Kamis, 10 Juli 2014

Implikasi Putusan MK tentang Pilpres

                       Implikasi Putusan MK tentang Pilpres

W Riawan Tjandra  ;   Pengajar Hukum Kenegaraan pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KOMPAS,  10 Juli 2014
                                                


MELALUI putusan MK No 50/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi memberikan makna baru terhadap Pasal 159 Ayat (1) UU tentang Pemilu Presiden dan Wapres. Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang  memperoleh suara lebih dari 50 persen dari  jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden  dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap  provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah  provinsi di Indonesia.

MK telah memberikan makna baru (judicial interpretation) atas ketentuan mengenai syarat keterpilihan pasangan capres melalui putusannya dengan model konstitusional bersyarat, yaitu bahwa syarat sebaran suara tersebut hanya berlaku jika pasangan capres terdiri atas lebih dari dua pasang capres yang berkontestasi dalam pilpres.

Putusan MK berimplikasi terhadap beberapa hal. Pertama, putaran pilpres untuk jumlah kontestan hanya dua pasang capres akan diterapkan sistem pemilu bervarian mayoritas sederhana (first past the post) dengan varian model sistem satu putaran (one round system). Dalam varian mayoritas, pasangan capres dinyatakan terpilih cukup berdasarkan persyaratan perolehan suara 50 persen plus satu.

Kedua, melalui putusan MK itu, kini sistem pilpres di Indonesia menggunakan dua model sistem pemilu yang dikaitkan dengan jumlah kontestan pilpres dalam pilpres. Jika kontestan pilpres terdiri atas lebih dari dua pasang capres, tetap digunakan sistem mayoritas mutlak. Dengan sistem mayoritas mutlak, pelaksanaan pemilu kembali mengikuti rumusan tekstual Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres dengan ketentuan pemenuhan persyaratan minimal bagi kontestan untuk bisa menang harus memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) memperoleh 50 persen dari jumlah pemilih; (2) menang di 20 persen tiap provinsi; (3) tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Jika kriteria ini tak terpenuhi, dilanjutkan pilpres putaran kedua. Sementara jika pilpres hanya diikuti oleh dua pasang capres, berdasarkan putusan MK tersebut digunakan varian mayoritas sederhana.

Dengan menggunakan varian mayoritas sederhana yang berujung terhadap presiden terpilih berdasarkan persyaratan perolehan suara 50 persen plus satu, sering kali menghasilkan efek secara tidak langsung berupa presiden akan terpilih dengan mandat yang lemah dan disertai dukungan legislatif yang rendah. Hal inilah yang jadi latar belakang pembentuk UUD 1945 dan UU Pilpres memilih penggunaan sistem mayoritas mutlak dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres.

Jika menelusuri konsiderasi yuridis putusan MK No 50/PUU-XII/2014, terlihat semula MK berpijak pada tafsir historis atas perumusan Pasal 6A UUD 1945 dengan mengaitkan logika perumus UUD 1945 yang semula berpendirian sistem pilpres dengan varian mayoritas mutlak bersifat ekuivalen dengan banyaknya jumlah parpol yang mengusung pasangan capres.

Luput dari pertimbangan

Jika hanya berhenti pada logika hukum itu, putusan MK itu sudah sesuai dengan kebutuhan kontekstual saat ini. Sebab, realitasnya jumlah capres yang berkontestasi dalam pilpres kali ini ternyata tidak ekuivalen dengan jumlah partai politik yang ada. Hal itu disebabkan adanya syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Namun, ada maksud (original intent) perumus UUD hasil amendemen yang sepertinya luput dipertimbangkan dalam putusan MK itu. Semangat yang sejatinya diusung perumus Pasal 6A UUD 1945 adalah untuk memastikan bahwa capres yang terpilih mendapat legitimasi yang kuat karena mendapat dukungan mayoritas rakyat yang tersebar di 34 provinsi dan sering kali jumlah penduduknya tak merata. Dengan ketentuan tersebut, pasangan capres akan memaksimalkan kampanye visi-misinya dan kunjungannya ke semua wilayah serta menyerap aspirasi dari mayoritas penduduk di negeri ini yang tinggal di berbagai wilayah.

Dengan adanya dua model pilpres yang kini dianut sebagai implikasi putusan MK tersebut, jika (suatu saat) jumlah hasil pemilihan untuk pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasang capres tak terlalu signifikan perbedaannya akan memunculkan isu legitimasi hasil pilpres. Hal ini sebagai konsekuensi dianutnya varian mayoritas sederhana, yang kiranya bukan merupakan maksud asli (original intent) dari perumus UUD 1945, sebagaimana tecermin dalam berbagai risalah pembahasan UUD 1945 sewaktu diamandemen. Namun, untuk kali ini putusan MK ini tetap sebuah terobosan hukum (legal breakthrough) yang cukup berani sebagai respons atas tuntutan publik dan kebutuhan sistem ketatanegaraan aktual.


;font�_iy�` �_ "sans-serif"'> 


ont]�l:�` �_ awyer) haruslah merupakan pribadi yang memang andal dan berkomitmen membela kepentingan Indonesia secara total.


Kedua, Indonesia harus memilih arbiter yang memang memiliki kapasitas mumpuni  dan disegani di forum arbitrase ICSID. Terkadang itu belum cukup, harus pula disertai komitmen moral yang berkesungguhan untuk memahami dan membela kepentingan Indonesia.

Peran rakyat

Dalam menangani perkara di forum arbitrase internasional, selama ini Pemerintah Indonesia nyaris menegasikan peran rakyat. Padahal, berbagai konvensi internasional bidang ekonomi telah mengakui eksistensi rakyat sebagai pihak yang memiliki hak ekonomi dan hak untuk diproteksi oleh pelaku ekonomi.

Oleh karena itu, untuk menghadapi sengketa investasi di forum arbitrase internasional mendatang, seyogianya pemerintah mulai membuka akses kepada rakyat untuk ikut menjadi pihak.   Apalagi, aturan ICSID memang membuka peluang bagi representasi rakyat untuk hadir sebagai pihak dalam sengketa  (eligible party).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar