Rekonsiliasi
(Samawi) Palestina-Israel
Hasibullah Satrawi ;
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur
Tengah dan dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta
|
JAWA
POS, 04 Juli 2014
HUBUNGAN Israel-Palestina kembali membara. Dalam dua hari terakhir
(1–2/7), Israel diberitakan telah menggempur sedikitnya 34 sasaran di Jalur
Gaza. Israel mengklaim, operasi tersebut dilakukan sebagai upaya mencari warga
Palestina yang dituduh membunuh tiga pemuda Israel setelah disandera sejak 12
Juni lalu. Israel juga menuduh Hamas terlibat dalam penculikan tersebut (al-jazeera.net, 2/7).
Bila Palestina terpancing dengan serangan Israel, khususnya Hamas, bisa
dipastikan ketegangan itu akan meningkat seperti telah kerap terjadi selama
ini. Apalagi, Hamas selama ini kerap menggunakan politik perlawanan (al-muqawamah) untuk menghadapi
kesewenang-wenangan Israel. Bila hal itu terjadi, dipastikan akan semakin
banyak korban yang jatuh di kedua pihak.
Mediasi
Perdamaian
Di sinilah pentingnya mediasi perdamaian bagi Palestina dan Israel.
Tidak semata-mata karena mereka bertetangga, tapi lebih daripada itu karena
sesungguhnya ada hubungan kekerabatan dan persadauraan di antara
elemen-elemen yang terdapat di kedua negara. Setidaknya itu bila ditinjau
dari perspektif agama-agama samawi yang dipedomani warga Israel dan
Palestina, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi.
Hakikat tiga agama samawi di atas bersaudara. Sebab, tiga agama
tersebut sama-sama berbapak kepada Nabi Ibrahim AS. Bahkan, ketiganya
sama-sama bertuhan kepada Allah (walaupun bahasa dan pendekatan teologinya
acap berbeda-beda). Itu sebabnya, dalam studi agama-agama, Islam, Kristen,
dan Yahudi dikenal dengan istilah agama-agama samawi.
Ironisnya, tiga agama bersaudara itu justru acap terlibat dalam
pelbagai macam konflik yang berdarah-darah. Baik karena latar belakang
politik yang ’’diagamakan’’ maupun adanya ajaran bernuansa ’’eksklusif’’
dalam ketiganya. Akibatnya, antara satu agama dan agama yang lain acap
menafikan sembari meneguhkan kebenaran dan keselamatan versi masing-masing.
Tidak mengherankan bila terbentuk kecurigaan sangat dalam di kalangan pemeluk
agama samawi terhadap pemeluk agama samawi yang lain.
Pada awalnya, eksklusivisme bermula dari sebuah keyakinan bahwa mereka
adalah umat pilihan Tuhan, umat terbaik, umat yang pasti selamat, dan
klaim-klaim eksklusif yang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, ekslusivisme
membentuk pola pikir yang bersemangat saling curiga, bahkan membentuk
kehidupan umat beragama yang terkotak-kotak. Umat bergama A, contohnya, di
kotak tertentu, sedangkan umat agama B berada di kotak yang berbeda.
Pengalaman konflik berkepanjangan antarkeluarga samawi telah membentuk
satu pepatah yang sangat masyhur di kalangan masyarakat Timur Tengah bahwa
konflik senantiasa terjadi di internal keluarga. Sebab, sesama orang asing
yang tidak saling mengenal tidak mungkin berkonflik.
Titik
Balik; Rekonsiliasi
Di sinilah urgensi mediasi perdamaian seperti pernah dilakukan Paus
Fransiskus beberapa waktu lalu (8/6) dalam bentuk pertemuan dialog dan doa di
antara tiga agama samawi. Acara yang diadakan di Vatikan itu juga dihadiri
langsung oleh presiden Palestina dan presiden Israel (Mahmoud Abbas dan
Shimon Perez).
Apa yang dilakukan Paus Fransiskus itu dapat disebut sebagai upaya
titik balik; dari konflik akibat keluarga dekat menjadi rekonsiliasi karena
adanya ikatan keluarga dekat. Konflik di internal keluarga yang berdekatan
jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan konflik dengan pihak lain, apalagi
berjauhan. Bahkan, konflik di internal keluarga bisa berlangsung secara lebih
mengerikan atau bahkan sampai pada tahap habis-habisan.
Hal itu terjadi karena masing-masing pihak dalam satu keluarga dengan
mudah bisa mengetahui kelemahan, keistimewaan, atau hal-hal yang lain.
Sementara itu, pihak luar, apalagi berjauhan, tidak mempunyai kemudahan
seperti itu untuk mengetahui kelemahan, keistimewaan, atau hal-hal lain yang
dimiliki sang lawan.
Berdasar pengetahuan atas apa yang dimiliki ’’lawan’’, konflik di
internal keluarga bisa berlangsung lebih mengerikan daripada konflik di antar
sesama orang asing. Itulah yang kurang lebih terjadi selama berabad-abad di
internal keluarga besar agama-agama samawi. Bahkan, konflik di internal
keluarga agama-agama samawi berlangsung hingga hari ini. Misalnya, konflik
Palestina-Israel dan konflik Sunni-Syiah.
Oleh karena itu, persis dengan yang dikatakan Paus, upaya perdamaian
dan titik balik seperti itu membutuhkan keberanian yang sangat besar;
keberanian menggunakan semua hubungan dan kedekatan yang ada untuk membangun
perdamaian dan kerukunan, daripada menggunakan hubungan dan kedekatan yang
ada untuk peperangan dan konflik.
Hati
Samawi
Ibarat manusia, konflik Palestina-Israel dapat disebut sebagai hati
bagi agama-agama samawi. Hal itu tak lain karena di area tersebut terdapat
tempat-tempat bersejarah dan disucikan oleh tiga agama samawi. Keberadaan
situs-situs suci di wilayah itu sedikit banyak menambah kompleks konflik yang
ada. Oleh karena itu, penyelesaian atas konflik Palestina-Israel akan sangat
berpengaruh terhadap penurunan konflik di dunia, khususnya konflik terkait
dengan tiga agama samawi tersebut.
Sejatinya wilayah Palestina dan Israel bisa dijadikan contoh oleh semua
pihak untuk membangun kehidupan umat beragama yang penuh dengan kemajemukan
(terutama bagi kalangan pemeluk agama samawi), tapi tetap saling menghormati
di antara mereka. Mengingat, wilayah itu merupakan kota suci bagi agama-agama
samawi. Dan di tempat tersebut terdapat umat pemeluk tiga agama samawi dengan
rumah ibadah masing-masing.
Eksklusivisme dan kepentingan-kepentingan lain yang bersifat politis
telah membuat Palestina dan Israel berubah menjadi cermin retak. Wilayah yang
pada awalnya bisa dijadikan contoh kerukunan dan kemajemukan itu acap berubah
menjadi ’’kota sengketa’’ dan ’’pemicu konflik’’ di hampir semua mata rantai
sejarah umat manusia. Dimulai dari sejarah peradaban-perdaban kuno yang
pernah memperebutkan kota itu (seperti Babilonia, Asyiria, Persia, dan
Romawi), kekhilafan Turki Utsmani, hingga masa belakangan yang mewujud dalam
konflik Palestina-Israel beserta seluruh konflik turunanannya di pelbagai
macam belahan dunia.
Tentu itu adalah kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan secara
berjamaah oleh para perebut wilayah tersebut. Mengingat, kota suci itu pada
awalnya dibangun tidak untuk menjadi petaka bagi kehidupan banyak manusia,
tetapi untuk menjadi tempat bermunajat kepada Tuhan, tempat mempersatukan
seluruh umat manusia (terutama umat pengikut tiga agama samawi), dan tempat
semburan ajaran kasih yang senantiasa menyirami kehidupan umat manusia di
mana pun berada.
Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadis: Baik
atau buruknya sebuah hati akan berpengaruh terhadap kesehatan seseorang.
Setelah kerap gagal sebelumnya di tangan banyak pihak, kini Paus mencoba
menyembuhkan hati samawi itu. Konflik Palestina dan Israel memang bukan
persoalan agama, tapi semangat rekonsiliasi samawi akan sangat berperan dalam
upaya penyelesaian konflik tersebut. Semoga
berhasil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar