Implikasi
Putusan MK tentang Pilpres
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Kenegaraan pada Fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
10 Juli 2014
MELALUI putusan MK No 50/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi memberikan
makna baru terhadap Pasal 159 Ayat (1) UU tentang Pemilu Presiden dan Wapres.
Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 6A Ayat
(3) UUD 1945 mengatur bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon
yang memperoleh suara lebih dari 50
persen dari jumlah suara dalam pemilu
presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya
20 persen suara di setiap provinsi
yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia.
MK telah memberikan makna baru (judicial
interpretation) atas ketentuan mengenai syarat keterpilihan pasangan
capres melalui putusannya dengan model konstitusional bersyarat, yaitu bahwa
syarat sebaran suara tersebut hanya berlaku jika pasangan capres terdiri atas
lebih dari dua pasang capres yang berkontestasi dalam pilpres.
Putusan MK berimplikasi terhadap beberapa hal. Pertama, putaran pilpres
untuk jumlah kontestan hanya dua pasang capres akan diterapkan sistem pemilu
bervarian mayoritas sederhana (first past
the post) dengan varian model sistem satu putaran (one round system). Dalam varian mayoritas, pasangan capres
dinyatakan terpilih cukup berdasarkan persyaratan perolehan suara 50 persen
plus satu.
Kedua, melalui putusan MK itu, kini sistem pilpres di Indonesia
menggunakan dua model sistem pemilu yang dikaitkan dengan jumlah kontestan
pilpres dalam pilpres. Jika kontestan pilpres terdiri atas lebih dari dua
pasang capres, tetap digunakan sistem mayoritas mutlak. Dengan sistem
mayoritas mutlak, pelaksanaan pemilu kembali mengikuti rumusan tekstual Pasal
159 Ayat (1) UU Pilpres dengan ketentuan pemenuhan persyaratan minimal bagi
kontestan untuk bisa menang harus memenuhi tiga kriteria, yaitu (1)
memperoleh 50 persen dari jumlah pemilih; (2) menang di 20 persen tiap
provinsi; (3) tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Jika kriteria ini tak terpenuhi, dilanjutkan pilpres putaran kedua.
Sementara jika pilpres hanya diikuti oleh dua pasang capres, berdasarkan
putusan MK tersebut digunakan varian mayoritas sederhana.
Dengan menggunakan varian mayoritas sederhana yang berujung terhadap
presiden terpilih berdasarkan persyaratan perolehan suara 50 persen plus
satu, sering kali menghasilkan efek secara tidak langsung berupa presiden
akan terpilih dengan mandat yang lemah dan disertai dukungan legislatif yang
rendah. Hal inilah yang jadi latar belakang pembentuk UUD 1945 dan UU Pilpres
memilih penggunaan sistem mayoritas mutlak dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945
dan Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres.
Jika menelusuri konsiderasi yuridis putusan MK No 50/PUU-XII/2014,
terlihat semula MK berpijak pada tafsir historis atas perumusan Pasal 6A UUD
1945 dengan mengaitkan logika perumus UUD 1945 yang semula berpendirian
sistem pilpres dengan varian mayoritas mutlak bersifat ekuivalen dengan
banyaknya jumlah parpol yang mengusung pasangan capres.
Luput
dari pertimbangan
Jika hanya berhenti pada logika hukum itu, putusan MK itu sudah sesuai
dengan kebutuhan kontekstual saat ini. Sebab, realitasnya jumlah capres yang berkontestasi
dalam pilpres kali ini ternyata tidak ekuivalen dengan jumlah partai politik
yang ada. Hal itu disebabkan adanya syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Namun, ada maksud (original
intent) perumus UUD hasil amendemen yang sepertinya luput dipertimbangkan
dalam putusan MK itu. Semangat yang sejatinya diusung perumus Pasal 6A UUD
1945 adalah untuk memastikan bahwa capres yang terpilih mendapat legitimasi
yang kuat karena mendapat dukungan mayoritas rakyat yang tersebar di 34
provinsi dan sering kali jumlah penduduknya tak merata. Dengan ketentuan
tersebut, pasangan capres akan memaksimalkan kampanye visi-misinya dan
kunjungannya ke semua wilayah serta menyerap aspirasi dari mayoritas penduduk
di negeri ini yang tinggal di berbagai wilayah.
Dengan adanya dua model pilpres yang kini dianut sebagai implikasi
putusan MK tersebut, jika (suatu saat) jumlah hasil pemilihan untuk pilpres
yang hanya diikuti oleh dua pasang capres tak terlalu signifikan perbedaannya
akan memunculkan isu legitimasi hasil pilpres. Hal ini sebagai konsekuensi
dianutnya varian mayoritas sederhana, yang kiranya bukan merupakan maksud
asli (original intent) dari perumus
UUD 1945, sebagaimana tecermin dalam berbagai risalah pembahasan UUD 1945
sewaktu diamandemen. Namun, untuk kali ini putusan MK ini tetap sebuah
terobosan hukum (legal breakthrough)
yang cukup berani sebagai respons atas tuntutan publik dan kebutuhan sistem
ketatanegaraan aktual. ●
|
Kedua, Indonesia harus memilih arbiter yang memang memiliki kapasitas
mumpuni dan disegani di forum
arbitrase ICSID. Terkadang itu belum cukup, harus pula disertai komitmen
moral yang berkesungguhan untuk memahami dan membela kepentingan Indonesia.
Peran
rakyat
Dalam menangani perkara di forum arbitrase internasional, selama ini
Pemerintah Indonesia nyaris menegasikan peran rakyat. Padahal, berbagai
konvensi internasional bidang ekonomi telah mengakui eksistensi rakyat
sebagai pihak yang memiliki hak ekonomi dan hak untuk diproteksi oleh pelaku
ekonomi.
Oleh karena itu, untuk menghadapi sengketa investasi di forum arbitrase
internasional mendatang, seyogianya pemerintah mulai membuka akses kepada
rakyat untuk ikut menjadi pihak.
Apalagi, aturan ICSID memang membuka peluang bagi representasi rakyat
untuk hadir sebagai pihak dalam sengketa
(eligible party). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar