Tahun Ajaran Baru,
Kurikulum Baru, dan Seragam Baru
Bonaventura Suprapto ;
Anggota Komunitas Pembaca Buku Surabaya
dan Dewan Pendidikan Jatim
|
JAWA
POS, 07 Juli 2014
TANGGAL 14 Juli mendatang secara serempak tahun pelajaran baru di
jenjang pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah dimulai. Ada sesuatu
yang memang baru dalam menapaki tahun pelajaran baru kali ini yang nantinya
paling dirasakan oleh guru, murid, dan orang tua murid. Yaitu,
diberlakukannya kurikulum 2013 secara menyeluruh untuk kelas I, II, IV, V ,
VII, VIII, X, dan XI serta pemakaian seragam baru secara nasional.
Perubahan kurikulum bukan hal baru dalam dunia pendidikan kita untuk
mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Bahkan, sering terdengar ungkapan
sinis, ”Tiap ganti menteri, ganti kurikulum.” Repotnya, perubahan itu sering
menimbulkan rentetan dampak negatif yang panjang. Para orang tua siswa
mengganti buku pelajaran putra-putrinya karena memang buku yang ada
sebelumnya tak lagi bisa digunakan oleh siapa pun.
Perubahan tidak hanya terjadi pada kurikulum, melainkan juga seragam
sekolah. Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi
Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, seragam sekolah yang
baru diberlakukan secara nasional dengan menambah bendera merah putih di dada
kiri atas saku. Perubahan seragam bertujuan menumbuhkan rasa nasionalisme,
kebersamaan, serta semangat kesatuan dan persatuan di kalangan peserta didik
sekaligus memperkuat persaudaraan.
Perubahan
Kurikulum
Terkait dengan diberlakukannya kurikulum 2013, pertama, hendaknya
perubahan itu tidak sekadar pada pengurangan jumlah mata pelajaran,
penambahan alokasi waktu belajar, dan pengintegrasian mata pelajaran
(tematik), tetapi harus bisa diimplementasikan sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam kurikulum, yakni keseimbangan antara ilmu dan laku.
Kedua, setiap mata pelajaran harus mengandung nilai-nilai bagi
pembentukan intelligence quotient
(IQ) dan emotional quotient (EQ).
Sebagaimana yang telah digariskan dalam penjelasan pasal 35 UU No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ”Kompetensi
lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah
disepakati.”
Ketiga, pembelajaran lebih diarahkan ke pengembangan potensi dan
kemampuan potensi diri siswa serta pemberdayaan murid untuk secara mandiri
mencari, mengolah, sekaligus memanfaatkan informasi. Guru bukan lagi sebagai
satu-satunya sumber informasi dan siswa hanya dalam posisi pasif sebagai
penerima informasi. Siswa tidak hanya diberi tahu, tetapi juga mencari tahu.
Keempat, evaluasi hasil belajar tidak hanya pada hasil akhir, melainkan
penggabungan antara proses dan hasil akhir. Ujian nasional (unas) yang selama
ini masih diberlakukan sebagai alat evaluasi perlu dikaji ulang. Sebab, ujian
standar memiliki prinsip yang bertolak belakang dengan otentisitas pengalaman
belajar yang melahirkan kreasi dan inovasi yang dibutuhkan murid. Apalagi,
hasil unas secara signifikan tidak memiliki pengaruh terhadap seleksi bersama
masuk perguruan tinggi negeri (SBM PTN).
Sesungguhnya keberhasilan belajar siswa di sekolah tidak ditentukan
oleh kurikulum, melainkan kemampuan guru menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan (joyful learning).
Hasil riset C.E. Beeby pada 1970 menyimpulkan bahwa persoalan kronis
pendidikan kita di antaranya praktik kelas yang membosankan. Selama ini,
guru-guru mengajar dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilan metodik
yang minimal sehingga aktivitas kelas seperti ritual. Sedikit sekali sekolah
yang mampu membantu menumbuhkan potensi seorang murid. Pengaruh sekolah yang
menjemukan serta tak imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang menjadi
dewasa dan memimpin masyarakatnya. Guru (pendidik) di Indonesia lebih nyaman
dalam kemapanan dan bersikap anti perubahan.
Nasionalisme
Persoalan lain yang patut dicermati pada tahun pelajaran baru adalah
penggunaan seragam baru. Apakah dengan menambah bendera merah putih di atas
saku kemeja dapat menumbuhkan semangat nasionalisme? Abduhzen menilai,
penambahan bendera merah putih di atas saku kemeja hanya berpengaruh kecil terhadap
nasionalisme siswa. Nasionalisme, papar Abduhzen (Oke Zone, 11/6) harus dibangun dari basisnya, yakni kesadaran
sebagai warga negara.
Sebenarnya penanaman nilai-nilai nasionalisme sudah tercantum dalam
kurikulum 2013. Itu bisa dilihat dari dimunculkannya lagi Pancasila sebagai
nomenklatur integral dengan kewarganegaraan. Dengan demikian, lunturnya
nilai-nilai nasionalisme di kalangan pelajar bersebab dari rendahnya
penghargaan terhadap nilai-nilai Bineka Tunggal Ika yang menyuburkan
intoleransi generasi muda terhadap keragaman suku, agama, dan budaya
Indonesia.
Selama ini, Pancasila sebagai ideologi bangsa selalu diajarkan bila
kita upayakan menghayati Pancasila. Begitu pula Pancasila sebagai dasar
negara, semua siswa bisa menghafal sila-sila dalam Pancasila yang menjadi
falsafah bangsa. Praktik pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) dan
pendidikan Pancasila selama ini monoton, sekadar menghafal materi buku
pelajaran. Materi nilai-nilai ideologi Pancasila dan budaya dibahas lepas
dari realitas sosial sehingga murid sulit memahami manfaat mempelajari
Pancasila dan kewarganegaraan.
Bagaimana menerapkan Pancasila sehingga menjadi cermin bagi dunia
pendidikan kita sehari-hari sepertinya sesuatu yang masih asing. Beberapa
contoh sikap murid yang membuat miris kita belakangan ini: terjadinya
peningkatan kekerasan di kalangan siswa; ketidakjujuran; berkembangnya rasa
tidak hormat kepada orang tua, guru, dan figur otoritatif; penggunaan bahasa
dan kata-kata yang buruk; meningkatnya saling curiga dan kebencian;
meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan
seks bebas; serta semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Fenomena itu
rasanya kurang menunjukkan karakter bangsa yang kehidupannya berdasar
Pancasila.
Membangkitkan nasionalisme harus didukung oleh sebuah kebijakan nyata
yang mampu menyentuh akar permasalahan. Bagaimana membumikan Pancasila
melalui pembelajaran dan pendidikan di sekolah. Bagaimana menanamkan
nilai-nilai moral Pancasila pada ranah afektif dan psikomotorik dengan
melibatkan peserta didik ke dalam berbagai kegiatan. Misalnya aktivitas
konkret pelestarian lingkungan, dialog-dialog dan kegiatan bersama dengan
berbagai unsur masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda, serta
berbagai kegiatan lain yang melatih pengembangan semangat cinta kasih dan
pengorbanan.
Akhirnya, pemuatan nilai-nilai persatuan dan kesatuan serta upaya
menumbuhkembangkan nasionalisme harus dimasukkan ke kegiatan kurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler secara integratif, bukan hanya pelajaran
agama atau Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan (PPKn). Itu merupakan
sebagian kecil dari the learning
revolution. Semoga.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar