Surat
untuk PS
Anonim ;
( Tanpa Penjelasan )
|
TEMPO.CO,
06 Juli 2014
Mas PS
yang saya hormati, saya kirim surat ini dengan niat baik, seperti juga ketika
saya menerima surat Anda. Saya dengar Anda rajin berkirim surat belakangan
ini. Silaturahmi itu mulia, apalagi di bulan puasa yang berkah. Semoga
keberkahan menyertai pemilu 9 Juli nanti.
Terus
terang, belakangan ini saya galau. Barangkali karena banyak begadang. Mungkin
juga terbawa suasana kampanye pemilu.
Seumur
hidup belum pernah saya mengalami kampanye seburuk sekarang. Fitnah, kabar
bohong, dan isu SARA berseliweran begitu bebas. Baru pertama kali juga saya
mengalami ada orang Istana yang ketahuan menyebarkan tabloid propaganda, yang
Anda tentu tahu isinya lebih banyak imajinasi penulisnya. Saya prihatin
Istana tidak menindak stafnya itu, malah ada kesan membela satu calon.
Saya
juga miris. Badan pengawas pemilu, panitia pengawas, komisi ini atau komite
itu, juga polisi, seakan tak berdaya menghadapi derasnya pelanggaran
kampanye. Jangan-jangan semua lembaga pengawas ini takut kepada satu hal:
kalau ada calon presiden kena diskualifikasi, Indonesia akan tercatat sebagai
negara dunia pertama yang calon presidennya gugur sebelum bertanding. Saya
tak percaya sekalian lembaga itu takut kepada salah satu calon presiden.
Dalam
surat yang saya terima, Anda menyebut diri Anda pemimpin yang akan membawa
Indonesia menjadi negeri maju, sejahtera, bermartabat di mata dunia. Saya
setuju. Untuk mencapai tujuan itu, dukungan rakyat perlu digalang dengan
bermartabat, dengan langkah terpuji. Siapa pun yang menang, menyatukan rakyat
yang terbelah bukan persoalan mudah, kalau kita sepakat tak memaksakan
penyatuan itu dengan tangan besi. Persatuan sejati mahal harganya.
Tapi
saya pun paham, kata sejati itu berlebihan. Di dunia, apalagi dunia politik,
mencari yang sejati itu mungkin sama sulitnya dengan mencari jarum di samudra
luas (lagi-lagi saya kelewatan, mencari pesawat MH 370 yang begitu besar saja
sulit, apalagi jarum yang begitu kecil). Semua kandidat berusaha meraih
kemenangan dengan segala cara. Saya berharap Anda setuju bahwa cara itu
mestilah yang dibenarkan demokrasi, bukan yang membuat orang luar menilai
demokrasi kita begitu primitifnya.
Demokrasi
kita merupakan satu-satunya kebanggaan di antara negara sekawasan. Di banyak
bidang lain, kita tertinggal. Tapi dengan persiapan pemilu yang begini keruh,
saya khawatir kita tidak hanya akan mundur, tapi barangkali juga akan
kehilangan demokrasi yang kita banggakan ini.
Sebagai
wartawan, saya merindukan pemimpin yang menjamin kebebasan pers seperti janji
konstitusi. Ini bukan soal menyenangkan "insan-insan pers",
melainkan merupakan ukuran saya atas penghormatan calon presiden terhadap
konstitusinya.
Kami
tidak meminta pemimpin untuk mengatur kebebasan itu. Kami hanya ingin
memastikan pemimpin menaati konstitusi tersebut. Pemimpin yang baik adalah
yang memastikan pers bekerja leluasa memenuhi hak publik akan informasi yang
bebas dari pengaruh penguasa dan siapa pun. Jangan khawatir, kebebasan itu
tak akan kami gunakan untuk menyiarkan berita bohong, seperti televisi yang
seenaknya menayangkan kabar angin bahwa ada calon presiden yang keluarganya
komunis.
Sayang,
Anda tak mendiskusikan kebebasan pers dalam surat Anda. Tapi, Mas PS, Anda
juga tak membahas jadwal pemilu yang bertabrakan dengan Piala Dunia sepak
bola ini. Payah. Sudah capek pikiran, saya masih harus begadang menunggui
jago saya berlaga di Brasil.
Jadi,
Mas Putu Setia, terima kasih sudah membaca surat ini. Sekalian saya ingatkan,
pekan depan giliran Anda menulis kolom "Cari Angin" ini. Semoga
Internet di kampung Anda di Tabanan tak ngadat lagi. Saya ingin menikmati
jago saya berlaga. Kalau tak sekarang, kapan lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar