Kecapekan
Goenawan Mohamad ;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
07 Juli 2014
Kita
mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta. Tahun
2014 adalah tahun pemilihan yang paling brutal (brutal dalam wujud kata-kata)
sepanjang sejarah kita sejak 1945. Dalam proses yang sengit ini, hampir tiap
saat kita mendengarkan "fakta" yang dikatakan untuk
diputarbalikkan, bantahan-bantahan yang tak berniat mencari apa yang benar,
dan cepat atau lambat, meruyaknya saling tidak percaya, bahkan kebencian.
Bersama itu: hilangnya percakapan yang
serius.
Percakapan
yang serius mengandung keinginan untuk saling mendengarkan, meskipun tak
harus untuk saling setuju. Percakapan yang serius tak berarti percakapan
tanpa humor; bahkan humor bisa penting di situ. Dalam percakapan yang serius
ada asumsi bahwa kata-kata punya sebuah kekuatan, dalam bunyi dan makna,
dalam pikiran dan perasaan, kekuatan yang kadang-kadang disebut
"maksud". "Maksud" dalam bahasa Indonesia bisa berarti
"makna", bisa juga berarti "intensi". Tapi ketika dusta
begitu sering diucapkan, maksud pun hanyut, dan kadang-kadang tenggelam, dalam
arus bunyi yang desak-mendesak yang dalam gramatika disebut (untuk memakai
ucapan Hamlet yang kesal) "kata, kata, kata".
Mark
Twain pernah mengatakan, perbedaan antara dusta dan kucing ialah bahwa kucing
hanya punya sembilan nyawa. Dusta, dengan kata lain, jauh lebih sulit mati.
Ia hanya bisa dihentikan oleh lawannya yang sering disebut sebagai
"kebenaran". Tapi kebenaran, apa pun definisinya, tampaknya kini
sudah kecapekan sebelum berhasil mengejar dan menghajar kebohongan.
Pelan-pelan,
sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta, sebuah masyarakat yang tak bisa
lagi bercakap-cakap secara serius, akhirnya mirip sebuah koleksi suara
berisik yang sebenarnya tak berkata apa-apa. Kita seakan-akan bagian lakon
televisi yang disajikan Samuel Beckett: tidak ada lagi dialog. Bahasa sudah
habis.
Dalam Quad, kita akan melihat para aktor bergerak di pentas dan tak
mengucapkan sepatah kata pun. Kata-kata hanya ditulis Beckett sebagai arahan
pementasan. Deleuze membahas lakon tanpa-kata itu dengan judul puisi
"yang kehabisan tenaga". Tak ada lagi tenaga untuk saling menyapa.
Setidaknya oleh Beckett bahasa ditunjukkan sebagai bagian dari keadaan yang
lebih runyam ketimbang sekadar lelah.
Tapi
kita tahu, kita tak mungkin hidup tanpa bahasa. Kita mustahil kembali ke
sebuah masa pra-linguistik, sebelum bahasa dipergunakan, sebab masa itu tak
pernah ada. Realitas yang kita kenal tidak saja disebut dengan bahasa, tapi
bahkan dikonstruksikan bahasa, apa pun bentuknya. Dalam keadaan
"kehabisan tenaga" verbal, kita tahu ada bahasa bunyi, ada bahasa
imaji, ada bahasa isyarat. Seorang "bisu" yang dibuang ke sebuah
pulau hukuman selama bertahun-tahun, seperti ditunjukkan catatan-catatan
Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu, justru orang yang mengutarakan banyak hal.
"Bisu"
di situ berarti penampikan: menampik bahasa kekuasaan yang membekukan pikiran
dan tafsir, menolak bahasa yang memenjarakan hidup dan percakapan ke dalam
label dan identifikasi ("Gestapu", "Golongan A"), atau
melawan bahasa yang memutarbalikkan pengalaman ("Tefaat", akronim
dari "tempat pemanfaatan", sesungguhnya adalah tempat penyekapan).
"Bisu" dalam hal ini mirip dengan yang disebut Deleuze sebagai "gagap", gaiement, satu ekspresi yang menyanggah "imperialisme"
bahasa yang membekukan gerak dan arus makna.
Dengan
kata lain, ada sebuah alternatif ketika percakapan kehabisan tenaga verbal.
Tapi saya tak tahu apa jadinya jika masyarakat yang kecapekan oleh dusta
kemudian kehabisan asumsi bahwa saling percaya adalah satu hal yang mungkin.
Ketika fitnah diproduksi dan disebarkan bertubi-tubi, tak jarang oleh mereka
yang seharusnya dipercaya, yakni tokoh agama, ketika orang saling menyidik
apakah tetangganya "Kristen", "zionis",
"teroris", "Islam fundamentalis", "neo-lib",
atau "komunis", ketika itulah dunia kehidupan lumpuh. Polisi
menggantikan Politik: pengawasan menggantikan ikhtiar bersama.
Dalam
keadaan itu, yang tersirat dari Quad, apa pun maksud Beckett dengan lakon
yang ditulisnya mengingatkan situasi itu: di atas pentas, empat sosok
berkerudung bergerak di bidang bersegi empat, tak punya nama, asal-usul, dan
percakapan. Masing-masing hanya tampak beda dari warna jalabiahnya dan bunyi
perkusi yang mengantarnya masuk. Mereka semua menyembunyikan identitas,
karena mereka tak mau diawasi dan diberi label. Atau sebaliknya, mereka semua
telah jadi serupa: penghuni-penghuni yang dicurigai, penghuni-penghuni yang
saling mencurigai.
Kita
mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang macam itu: kecapekan fitnah
dan dusta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar