Senin, 07 Juli 2014

Tahun Ajaran Baru, Kurikulum Baru, dan Seragam Baru

  Tahun Ajaran Baru, Kurikulum Baru, dan Seragam Baru

Bonaventura Suprapto  ;   Anggota Komunitas Pembaca Buku Surabaya
dan Dewan Pendidikan Jatim
JAWA POS,  07 Juli 2014
                                                


TANGGAL 14 Juli mendatang secara serempak tahun pelajaran baru di jenjang pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah dimulai. Ada sesuatu yang memang baru dalam menapaki tahun pelajaran baru kali ini yang nantinya paling dirasakan oleh guru, murid, dan orang tua murid. Yaitu, diberlakukannya kurikulum 2013 secara menyeluruh untuk kelas I, II, IV, V , VII, VIII, X, dan XI serta pemakaian seragam baru secara nasional.

Perubahan kurikulum bukan hal baru dalam dunia pendidikan kita untuk mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Bahkan, sering terdengar ungkapan sinis, ”Tiap ganti menteri, ganti kurikulum.” Repotnya, perubahan itu sering menimbulkan rentetan dampak negatif yang panjang. Para orang tua siswa mengganti buku pelajaran putra-putrinya karena memang buku yang ada sebelumnya tak lagi bisa digunakan oleh siapa pun.

Perubahan tidak hanya terjadi pada kurikulum, melainkan juga seragam sekolah. Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, seragam sekolah yang baru diberlakukan secara nasional dengan menambah bendera merah putih di dada kiri atas saku. Perubahan seragam bertujuan menumbuhkan rasa nasionalisme, kebersamaan, serta semangat kesatuan dan persatuan di kalangan peserta didik sekaligus memperkuat persaudaraan.

Perubahan Kurikulum     

Terkait dengan diberlakukannya kurikulum 2013, pertama, hendaknya perubahan itu tidak sekadar pada pengurangan jumlah mata pelajaran, penambahan alokasi waktu belajar, dan pengintegrasian mata pelajaran (tematik), tetapi harus bisa diimplementasikan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam kurikulum, yakni keseimbangan antara ilmu dan laku.

Kedua, setiap mata pelajaran harus mengandung nilai-nilai bagi pembentukan intelligence quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ). Sebagaimana yang telah digariskan dalam penjelasan pasal 35 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ”Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.”

Ketiga, pembelajaran lebih diarahkan ke pengembangan potensi dan kemampuan potensi diri siswa serta pemberdayaan murid untuk secara mandiri mencari, mengolah, sekaligus memanfaatkan informasi. Guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber informasi dan siswa hanya dalam posisi pasif sebagai penerima informasi. Siswa tidak hanya diberi tahu, tetapi juga mencari tahu.

Keempat, evaluasi hasil belajar tidak hanya pada hasil akhir, melainkan penggabungan antara proses dan hasil akhir. Ujian nasional (unas) yang selama ini masih diberlakukan sebagai alat evaluasi perlu dikaji ulang. Sebab, ujian standar memiliki prinsip yang bertolak belakang dengan otentisitas pengalaman belajar yang melahirkan kreasi dan inovasi yang dibutuhkan murid. Apalagi, hasil unas secara signifikan tidak memiliki pengaruh terhadap seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBM PTN).

Sesungguhnya keberhasilan belajar siswa di sekolah tidak ditentukan oleh kurikulum, melainkan kemampuan guru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (joyful learning). Hasil riset C.E. Beeby pada 1970 menyimpulkan bahwa persoalan kronis pendidikan kita di antaranya praktik kelas yang membosankan. Selama ini, guru-guru mengajar dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal sehingga aktivitas kelas seperti ritual. Sedikit sekali sekolah yang mampu membantu menumbuhkan potensi seorang murid. Pengaruh sekolah yang menjemukan serta tak imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin masyarakatnya. Guru (pendidik) di Indonesia lebih nyaman dalam kemapanan dan bersikap anti perubahan.

Nasionalisme

Persoalan lain yang patut dicermati pada tahun pelajaran baru adalah penggunaan seragam baru. Apakah dengan menambah bendera merah putih di atas saku kemeja dapat menumbuhkan semangat nasionalisme? Abduhzen menilai, penambahan bendera merah putih di atas saku kemeja hanya berpengaruh kecil terhadap nasionalisme siswa. Nasionalisme, papar Abduhzen (Oke Zone, 11/6) harus dibangun dari basisnya, yakni kesadaran sebagai warga negara.

Sebenarnya penanaman nilai-nilai nasionalisme sudah tercantum dalam kurikulum 2013. Itu bisa dilihat dari dimunculkannya lagi Pancasila sebagai nomenklatur integral dengan kewarganegaraan. Dengan demikian, lunturnya nilai-nilai nasionalisme di kalangan pelajar bersebab dari rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai Bineka Tunggal Ika yang menyuburkan intoleransi generasi muda terhadap keragaman suku, agama, dan budaya Indonesia. 

Selama ini, Pancasila sebagai ideologi bangsa selalu diajarkan bila kita upayakan menghayati Pancasila. Begitu pula Pancasila sebagai dasar negara, semua siswa bisa menghafal sila-sila dalam Pancasila yang menjadi falsafah bangsa. Praktik pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) dan pendidikan Pancasila selama ini monoton, sekadar menghafal materi buku pelajaran. Materi nilai-nilai ideologi Pancasila dan budaya dibahas lepas dari realitas sosial sehingga murid sulit memahami manfaat mempelajari Pancasila dan kewarganegaraan.

Bagaimana menerapkan Pancasila sehingga menjadi cermin bagi dunia pendidikan kita sehari-hari sepertinya sesuatu yang masih asing. Beberapa contoh sikap murid yang membuat miris kita belakangan ini: terjadinya peningkatan kekerasan di kalangan siswa; ketidakjujuran; berkembangnya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru, dan figur otoritatif; penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk; meningkatnya saling curiga dan kebencian; meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; serta semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Fenomena itu rasanya kurang menunjukkan karakter bangsa yang kehidupannya berdasar Pancasila.

Membangkitkan nasionalisme harus didukung oleh sebuah kebijakan nyata yang mampu menyentuh akar permasalahan. Bagaimana membumikan Pancasila melalui pembelajaran dan pendidikan di sekolah. Bagaimana menanamkan nilai-nilai moral Pancasila pada ranah afektif dan psikomotorik dengan melibatkan peserta didik ke dalam berbagai kegiatan. Misalnya aktivitas konkret pelestarian lingkungan, dialog-dialog dan kegiatan bersama dengan berbagai unsur masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda, serta berbagai kegiatan lain yang melatih pengembangan semangat cinta kasih dan pengorbanan.

Akhirnya, pemuatan nilai-nilai persatuan dan kesatuan serta upaya menumbuhkembangkan nasionalisme harus dimasukkan ke kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler secara integratif, bukan hanya pelajaran agama atau Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan (PPKn). Itu merupakan sebagian kecil dari the learning revolution. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar