Saemaul,
Bangkitkan Desa ala K-Wave
Rohman Budijanto ;
Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 07 Juli 2014
KITA tidak bicara soal Samsung, LG, Hyundai, Kia, SNSD, T’ara, Suju,
atau Gangnam Style. Semua tahu itu
produk kebanggaan Korea Selatan. Rakyat Presiden Park Geun-hye gencar
mengekspor kultur dan gaya hidup dalam fenomena K-wave dan K-pop. Yang
belum banyak diulas, ada ekspor kultur ”cara
hidup” dari sana, yakni Saemaul
Undong. Gerakan masyarakat baru ini menjadi ”K-wave” yang dibawa ke pedesaan Afrika, India, Tiongkok, Amerika
Latin, dan Asia Tenggara. Indonesia juga tercatat mendapat manfaat darinya.
Saemaul Undong ini mereplikasi cara membangkitkan ekonomi di desa.
Kebetulan dua calon presiden kita mengampanyekan kebangkitan desa. Dan, baru
disahkan UU Desa dan akan mengirim Rp 1 miliar–Rp 1,4 miliar ke 78.609 desa
kita. Uang ini bisa berisiko karena kita tahu desa-desa kita sudah terpapar
politik transaksional yang sangat menggerus nilai keguyuban.
Saemaul Undong membuktikan, bantuan hanyalah pemicu. Kementerian
Administrasi Publik dan Keamanan Korea membanggakan Saemaul Undong ini dalam
Forum dan Award Pelayanan Publik PBB di Seoul, 22–26 Juni lalu. Yakni,
Saemaul dilandasi diligently
(ketelatenan), self help (menolong
diri sendiri), serta cooperation
(kerja sama) dari warga desa, plus dipancing bantuan pemerintah.
Korea menularkan Saemaul karena ketika membangun sangat banyak diutangi
negara lain. Kini Korea berhasil menjadi negara maju dan negara donor. Korea
masuk ”20–50 Club” atau negara berpenduduk lebih dari 50 juta jiwa dan
pendapatan per kapita lebih dari USD 20.000 (pendapatannya USD 33.000). Korea
bangkit dari kemiskinan absolut dengan pendapatan USD 79 pada 1960. Indonesia
mulai membangun 1967 dengan pendapatan USD 55. Kini pendapatan rakyat
Indonesia USD 4.000.
Gerakan Saemaul ini tercetus ketika Presiden Park Chung-hee (ayah
Presiden Park Geun-hye) blusukan ke bekas lokasi banjir pada 1969. Dia
terkejut karena dengan bantuan sedikit warga berhasil memulihkan desanya.
Bahkan, membangun jalan lebih lebar, membuat tembok dan atap dengan bahan
lebih baik. Sang presiden terilhami: kemajuan bisa dipercepat kalau semangat
warga desa untuk maju disokong pemerintah.
Saat itu Korea memang mulai bangkit. Satu dasawarsa industrialisasi,
kesenjangan mulai menganga. Urbanisasi merebak. Desa tertinggal. Atas ilham
tadi, Presiden Park mulai menyusun sendiri kerangka konsep Saemaul Undong.
Dalam edisi Inggris, konsep asli yang ditulis 26 April 1972 ini hanya
tujuh halaman. Bandingkan dengan berbagai dokumen kenegaraan kita yang
tebal-tebal dan bombastis. Presiden Park mengkritik konsep akademik yang
canggih, tapi tidak praktis. Saemaul Undong disebutnya ”upaya untuk hidup lebih baik”. Yakni, rakyat terentas dari
kemiskinan, pendapatan meningkat, tetangga bersahabat dan saling menolong,
serta desa menjadi permai.
Lebih dalam, Presiden Park menyebut ’’Saemaul
Undong adalah kampanye pembangunan mental dan revolusi mental.” Gerakan
ini tak didorong dengan pidato, tetapi dengan tindakan dan praktik.
Filosofinya, lakukan saja! Menariknya, konsep ini pun disusun setelah Saemaul
Undong berjalan dua tahun. Bertindak dulu, baru ’’diteorikan”.
Pada 1970, pemerintah mengirimkan 335 sak semen masing-masing ke 33.267
desa. Proyek dasar diprioritaskan, seperti memperlebar jalan desa,
memperbaiki atap rumah, membuat pagar, sumur umum, serta memelihara sungai
dan jembatan kecil. Sangat mendasar karena kondisi desa sangat miskin.
Mengejutkan, dengan partisipasi warga menyediakan tenaga kerja dan tanah,
sebanyak 16.600 desa mencapai harapan lebih dari yang ditargetkan.
Gerakan terus berlanjut. Lalu, desa kebanyakan (predominant village) diberi 500 sak semen dan satu ton besi
beton. Pemerintah juga membantu warga desa dengan tenaga mereka sendiri untuk
mengganti atap ilalang dan tembok rumah mereka dengan genting dan tembok
bersemen. Jalan desa dipaving. Jembatan dibangun. Intinya, pemerintah siap
memberikan ”kail”, asal warga mau mengupayakan tenaga penggeraknya.
Revolusi mental pun terjadi. Warga merasa ”aku bisa melakukannya”, lalu ”jika
saya berbuat, apa pun bisa tercapai”. Bagi tetangga yang ragu, warga lain
mendorong ”ayo, coba saja”.
Hasilnya nyata. Ada 6 ribu desa mandiri membangun tanpa bantuan pemerintah.
Atas dasar praktik nyata itu, dirumuskan tiga langkah strategi Saemaul.
Pertama, pemerintah memicu kemampuan menolong diri sendiri dengan spirit
ketelatenan, kemandirian, dan kerja sama. Kedua, secara demokratis warga
memilih proyek yang bisa menguntungkan desa, bisa dipraktikkan, dan
partisipasi sukarela. Ketiga, konsisten menerapkan prinsip mengutamakan
dukungan ke desa yang kebanyakan untuk membangkitkan kemampuan menolong diri
sendiri dan semangat kompetisi warga desa.
Bergulirlah perekonomian di desa. Mereka mulai mengembangkan pabrik
pengolahan, greenhouse untuk
mengatasi musim dingin, mengadopsi alat pertanian bermesin, beternak, dan
budi daya ikan dengan intensif, membangun perpustakaan, dan fasilitas lain.
Indikator paling nyata keberhasilan Saemaul adalah pendapatan setahun
keluarga petani di desa mencapai pendapatan empat tahun buruh di kota pada
1974. Kota maju, desa tak ketinggalan.
Kini Korea melembagakan Saemaul
Undong ini ke dalam kajian akademik di universitas. Para relawan dan
pemuka desa dari berbagai negara dilatih untuk menumbuhkan semangat berkorban
untuk kepentingan bersama. Ya, mirip gotong royong. Bedanya, gotong royong
kita terasa ”jadul” dan kehilangan spirit. Kisah sukses Saemaul ini layak jadi ilham praktis pembangkit desa yang
dikampanyekan capres kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar