Pilpres
2014 dan Kita
Ignas Kleden ; Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS,
08 Juli 2014
Pada 9 Juli 2014 besok rakyat Indonesia akan memilih calon yang menjadi
presiden mereka untuk lima tahun mendatang. Para pemilih akan berhadapan
dengan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan pilihan yang
mereka lakukan terhadap anggota DPR, misalnya.
Kita tahu ada 560 kursi di DPR untuk para legislator terpilih.
Seandainya di antara jumlah itu ada 260 anggota Dewan terpilih yang ternyata
tidak sanggup menjalankan tugas dengan baik, kekurangan mereka masih dapat
dikompensasi oleh 300 anggota lainnya yang dengan tanggung jawab, kompetensi,
dan dedikasi melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran
sebagai tugas anggota Dewan. Risiko dalam memilih calon memang ada, tetapi
diperkecil oleh kehadiran dan kinerja calon lainnya. Hal ini tidak berlaku
pada pemilihan presiden karena yang menjadi presiden hanya satu orang. Seandainya
presiden terpilih tidak menjalankan tugasnya dengan benar, tidak ada pihak
lain yang dapat mengimbangi kelemahannya, dan seandainya dia melakukan
hal-hal yang tidak diharapkan, hal itu harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia
selama lima tahun, karena tak ada mekanisme politik untuk menurunkan presiden
dari jabatannya di tengah jalan.
Impeachment hanya
mungkin dilaksanakan dalam keadaan yang amat sangat langka, yaitu kalau
presiden terbukti melanggar konstitusi atau terlibat dalam suatu skandal
besar. Ini semua berarti, para pemilih presiden mempunyai tanggung jawab yang
amat besar karena pilihan yang mereka lakukan akan membawa akibat bukan hanya
buat diri mereka sendiri, melainkan juga buat banyak orang lain, bahkan untuk
seluruh rakyat dan masyarakat Indonesia. Memilih presiden sama dengan
menentukan hitam-putihnya masa depan seluruh bangsa dan jatuh-bangunnya
negara RI.
Apa pun soalnya, pemilihan presiden bukanlah teka-teki yang hanya bisa
ditebak, tetapi keputusan yang dibuat oleh para pemilih berdasarkan
preferensi setiap orang entah karena alasan pribadi, ideologi, atau karena
pengaruh lingkungan. Apakah ada kriteria yang dapat menjadi pegangan dalam
melakukan pilihan? Pemilihan presiden bukan sekadar tindakan pribadi,
melainkan juga tindakan politis yang berhubung dengan pertimbangan politik
dan membawa akibat politik.
Visi dan misi umpamanya disusun dan disosialisasikan oleh seorang calon
presiden dan para pendukungnya agar para pemilih tahu apa kira-kira yang akan
dilakukan seorang calon presiden apabila dia diberi mandat oleh rakyat
menjadi presiden mereka. Visi dan misi menunjukkan apa yang hendak dilakukan
dan ingin dilakukan, meskipun belum menunjukkan apakah seorang presiden
sanggup melaksanakan apa yang dikehendakinya menurut visi dan misi yang
diumumkan.
Kalau kita membaca visi dan misi kedua calon presiden saat ini, cukup
jelas bahwa keprihatinan dasar kedua calon tak banyak bedanya: kesejahteraan
rakyat, penguatan kebangsaan, dan tegaknya Indonesia sebagai negara dan
bangsa yang berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain
di dunia. Ini tidak mengherankan karena baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama
nasionalis dalam orientasi politik mereka. Langsung atau tidak keduanya
diilhami gagasan Bung Karno tentang Trisakti, yakni daulat dalam politik,
mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Perbedaan baru
terlihat dalam cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan mereka.
Berbasis
materiil kebudayaan
Dengan perspektif kebudayaan, saya cenderung berpendapat bahwa visi dan
misi Prabowo bertolak dari perubahan basis materiil kebudayaan. Yang hendak
dilakukan adalah menggerakkan semacam revolusi pertanian dalam ukuran kecil.
Menurut rencana, akan dibuka 2 juta hektar lahan baru untuk produksi pangan
dengan menyerap lebih dari 12 juta tenaga kerja. Selanjutnya, akan dicetak 2
juta hektar lahan untuk aren, ubi kayu, sagu, kelapa, kemiri, dan bahan baku
untuk bioetanol, juga dengan menyerap lebih dari 12 juta tenaga kerja. Produktivitas
pertanian rakyat, peternakan dan perikanan akan ditingkatkan dengan menambah
dana riset sebanyak Rp 10 triliun selama periode 2015-2019.
Dalam bidang infrastruktur dasar akan dibangun jalan dan jembatan,
termasuk 3.000 kilometer jalan raya nasional baru dan modern serta 4.000
kilometer rel kereta api. Untuk rakyat yang belum punya rumah, akan
disediakan perumahan bagi 15 juta orang, dan satu juta unit rumah susun yang
dapat dicicil selama 20 tahun. Hutan yang rusak akan dihijaukan kembali dengan
reboisasi 77 juta hektar. Bahkan, pendidikan hendak ditingkatkan mutunya
dengan perbaikan pada basis materiil, baik dengan memberi dana perbaikan
fasilitas pendidikan sebesar Rp 150 juta per sekolah untuk pendidikan dasar
dan menengah maupun dengan mengalokasikan Rp 20 triliun dari APBN untuk
pendidikan universiter selama 2015-2019. Jumlah guru akan diperbanyak dengan
merekrut 800.000 guru selama lima tahun dan profesi guru akan diberi
tunjangan rata-rata Rp 4 juta per bulan.
Perubahan-perubahan yang hendak dilakukan oleh Prabowo dicoba
dilaksanakan melalui proyek-proyek berskala besar dengan ukuran yang
ditetapkan secara kuantitatif. Sama sekali belum jelas bagaimana visi
mengenai dampak sosial dan biaya sosial dari perubahan-perubahan itu. Apakah
perubahan pada basis materiil kebudayaan mendapat dukungan atau resistensi
pada basis sosial dan basis mental kebudayaan? Patut dipikirkan, apakah
pembukaan 4 juta hektar lahan baru benar-benar menyentuh kepentingan rakyat
yang perlu lapangan kerja, atau bahkan mengakibatkan munculnya landlords, yaitu penguasa lahan yang
baru, dan oligarki baru dalam bidang pertanian?
Pertanyaan ini berlaku juga untuk pembangunan rumah bagi 15 juta rakyat
yang belum mempunyai rumah dan pengadaan satu juta unit rumah susun. Menurut
pengalaman masa lalu, menggenjot pertumbuhan ekonomi dalam bidang apa pun
selalu lebih dapat tertangani daripada membereskan persoalan pemerataan dan
redistribusi pendapatan. Mungkin semua ini sudah dipikirkan oleh Prabowo dan
timnya, tetapi belum terlihat dalam visi dan misi yang diumumkan kepada
publik.
Perubahan
pada manusianya
Calon presiden Jokowi, sebaliknya, ingin memulai perubahan pada
manusianya. Dia menyebutnya revolusi mental dan perubahan dalam pembentukan
karakter bangsa. Rencana ini mungkin akan diimplementasikan melalui berbagai
cara, tetapi cara yang sudah dijelaskan dalam visi dan misi adalah melalui
kurikulum di sekolah. Akan diadakan pembalikan total proporsi pendidikan
karakter dalam perbandingan dengan pengajaran ilmu pengetahuan pada berbagai
tingkat pendidikan formal. Asasnya, semakin rendah tingkat pendidikan (seperti
PAUD atau SD), semakin kecil porsi pengajaran ilmu pengetahuan dan semakin
besar porsi pendidikan karakter. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin besar porsi pengajaran ilmu pengetahuan dan semakin kecil
porsi pendidikan karakter (yang diharap sudah terbentuk pada tingkat
pendidikan sebelumnya).
Tentu saja besar kecilnya proporsi pendidikan karakter dan pengajaran
ilmu pengetahuan akan ditetapkan dengan bantuan para ahli pendidikan dan ahli
psikologi. Akan tetapi, untuk contoh saja, hal itu dapat diilustrasikan
sebagai berikut. Pada tingkat SD perbandingannya 80 persen pendidikan
karakter dan 20 persen pengajaran ilmu pengetahuan. Proporsi ini akan berubah
sesuai dengan naiknya tingkat pendidikan, sehingga di universitas proporsinya
menjadi terbalik, yaitu 80 persen pengajaran ilmu pengetahuan dan 20 persen
pendidikan karakter. Usul ini boleh dianggap suatu revolusi dalam bidang
pendidikan, karena sudah puluhan tahun para perencana pendidikan di Indonesia
seakan terbuai oleh ilusi bahwa segala tingkat pendidikan di sekolah harus
dijejali dengan pengajaran ilmu pengetahuan. Anak-anak SD memikul tas penuh
buku di punggungnya, seakan mereka adalah mahasiswa doktoral yang tengah
menulis disertasi atau peneliti yang sedang mengecek teori penelitiannya.
Pada titik ini, pendidikan menjadi contoh terbaik bahwa tanpa mengubah
basis mental dan basis sosial, perubahan pada basis materiil pendidikan
(misalnya penambahan dana besar-besaran) tidak akan membawa perbaikan, dan
sangat mungkin memperburuk keadaan. Kalau kesalahan dalam orientasi
pendidikan nasional dan kebijakan yang keliru tidak dibenahi terlebih dahulu,
penambahan dana pendidikan malahan memungkinkan terjadinya semakin banyak
penyelewengan yang berasal dari orientasi dan kebijakan pendidikan yang tidak
sesuai dengan hakikat pendidikan. Kalau buku pelajaran bisa diperbarui setiap
tahun, penambahan dana pendidikan akan memungkinkan pencetakan buku-buku
pelajaran baru yang serba coba-coba dan dalam praktiknya semakin menambah
kebingungan, bukan saja di antara murid, melainkan juga di kalangan guru-guru
mereka.
Sudah sejak abad ke-19 ahli bahasa dan filosof pendidikan Jerman,
Wilhelm von Humboldt, memberi definisi pendidikan tinggi yang masih dipegang
teguh oleh banyak universitas di Jerman hingga sekarang. Menurut filosof ini,
hakikat pendidikan tinggi di universitas adalah Bildung durch Wissenschaft
atau pendidikan melalui ilmu pengetahuan. Hanya di universitaslah pendidikan
memakai ilmu pengetahuan sebagai sarananya, sedangkan tingkat pendidikan yang
lebih rendah memakai banyak sarana lain di samping pengajaran ilmu
pengetahuan.
Sarana-sarana lain tersebut dapat berbentuk bermain, olahraga,
kerajinan tangan, melukis, berlatih musik dan bernyanyi, tarian dan drama,
berdebat dan berpidato atau membaca puisi, pendidikan agama dan budi pekerti,
serta berbagai sarana lainnya. Dengan demikian, menjejali otak anak-anak SD
dengan berbagai pengajaran ilmu pengetahuan akan menjurus ke suatu
materialisme pedagogis yang hanya menghasilkan informasi, tetapi mengabaikan
formasi sebagai inti pendidikan.
Selain pendidikan, hal lain yang mencolok dalam visi dan misi Jokowi
ialah perhatian utama yang amat nyata pada golongan yang paling terpinggirkan
dalam pembangunan: nasib pulau-pulau terdepan dan para guru di daerah
terpencil, keadaan para TKW di luar negeri yang hampir tanpa perlindungan,
pedagang kaki lima dan pasar tradisional, para petani gurem yang hendak
ditingkatkan kepemilikannya atas lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektar
menjadi 2 hektar per kepala keluarga, keterlibatan kaum perempuan yang perlu
didorong menjadi tulang punggung dalam kedaulatan pangan, dan adanya 1.000
desa yang mempunyai kedaulatan pangan hingga 2019.
Kita mungkin teringat peribahasa yang mengatakan bahwa kekuatan rantai selalu
ada pada mata-rantai yang paling lemah, karena bagian inilah yang menentukan
apakah rantai itu dapat digunakan atau harus dibuang karena mudah putus. Dengan kata lain, slogan putting the last
first rupanya menjadi sebuah sikap politik dalam visi Jokowi tentang
pembangunan.
Hal lain yang amat penting dan belum mendapat cukup perhatian ialah
hubungan di antara seorang pemimpin dengan kekuasaannya. Kekuasaan tak
terhindarkan dalam politik karena menjadi sarana utama agar suatu
pemerintahan dapat bekerja dan mewujudkan berbagai kebijakan publiknya. Akan
tetapi, semenjak masa hidup Lord Acton (ingat adagiumnya power corrupts?), kita sudah belajar bahwa kekuasaan dapat
diibaratkan juga sebagai sejenis penyakit yang dapat merusak sehatnya
kehidupan sosial-politik.
Ada dua sifat penyakit ini yang sudah terbukti dalam sejarah dunia,
yaitu kecenderungan kekuasaan untuk selalu memperbesar dirinya dan enggan
atau tak sanggup membatasi dirinya, serta kecenderungan lain untuk selalu
membenarkan diri dan enggan atau tak sanggup mempersalahkan dirinya. Dalam
kaitan itu, ada pemimpin dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap
penyakit itu, dan ada pula yang lebih imun terhadap bahaya penyakit
kekuasaan. Seorang yang rentan dapat diubah oleh kekuasaan menjadi pribadi
yang lain sama sekali dari yang kita kenal sebelumnya dan sulit diramalkan
tindak tanduknya. Memilih pemimpin dengan tingkat imunitas yang tinggi
terhadap penyakit kekuasaan adalah jalan terbaik untuk menjamin masa depan
yang dapat diramalkan karena adanya pola kepemimpinan yang tidak dikacaukan
oleh watak kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar