Kamis, 10 Juli 2014

Genderang Perang Sengketa Tambang

                       Genderang Perang Sengketa Tambang

Bahrul Ilmi Yakup  ;   Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK); 
Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN
KOMPAS,  09 Juli 2014
                                                


DI tengah perhatian pemerintah yang sedang tersita oleh kegiatan pemilihan presiden, pada 1 Juli 2014 PT Newmont Nusa Tenggara memukul genderang perang di forum arbitrase internasional. Perusahaan ini melawan (Pemerintah) Indonesia dengan membawa sengketa larangan ekspor mineral mentah (LEMM) ke forum arbitrase International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID), suatu badan arbitrase internasional yang bernaung di bawah Bank Dunia dan berkedudukan  di Washington DC. PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) telah mengajukan permohonan pemeriksaan arbitrase yang hendak menguji kebijakan Pemerintah Indonesia melarang ekspor mineral mentah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP No 23/2010.

Langkah yang ditempuh PT NNT dapat merupakan pukulan pertama genderang perang antara Indonesia dan investor bidang pertambangan. Sebab, sangat mungkin langkah tersebut akan diikuti oleh investor pertambangan pemegang kontrak karya (KK) pertambangan atau pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) lainnya yang jumlahnya cukup banyak.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu mencermatinya dengan serius, dengan sikap antisipatif dan taktis agar tak membawa hasil buruk bagi kepentingan negara. Sebab, pada hakikatnya forum arbitrase internasional ICSID akan menguji kedaulatan negara di bidang ekonomi, akan menguji lingkup pertanggungjawaban negara, serta akan menguji kemampuan proteksi pemerintah terhadap aset negara dan kepentingan rakyat.

Isu LEMM yang dibawa NNT ke arbitrase ICSID sebetulnya terkait dengan kewajiban pemegang KK agar melakukan pengolahan dan pemurnian mineral mentah hasil tambang. Kewajiban ini merupakan satu  dari enam isu strategis yang muncul sebagai  pelaksana amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 serta UU No 4/2009  tentang Mineral dan Batubara, yang mengatur bahwa  ketentuan KK dan PKP2B  harus disesuaikan dengan prinsip bahwa komoditas mineral dan batubara (minerba) dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Untuk menyelesaikan enam isu strategis tersebut, Pemerintah Indonesia menempuh upaya renegosiasi kontrak pertambangan yang saat ini sedang berlangsung. Lima isu strategis lainnya menyangkut: (1) luas wilayah kerja; (2) perpanjangan kontrak; (3) penerimaan negara; (4) kewajiban divestasi; dan (5) kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam negeri.

Arbitrase bukan WTO

Menarik seraya menantang untuk dicermati bahwa Newmont membawa sengketa LEMM ke forum arbitrase ICSID, bukan ke forum  Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pilihan tersebut pastilah  didasarkan pada kajian matang, yang disertai dengan target akan hasil yang diperoleh oleh PT NNT.

Salah satu target utama yang hendak dibidik PT NNT adalah munculnya putusan sela arbitrase yang membolehkan PT NNT melakukan ekspor mineral mentah. Apabila putusan demikian muncul, artinya hukum nasional Indonesia tunduk pada primat hukum internasional, yang bermakna menggerus kedaulatan negara Indonesia.

Selain itu, dari aspek normatif, forum arbitrase ICSID berpotensi memberikan beberapa hasil konkret kepada PT NNT, yaitu (i) akan memberikan putusan yang kelak dapat dilaksanakan melalui instrumen peradilan, baik internasional maupun nasional Indonesia; (ii)  akan memperoleh suatu norma hukum yang bersifat mengikat dan berkepastian (final and binding) secara serta-merta setelah putusan dibacakan majelis arbiter; dan (iii) akan membuka peluang PT NNT untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang telah mereka derita selama larangan ekspor mineral mentah  berlangsung.

Hasil tersebut tidak akan diperoleh PT NNT jika sengketa LEMM dibawa ke forum WTO yang bersifat konsultatif, yang hanya akan menghasilkan rekomendasi kepada para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, dapat dan perlu dipahami bahwa upaya hukum yang ditempuh PT NNT memang sungguh-sungguh.

Sebaliknya, Indonesia akan sangat rugi jika tidak serius menghadapi pertarungan di forum arbitrase ICSID yang diinisiasi PT NNT tersebut. Sebab, di forum itu dipertaruhkan kedaulatan negara, khususnya bidang ekonomi, lingkup pertanggungjawaban negara (state liability), serta kemampuan proteksi negara atas aset dan kepentingan rakyat Indonesia. 

Keseriusan langkah Indonesia dapat dipahami dan tecermin dari langkah, pertama, membentuk tim hukum yang kapabel dan kompeten. Sebab, memang tidak semua ahli hukum memiliki kapasitas dan kapabilitas  memahami substansi dan mekanisme penyelesaian sengketa di forum arbitrase. Oleh karena itu, tim hukum Indonesia yang seyogianya terdiri dari tim fakta, tim ahli, dan advokat (lawyer) haruslah merupakan pribadi yang memang andal dan berkomitmen membela kepentingan Indonesia secara total.

Kedua, Indonesia harus memilih arbiter yang memang memiliki kapasitas mumpuni  dan disegani di forum arbitrase ICSID. Terkadang itu belum cukup, harus pula disertai komitmen moral yang berkesungguhan untuk memahami dan membela kepentingan Indonesia.

Peran rakyat

Dalam menangani perkara di forum arbitrase internasional, selama ini Pemerintah Indonesia nyaris menegasikan peran rakyat. Padahal, berbagai konvensi internasional bidang ekonomi telah mengakui eksistensi rakyat sebagai pihak yang memiliki hak ekonomi dan hak untuk diproteksi oleh pelaku ekonomi.

Oleh karena itu, untuk menghadapi sengketa investasi di forum arbitrase internasional mendatang, seyogianya pemerintah mulai membuka akses kepada rakyat untuk ikut menjadi pihak.   Apalagi, aturan ICSID memang membuka peluang bagi representasi rakyat untuk hadir sebagai pihak dalam sengketa  (eligible party).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar