolah
demokratis. Komisioner KPU dipilih, tetapi pemerintah menyusupkan orangnya.
Sekjen KPU dipilih secara terbuka, tetapi diam-diam yang menang pilihan
pemerintah.
Orang disisipkan ke dalam suatu lembaga untuk melaksanakan agenda
rahasia meski akhirnya akan ketahuan juga.
Partai ”bayi” yang belum bisa bergerak dalam situasi ”tertata” macam
itu bisa memenangi pemilu dengan kejutan besar, mencapai kemenangan sekitar
60 persen. Ini sangat Orde Baru, kental berbau Pak Harto.
Kita nyaman kalau tak ikut berpikir dan mau terlibat. Namun, begitu
keterlibatan kita serius, banyak hal menakutkan, banyak yang bisa bikin kita
cemas. Masalahnya, keutuhan dan kesatuan bangsa dipertaruhkan.
Ketika mulai ada pihak yang menghalalkan segala cara, pertanyaannya
kemudian adalah apa definisi segala cara? Geger-gegeran? Ontran-ontran?
Akankah seperti Nero yang bahagia membakar kota?
Pemilu di alam demokrasi, dengan para pihak siap menjaga demokrasi,
tetapi mengapa timbul rasa takut yang mengancam kenyamanan rakyat dan
kelangsungan hidup demokrasi?
Kedua pihak bicara, kepemimpinannya buat Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Namun, dengan apa kita menjaganya kalau baru kampanye pemilu saja
sudah lupa dan terpancing kemarahan yang membahayakan?
Bukan
di atas kertas
Semua pihak juga merasa siap untuk menang. Kita tahu, dari debat demi
debat yang berlangsung, banyak jawaban hanya berdasarkan common sense yang
sama sekali belum teruji di lapangan. Itu baru omongan di alam cita-cita.
Ibaratnya, itu baru kebenaran di atas kertas.
Padahal, pemerintahan berjalan bukan di atas kertas. Gagasan yang bagus
dan matang pun masih sering berhadapan dengan gangguan di lapangan.
Jika dua pasang calon presiden-calon wakil presiden yang bertarung tak
mampu mengendalikan diri, rakyat yang menderita. Ibaratnya, gajah bertarung
rumput terinjak. Gajah bercinta pun rumput terinjak. Rumput itu adalah
rakyat, yang tak punya pilihan selain terinjak.
Pemimpin macam apa yang membiarkan rakyatnya bagai rumput yang selalu
terinjak? Ini gambaran berkebalikan dengan rukun agawe santosa tadi, yaitu
crah agawe bubrah atau bertikai membuat kehancuran.
Minggu tenang hendaknya menjadi suatu momentum doa. Apa salahnya jika
orang-orang besar itu di minggu tenang saling mengunjungi dan berdoa bersama.
Bukan tentang kemenangan, bukan tentang siapa yang menang, melainkan tentang
keutuhan jiwa rakyat sehingga mereka hanya bicara NKRI yang belum ideal
terwujud.
Dalam doa itu semua pihak tulus memasrahkan kalah-menang dalam pemilu
nanti, mutlak di tangan Allah. Jangan curang. Jangan culas. Sesekali, apa
salahnya kita tak bicara melulu soal kalah-menang.
Apa salahnya kita melihat perkara itu dengan cara lain. Kalau ”kalah
jadi abu, menang jadi arang”, siapa yang hendak kita menangkan? Utamakan negeri
kita dan rakyat di dalamnya.
Siapa pun yang kalah, siapa pun yang menang, yang sebenar-benarnya
menjadi pemenang ialah demokrasi, yang kita jaga dan kita hormati. Syukur
pula rakyat juga menang dan bisa menjadi ”raja” yang dilayani pemerintah,
dengan cukup sandang, cukup pangan, dan cukup harga diri dan kehormatan
sebagai bangsa Indonesia.
Minggu tenang ini menjadi minggu tanpa curiga, tanpa prasangka. Kita
rukun. Kita agawe, membikin, sentosa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar