Senin, 07 Juli 2014

D’Lloyd setelah Lama Mati Suri

                               D’Lloyd setelah Lama Mati Suri

Dahlan Iskan  ;   Menteri BUMN
JAWA POS,  07 Juli 2014
                                                


SATU lagi BUMN yang sudah lama mati bisa hidup lagi: PT Djakarta Lloyd. Minggu lalu sebuah pesta kecil diselenggarakan di Hotel Pullman Jakarta untuk syukuran.

Selama ini sulit sekali mencari jalan keluar menghidupkan perusahaan pelayaran yang pernah memiliki kelompok musik legendaris D’Lloyd itu. Pernah saya ingin menghidupkannya dengan cara membelikannya kapal agar bisa mulai berusaha lagi. Tapi takut: jangan-jangan begitu kapal itu dibeli dan diserahkan ke PT Djakarta Lloyd (DL), langsung hilang. Disita orang.

Itu karena DL memiliki utang lebih dari Rp 1,3 triliun. Mereka itulah yang telah menyita kapal-kapal DL satu per satu. Terakhir, dua kapalnya yang masih tersisa dan sedang diperbaiki di Singapura disita orang pula di sana. Habis. Ludes. Perusahaan perkapalan ini tidak punya kapal sama sekali.

Ketika saya mulai menjadi menteri, direktur DL tinggal satu: Syahril Japarin. Sebelumnya Syahril sudah memiliki posisi yang mapan sebagai Dirut perusahaan air minum di Jakarta. Tapi, ketika menteri BUMN sebelum saya menawarinya untuk menyelamatkan DL, Syahril tertantang.

Syahril sering menemui saya yang waktu itu masih menjabat Dirut PLN. Dia minta diberi tugas mengangkut batu bara PLN. Tentu tidak mungkin. Tidak memenuhi syarat.

Pengangkut batu bara PLN harus punya kapal. Apalagi, saat itu saya lagi menerima tugas sulit dari menteri BUMN untuk menghidupkan perusahaan perkapalan yang juga sudah lama mati: PT Bahtera Adiguna (BAg). Di tangan PLN akhirnya BAg bisa hidup dan kini sudah sangat sehat. Kapalnya juga sudah cukup banyak.

Saya sungguh iba melihat orang seperti Syahril. Mau menjadi Dirut sebuah perusahaan BUMN yang sedang dalam proses tenggelam. Perusahaan itu tidak memiliki kapal, tidak memiliki kepercayaan, dan tidak memiliki penghasilan untuk menggaji karyawan. Setiap hari yang datang ke kantornya adalah para pendemo: minta pembayaran gaji dan pembayaran utang.

Yang membuat lebih sulit, administrasi di perusahaan itu sudah porak-poranda. Berkas-berkas hilang atau dihilangkan. Catatan-catatan utang tidak dilengkapi dokumen yang memadai. Sejak 2007 DL tidak pernah diaudit. Auditor tidak bisa melakukannya. Tidak ada laporan keuangan.

Ketika beralih menjabat menteri BUMN, saya sudah tahu penderitaan Syahril. Dia mempunyai jabatan keren, Dirut BUMN, tapi tidak pernah menerima gaji. Saya langsung memberikan gaji saya sepenuhnya kepada Syahril.

Jadilah dia Dirut yang gajinya sebesar gaji menteri. Jangan kaget, gaji menteri itu hanya 5 persennya gaji Dirut BUMN besar. Enam bulan lamanya Syahril ”bergaji menteri”, sampai akhirnya perusahaan yang dia pimpin mulai sedikit-sedikit dapat penghasilan.

Ketika Syahril kemudian diangkat sebagai Dirut Pelni, DL dipimpin satu orang saja: Arham S. Torik. Dia seorang akuntan yang juga tertantang untuk meneruskan penyelamatan DL. Arham berpikir, tidak mungkin DL bisa selamat kalau utang Rp 1,3 triliun tidak diselesaikan. Arham ingin DL segera punya kapal. Tapi mustahil. Utang harus diselesaikan dulu.

Maka, Arham menempuh jalan PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang). Berhasil. PKPU memutuskan, semua utang DL dialihkan menjadi saham dengan status yang tidak memiliki hak suara. Diputuskan pula, DL akan mencicil utang itu selama 18 tahun dengan masa tenggang lima tahun. Dengan keputusan PKPU seperti itu, buku DL menjadi bersih!

Cara penyelesaian utang yang ditempuh Arham itu baik. Saya memang berkeras tidak mau negara harus menyelamatkan DL. Misalnya dengan cara penyertaan modal negara (PMN). Bahkan, kalau memang harus mati, mati saja. Dengan sikap saya seperti itu, akhirnya pemilik piutang memilih perusahaan harus tetap hidup dengan cara restrukturisasi utang.

Cara seperti itu pulalah yang telah saya pakai untuk menyelamatkan PT Istaka Karya tahun lalu. PT Istaka yang juga terbelit utang di luar kemampuannya akhirnya terancam mati. Saya juga berkeras tidak mau ada PMN. Kalau mau mati, mati saja. Usaha restrukturisasi pun akhirnya dilakukan. Ternyata berhasil. PT Istaka kini hidup lagi. Bahkan sudah sangat sehat.

Maksud saya, untuk PT Merpati Nusantara Airlines juga dilakukan hal yang sama. Jangan diberi lagi uang dari negara. Sudah terlalu banyak uang negara tenggelam di situ.

Tanpa restrukturisasi utang, sulit Merpati diminta hidup lagi. Merpati memiliki utang Rp 7,9 triliun. Bahkan, akumulasi kerugiannya sudah mencapai Rp 7,2 triliun. Karena itu, melakukan restrukturisasi utang saja tidak cukup. Harus pula dilakukan kuasi reorganisasi untuk menghilangkan angka akumulasi kerugian yang begitu besar. Setelah dua langkah itu dilakukan, barulah bisa dilakukan langkah besar ketiga: kerja sama operasi dengan perusahaan lain.

Tiga langkah besar itu tidak bisa dilakukan hanya oleh menteri BUMN. Harus secara bersamaan dilakukan menteri BUMN, menteri keuangan, menteri perhubungan, dan menteri sekretaris negara. Tentu juga menteri koordinator bidang perekonomian. Dan prosesnya harus melalui DPR, khususnya komisi VI.

Karena itu, saya salut pada Komisi VI DPR yang telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Merpati. Inisiatif komisi VI yang begitu cepat sungguh tidak saya perkirakan sebelumnya. Semoga panja DPR di komisi VI itu menghasilkan yang terbaik untuk Merpati. Khususnya diberikannya lampu hijau untuk restrukturisasi utang dan kuasi reorganisasi guna mengatasi besarnya akumulasi kerugian.

Setelah Merpati ini masih ada satu lagi yang belum menemukan jalan keluar yang tuntas: PT Kertas Leces. Tapi, waktunya sudah sangat mepet. PT IKI, PT Garam, PT Perikanan, Perum Perikanan Indonesia, Istaka, Waskita, dan banyak lagi BUMN sudah berhasil disehatkan.

Tapi, PT Kertas Leces masih memusingkan. Saya ingin mengubahnya menjadi perusahaan energi, tapi waktu sudah tidak cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar