Senin, 07 Juli 2014

Surat untuk PS

                                                        Surat untuk PS

Anonim  ;   ( Tanpa Penjelasan )
TEMPO.CO,  06 Juli 2014
                                                


Mas PS yang saya hormati, saya kirim surat ini dengan niat baik, seperti juga ketika saya menerima surat Anda. Saya dengar Anda rajin berkirim surat belakangan ini. Silaturahmi itu mulia, apalagi di bulan puasa yang berkah. Semoga keberkahan menyertai pemilu 9 Juli nanti.

Terus terang, belakangan ini saya galau. Barangkali karena banyak begadang. Mungkin juga terbawa suasana kampanye pemilu.

Seumur hidup belum pernah saya mengalami kampanye seburuk sekarang. Fitnah, kabar bohong, dan isu SARA berseliweran begitu bebas. Baru pertama kali juga saya mengalami ada orang Istana yang ketahuan menyebarkan tabloid propaganda, yang Anda tentu tahu isinya lebih banyak imajinasi penulisnya. Saya prihatin Istana tidak menindak stafnya itu, malah ada kesan membela satu calon.

Saya juga miris. Badan pengawas pemilu, panitia pengawas, komisi ini atau komite itu, juga polisi, seakan tak berdaya menghadapi derasnya pelanggaran kampanye. Jangan-jangan semua lembaga pengawas ini takut kepada satu hal: kalau ada calon presiden kena diskualifikasi, Indonesia akan tercatat sebagai negara dunia pertama yang calon presidennya gugur sebelum bertanding. Saya tak percaya sekalian lembaga itu takut kepada salah satu calon presiden.

Dalam surat yang saya terima, Anda menyebut diri Anda pemimpin yang akan membawa Indonesia menjadi negeri maju, sejahtera, bermartabat di mata dunia. Saya setuju. Untuk mencapai tujuan itu, dukungan rakyat perlu digalang dengan bermartabat, dengan langkah terpuji. Siapa pun yang menang, menyatukan rakyat yang terbelah bukan persoalan mudah, kalau kita sepakat tak memaksakan penyatuan itu dengan tangan besi. Persatuan sejati mahal harganya.

Tapi saya pun paham, kata sejati itu berlebihan. Di dunia, apalagi dunia politik, mencari yang sejati itu mungkin sama sulitnya dengan mencari jarum di samudra luas (lagi-lagi saya kelewatan, mencari pesawat MH 370 yang begitu besar saja sulit, apalagi jarum yang begitu kecil). Semua kandidat berusaha meraih kemenangan dengan segala cara. Saya berharap Anda setuju bahwa cara itu mestilah yang dibenarkan demokrasi, bukan yang membuat orang luar menilai demokrasi kita begitu primitifnya.

Demokrasi kita merupakan satu-satunya kebanggaan di antara negara sekawasan. Di banyak bidang lain, kita tertinggal. Tapi dengan persiapan pemilu yang begini keruh, saya khawatir kita tidak hanya akan mundur, tapi barangkali juga akan kehilangan demokrasi yang kita banggakan ini.

Sebagai wartawan, saya merindukan pemimpin yang menjamin kebebasan pers seperti janji konstitusi. Ini bukan soal menyenangkan "insan-insan pers", melainkan merupakan ukuran saya atas penghormatan calon presiden terhadap konstitusinya.

Kami tidak meminta pemimpin untuk mengatur kebebasan itu. Kami hanya ingin memastikan pemimpin menaati konstitusi tersebut. Pemimpin yang baik adalah yang memastikan pers bekerja leluasa memenuhi hak publik akan informasi yang bebas dari pengaruh penguasa dan siapa pun. Jangan khawatir, kebebasan itu tak akan kami gunakan untuk menyiarkan berita bohong, seperti televisi yang seenaknya menayangkan kabar angin bahwa ada calon presiden yang keluarganya komunis.

Sayang, Anda tak mendiskusikan kebebasan pers dalam surat Anda. Tapi, Mas PS, Anda juga tak membahas jadwal pemilu yang bertabrakan dengan Piala Dunia sepak bola ini. Payah. Sudah capek pikiran, saya masih harus begadang menunggui jago saya berlaga di Brasil.

Jadi, Mas Putu Setia, terima kasih sudah membaca surat ini. Sekalian saya ingatkan, pekan depan giliran Anda menulis kolom "Cari Angin" ini. Semoga Internet di kampung Anda di Tabanan tak ngadat lagi. Saya ingin menikmati jago saya berlaga. Kalau tak sekarang, kapan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar