Blusukan
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 06 Juli 2014
Blusukan adalah istilah Jawa. Lafal aslinya dalam bahasa Jawa adalah
”blusuk-an ” (bunyi ”an” terpisah dari kata induknya ”blusuk ”), bukan
”blusu-kan ” seperti biasa dilafalkan orang yang tidak fasih berbahasa Jawa
(dengan bunyi ”k” yang kuat seperti dalam lafal kata-kata ”rekan akan makan
ikan”).
Arti kata blusukan adalah pergi ke tempat-tempat tertentu, termasuk
yang belum pernah didatangi, jauh atau sulit dijangkau, untuk memenuhi hasrat
keingintahuan. Dalam kehidupan sehari-hari ibuibu paling jago blusukan ke
pasar-pasar. Dalam bukan Ramadan, apalagi nanti menjelang Lebaran, ibu-ibu di
Jakarta sudah blusukan ke Pasar Tanah Abang atau Pasar ITC Mangga Dua untuk
mencari bahan atau busana jadi untuk dikenakan keluarga saat Lebaran.
Tidak seperti para bapak yang cenderung membeli apa saja yang pertama
kali dilihatnya (asal memenuhi kriteria, harga nomor dua), ibu-ibu dengan
tekun mendatangi kios demi kios pedagang untuk mencari barang yang terbaik,
sesuai selera dan palingmurah. Kadang-kadangselisihseribu- dua ribu rupiah
pun dikejar walaupun untuk itu sang ibu harus jalan kaki cukup jauh untuk
balik ke kios lain. Tapi hasil belanjaan ibu-ibu hampir dapat dipastikan top
markotop: MMI (murah, meriah, dan istimewa). Lain dengan bapak-bapak yang
belanja hanya berdasarkan konsep, itu pun sering tidak dilakukan sendiri,
melainkan menyuruh sopir.
Si bapak pikir, kalau sopir sudah dikasih konsep yang betul, pastilah
dia akan beli barang yang betul. Hasilnya: MMK (mahal, marah, dan kecewa).
Dalam metode penelitian juga dikenal metode blusukan yang disebut dengan
”metode observasi partisipatif ”. Antropolog dan sosiolog sering melakukan
ini. Pada 1973, seorang antropolog Amerika Serikat bernama Wyn Sargent
blusukan ke Lembah Baliem (Papua) untuk mempelajari kehidupan suku Dani.
Begitu mendalamnya dia melakukan penelitian sampaisampai ia mau menikah
dengan kepala suku Dani yang bernama Obohorok (masih memakai koteka) sebagai
istri yang entah keberapa.
Walaupun hanya sebatas perkawinan simbolik, keberanian Wyn Sargent
telah membuahkan sebuah data antropologi (ditulis dalam buku) yang tak
tertandingi nilainya, penuh dengan data yang tak mungkin diperoleh tanpa
metode partisipasi seperti itu. Begitu juga Christiaan Snouck Hurgronje,
seorang antropolog Belanda, pakar agama Islam (walaupun dari namanya saja
jelas dia nonmuslim).
Dia yang sudah malang-melintang di Timur Tengah, khatam Alquran dan
sudah naik haji (sekali lagi: walaupun bukan muslim) dipanggil oleh
Pemerintah Hindia Belanda dari Universitas Leiden untuk membantu penaklukan
Aceh yang tidak bisa dikalahkan dengan operasi militer. Snouck Hurgronje
tidak langsung pergi ke Aceh, melainkan menikahi seorang wanita Ciamis dulu
dan punya beberapa anak sebelum akhirnya dia mengunjungi Aceh antara tahun
1891 dan 1982 dengan nama Haji Abdul Gafar.
Suatu penyamaran yang sangat sempurna karena semua orang Aceh percaya
kepadanya. Hurgronje kemudian meneliti semua adat-istiadat Aceh untuk
membantu Pemerintah Kolonial Belanda menaklukkan Aceh dan akhirnya Aceh
betulbetul ditaklukkan (secara militer) pada 1904. Catatan-catatan Hurgronje
tentang Aceh masih tersimpan di Universitas Leiden, bahkan sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku itulah yang saya gunakan
sebagai referensi ketika saya diminta Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk
membantu pendekatan kepada masyarakat Aceh dalam rangka penanggulangan
bencana tsunami 2004.
Dalam Islam, sangat terkenal kisah tentang Khalifah Umar bin Khatab RA
yang gemar blusukan. Ia bahkan tinggal di sekitar permukiman orang miskin
untuk tahu kehidupan mereka. Konon Umar pernah menemukan seorang ibu miskin
yang sedang merebus batu. Ketika ditanya oleh Umar, ibu itu menjawab bahwa ia
merebus batu untuk menghibur anaknya yang sedang kelaparan agar anaknya itu
berhenti menangis.
Maka Sayidina Umar pun kemudian mencanangkan sebuah sistem
kesejahteraan di mana orang miskin, orang tua, anak telantar dsb ditanggung
oleh negara (welfare state).
Keampuhan metode blusukan juga dimanfaatkan para sales manager . Menantu saya
yang brand manager suatu produk makanan, misalnya, setiap hari blusukan ke
pasar-pasar untuk mengecek kondisi pemasaran produknya. Dalam manajemen
modern metode blusukan adalah bagian dari controlling, yaitu salah satu aspek
dari sistem POAC (programming,
organizing, actuating, dan controlling).
Di Jepang metode blusukan ini dinamakan ”gemba”. Di dalam sistem birokrasi pemerintahan Indonesia,
sebenarnya sudah ada sistem kontrol berupa inspektorat jenderal atau
inspektur pengawasan umum, di samping BPK dan BPKP. Mereka inilah yang
seharusnya bekerja blusukan dan melakukan sidak (inspeksi mendadak) untuk
menemukan kesalahan atau kecurangan yang mungkin terjadi. Tapi pada umumnya
pengawas-pengawas ini pun ikut bermain bersama dengan yang diawasi.
Kalau datang ke daerah atau suatu kantor pemerintah, pengawas-pengawas
ini biasanya menikmati aneka gratifikasi (dari fasilitas sampai uang, bahkan
wanita) sehingga mereka pulang tutup mata dan membuat laporan ABS (asal bapak
senang) kepada atasannya. Kalau atasan (kepala daerah, kepala kantor) tidak
turun langsung ke lapangan (di zaman Orde Baru namanya ”turba”, turun ke
bawah), kecurangan tidak terdeteksi. Pantaslah kalau disinyalir potensi
kebocoran negara bisa mencapai lebih dari 1.000 triliun rupiah (uang segitu
kalau disimpan di gudang, mungkin diperlukan gudang sebesar Lapangan Monas).
Jadi sebetulnya blusukan bukan monopoli siapa pun.
Bukan juga inovasi salah satu capres. Metode itu sudah ada, bahkan
sejak zaman Umar bin Khattab. Tapi memang birokrat-birokrat dan politisi
Indonesia sangat jarang yang melakukannya. Persoalannya, mereka sudah
terbiasa berwacana saja, omdo
(omong doang). Bahkan mereka bisa jadi anggota DPR atau menjadi menteri juga
karena metode onani (omong
sana-sini) doang. Ini warisan yang buruk dari sistem feodal yang telanjur
mendarah daging dalam diri para birokrat dan politisi kita.
Karena itu, siapa pun yang akan terpilih tanggal 9 Juli nanti, kalau
mau sukses membangun negara dan bangsa ini, jangan menganggap enteng metode blusukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar