Siap
untuk Menang
Taufik Ikram Jamil ; Sastrawan
|
KOMPAS,
09 Juli 2014
Sejumlah
orang mungkin tertawa membaca judul tulisan ini ”Siap untuk Menang”. Hari ini, kita melaksanakan pesta demokrasi
dan berharap yang baik akan menang. Sesungguhnya, perkara siap menang memang
senantiasa disetalikan dengan siap kalah. Namun, senantiasa dikedepankan dan
diwanti-wanti umumnya seruan siap kalah, bukan siap menang.
Pasalnya
jelas. Kekalahan suatu kelompok dapat menjadi ancaman temporer dan permanen.
Pihak yang kalah, misalnya, tidak mengakui kekalahannya sehingga tersulut
kemarahan sampai melakukan tindakan anarkistis.
Bukan
mustahil apabila tindakan tersebut berdampak lebih jauh, yakni bercerai-berainya
kehidupan berbangsa yang telah dibangun sekian lama.
Tentu
saja, penerimaan terhadap kekalahan tersebut terlepas dari apakah dikalahkan
secara riil atau melalui rekayasa pihak lawan.
Secara
riil karena memang sebagian besar rakyat tidak mau memilih sosok tertentu,
malahan sebaliknya. Sementara kekalahan yang direkayasa adalah bagaimana
suatu kelompok telah berbuat curang seperti membeli suara, memanipulasi
suara, dan sejenis dengannya, sehingga memperoleh dukungan lebih besar.
Pastilah
yang disebut siap kalah adalah menerima orang lain sebagai pemenang. Walaupun
agak naif, patutlah diarifi bahwa dalam suatu pertarungan, kesiapsediaan
dikalahkan secara tidur jujur, menjadi bagian dari kemampuan menerima
kekalahan itu.
Suatu
pernyataan yang amat disayangkan, tetapi begitu akrab terdengar di tengah
masyarakat tentang kalimat yang berbunyi, ”Sedang
tak jujur saja sulit menang, apalagi jujur….”
Menggelincirkan
Syahdan,
menjadi pihak yang kalah sebenarnya menghadapi sesuatu yang jelas.
Oleh
karena itu, mengantisipasinya pun memiliki dasar-dasar yang terukur.
Jalur
hukum yang dilakukan secara tegas, misalnya, merupakan senjata ampuh untuk
menetralisir keadaan.
Pada
tingkat yang genting, kenetralan penegak hukum dan aparat keamanan amat
menentukan untuk ”mengawal” kekalahan agar tidak menjadi ajang
kontraproduktif berkepanjangan.
Tidak
demikian halnya dengan siap untuk menang. Tanpa berpanjang lebar, memadailah
untuk disebutkan bahwa bukankah berbagai kasus yang menimpa pejabat di Tanah
Air ini diawali oleh kemenangan yang mereka peroleh sebelumnya?
Dengan
kemenangan, mereka memperoleh kuasa yang ajaran tradisi saja menyebutkan
bahwa kekuasaan mampu menggelincirkan seseorang ke tempat terburuk selain
harta dan wanita. Ketiga unsur ini malahan menyatu sebagai dampak dari suatu
kemenangan.
Apakah
Anas Urbaningrum, misalnya, akan menghadapi kasus Hambalang yang kini dalam
persidangan apabila sebelumnya ia tidak memperoleh kemenangan dengan meraih
kursi Ketua Umum Partai Demokrat?
Padahal,
dapat dipastikan bahwa posisi petinggi partai berkuasa tersebut sama sekali
tidak merekomendasikan perbuatan yang didakwakan KPK terhadapnya.
Soekarno
akhirnya turun setelah semua kuasa berada di tangannya sekitar 20 tahun,
hanya sekali melakukan pemilu (1955). Demikian juga Soeharto meliputi waktu
30 tahun.
Dalam
dua masa ini, setidak-tidaknya dapat terbaca bahwa bagaimanapun mereka
berkeinginan terus menjadi pemenang dengan mengenyampingkan konstitusi,
melumpuhkan hak demokrasi yang sama sekali tidak diinginkan oleh keberadaan
sebuah negara.
Harus diusahakan
Kita
belum tahu bagaimana akhir kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun,
dengan memperhatikan begitu banyaknya kader Partai Demokrat yang terlibat
korupsi, sedikit-banyaknya telah memperlihatkan ketidaksiapan untuk menang.
Belum lagi kasus Hambalang dan Bank Century, misalnya, yang menyebut-nyebut
nama keluarga inti SBY.
Jadi,
siap untuk menang adalah upaya, baik pribadi maupun kelompok, untuk
melaksanakan amanat bangsa.
Godaannya
amat banyak dan dari berbagai sisi yang semuanya menyebabkan tantangan dari
suatu kemenangan amatlah kabur, tidak tantangan bagi yang kalah.
Kembali
pepatah lama yang umum dikenal dapat ditarik untuk mengalasi kesimpulan ini
bahwa semakin tinggi suatu pohon, semakin kuat pula diterpa angin.
Mengacu
pada pengalaman bernegara, mulai dari Soekarno sampai SBY, rasanya siap untuk
memang tidak begitu mudah diwujudkan betapapun harus diusahakan, betapapun
sederhana kedengarannya. Baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo (disebut
berdasarkan nomor urut) harus membuktikan bahwa mereka bisa diandalkan untuk
itu.
Sementara
tidak sedikit masyarakat yang merindukan bagaimana penggantian presiden lima
atau sepuluh tahun mendatang dilakukan tanpa pejabat nomor satu itu dililit
masalah intern ataupun ekstern.
Tidak
menghadapi kader partai yang amburadul dan diri sendiri ataupun keluarga yang
terancam masalah hukum, apalagi sampai ternista seperti dialami Soekarno dan
Soeharto.
Ya,
bagaimana George HW Bush menyerahkan kekuasaan kepada Bill Clinton, kemudian
kepada Barack Obama, di AS sana, begitu kira-kira kerinduan masyarakat
tersebut. Tanpa gejolak intern ataupun ekstern, apalagi sampai kudeta, baik
kasar maupun halus. Semoga…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar