Senin, 07 Juli 2014

Blusukan

                                                                 Blusukan

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  06 Juli 2014
                                                


Blusukan adalah istilah Jawa. Lafal aslinya dalam bahasa Jawa adalah ”blusuk-an ” (bunyi ”an” terpisah dari kata induknya ”blusuk ”), bukan ”blusu-kan ” seperti biasa dilafalkan orang yang tidak fasih berbahasa Jawa (dengan bunyi ”k” yang kuat seperti dalam lafal kata-kata ”rekan akan makan ikan”).

Arti kata blusukan adalah pergi ke tempat-tempat tertentu, termasuk yang belum pernah didatangi, jauh atau sulit dijangkau, untuk memenuhi hasrat keingintahuan. Dalam kehidupan sehari-hari ibuibu paling jago blusukan ke pasar-pasar. Dalam bukan Ramadan, apalagi nanti menjelang Lebaran, ibu-ibu di Jakarta sudah blusukan ke Pasar Tanah Abang atau Pasar ITC Mangga Dua untuk mencari bahan atau busana jadi untuk dikenakan keluarga saat Lebaran.

Tidak seperti para bapak yang cenderung membeli apa saja yang pertama kali dilihatnya (asal memenuhi kriteria, harga nomor dua), ibu-ibu dengan tekun mendatangi kios demi kios pedagang untuk mencari barang yang terbaik, sesuai selera dan palingmurah. Kadang-kadangselisihseribu- dua ribu rupiah pun dikejar walaupun untuk itu sang ibu harus jalan kaki cukup jauh untuk balik ke kios lain. Tapi hasil belanjaan ibu-ibu hampir dapat dipastikan top markotop: MMI (murah, meriah, dan istimewa). Lain dengan bapak-bapak yang belanja hanya berdasarkan konsep, itu pun sering tidak dilakukan sendiri, melainkan menyuruh sopir.

Si bapak pikir, kalau sopir sudah dikasih konsep yang betul, pastilah dia akan beli barang yang betul. Hasilnya: MMK (mahal, marah, dan kecewa). Dalam metode penelitian juga dikenal metode blusukan yang disebut dengan ”metode observasi partisipatif ”. Antropolog dan sosiolog sering melakukan ini. Pada 1973, seorang antropolog Amerika Serikat bernama Wyn Sargent blusukan ke Lembah Baliem (Papua) untuk mempelajari kehidupan suku Dani. Begitu mendalamnya dia melakukan penelitian sampaisampai ia mau menikah dengan kepala suku Dani yang bernama Obohorok (masih memakai koteka) sebagai istri yang entah keberapa.

Walaupun hanya sebatas perkawinan simbolik, keberanian Wyn Sargent telah membuahkan sebuah data antropologi (ditulis dalam buku) yang tak tertandingi nilainya, penuh dengan data yang tak mungkin diperoleh tanpa metode partisipasi seperti itu. Begitu juga Christiaan Snouck Hurgronje, seorang antropolog Belanda, pakar agama Islam (walaupun dari namanya saja jelas dia nonmuslim).

Dia yang sudah malang-melintang di Timur Tengah, khatam Alquran dan sudah naik haji (sekali lagi: walaupun bukan muslim) dipanggil oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Universitas Leiden untuk membantu penaklukan Aceh yang tidak bisa dikalahkan dengan operasi militer. Snouck Hurgronje tidak langsung pergi ke Aceh, melainkan menikahi seorang wanita Ciamis dulu dan punya beberapa anak sebelum akhirnya dia mengunjungi Aceh antara tahun 1891 dan 1982 dengan nama Haji Abdul Gafar.

Suatu penyamaran yang sangat sempurna karena semua orang Aceh percaya kepadanya. Hurgronje kemudian meneliti semua adat-istiadat Aceh untuk membantu Pemerintah Kolonial Belanda menaklukkan Aceh dan akhirnya Aceh betulbetul ditaklukkan (secara militer) pada 1904. Catatan-catatan Hurgronje tentang Aceh masih tersimpan di Universitas Leiden, bahkan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku itulah yang saya gunakan sebagai referensi ketika saya diminta Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membantu pendekatan kepada masyarakat Aceh dalam rangka penanggulangan bencana tsunami 2004.

Dalam Islam, sangat terkenal kisah tentang Khalifah Umar bin Khatab RA yang gemar blusukan. Ia bahkan tinggal di sekitar permukiman orang miskin untuk tahu kehidupan mereka. Konon Umar pernah menemukan seorang ibu miskin yang sedang merebus batu. Ketika ditanya oleh Umar, ibu itu menjawab bahwa ia merebus batu untuk menghibur anaknya yang sedang kelaparan agar anaknya itu berhenti menangis.

Maka Sayidina Umar pun kemudian mencanangkan sebuah sistem kesejahteraan di mana orang miskin, orang tua, anak telantar dsb ditanggung oleh negara (welfare state). Keampuhan metode blusukan juga dimanfaatkan para sales manager . Menantu saya yang brand manager suatu produk makanan, misalnya, setiap hari blusukan ke pasar-pasar untuk mengecek kondisi pemasaran produknya. Dalam manajemen modern metode blusukan adalah bagian dari controlling, yaitu salah satu aspek dari sistem POAC (programming, organizing, actuating, dan controlling).

Di Jepang metode blusukan ini dinamakan ”gemba”. Di dalam sistem birokrasi pemerintahan Indonesia, sebenarnya sudah ada sistem kontrol berupa inspektorat jenderal atau inspektur pengawasan umum, di samping BPK dan BPKP. Mereka inilah yang seharusnya bekerja blusukan dan melakukan sidak (inspeksi mendadak) untuk menemukan kesalahan atau kecurangan yang mungkin terjadi. Tapi pada umumnya pengawas-pengawas ini pun ikut bermain bersama dengan yang diawasi.

Kalau datang ke daerah atau suatu kantor pemerintah, pengawas-pengawas ini biasanya menikmati aneka gratifikasi (dari fasilitas sampai uang, bahkan wanita) sehingga mereka pulang tutup mata dan membuat laporan ABS (asal bapak senang) kepada atasannya. Kalau atasan (kepala daerah, kepala kantor) tidak turun langsung ke lapangan (di zaman Orde Baru namanya ”turba”, turun ke bawah), kecurangan tidak terdeteksi. Pantaslah kalau disinyalir potensi kebocoran negara bisa mencapai lebih dari 1.000 triliun rupiah (uang segitu kalau disimpan di gudang, mungkin diperlukan gudang sebesar Lapangan Monas). Jadi sebetulnya blusukan bukan monopoli siapa pun.

Bukan juga inovasi salah satu capres. Metode itu sudah ada, bahkan sejak zaman Umar bin Khattab. Tapi memang birokrat-birokrat dan politisi Indonesia sangat jarang yang melakukannya. Persoalannya, mereka sudah terbiasa berwacana saja, omdo (omong doang). Bahkan mereka bisa jadi anggota DPR atau menjadi menteri juga karena metode onani (omong sana-sini) doang. Ini warisan yang buruk dari sistem feodal yang telanjur mendarah daging dalam diri para birokrat dan politisi kita.

Karena itu, siapa pun yang akan terpilih tanggal 9 Juli nanti, kalau mau sukses membangun negara dan bangsa ini, jangan menganggap enteng metode blusukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar