Sabtu, 19 Juli 2014

RRI dan Pilar Kebudayaan

                                       RRI dan Pilar Kebudayaan

Heri Priyatmoko  ;   Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
KORAN TEMPO,  17 Juli 2014
                                                


Tagar #SaveRRI bergentayangan di media sosial. Publik ramai-ramai membela Radio Republik Indonesia (RRI) yang diduga ditekan politikus DPR gara-gara menyelenggarakan hitung cepat. Hasil hitung cepat (quick count) RRI menunjukkan pasangan Prabowo-Hatta mengantongi 47,51 persen suara dan Jokowi-JK 52,49 suara. Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq berencana memanggil RRI dalam kaitan dengan kegiatan itu.

Elite politik kembali mempertontonkan sikap kekanak-kanakan. Mereka tidak tahu balas budi. DPR seharusnya berterima kasih kepada institusi penyiaran negara ini. RRI telah bekerja keras, blusukan sampai desa terpencil. Buahnya adalah mengobati kebingungan warga yang dicekoki data yang penuh rekayasa oleh beberapa lembaga survei abal-abal. Selain ikut menyukseskan pemilu presiden 2014, siasat RRI berhasil: publik kembali melirik lembaga ini layaknya puluhan tahun silam. Di kala umurnya kian menua-lebih dari 67 tahun-RRI dikalahkan oleh media televisi dan radio swasta yang menjadi pesaing kuatnya.

Pada masa silam, RRI merupakan pilar kebudayaan. Masyarakat memahami orok merah Indonesia yang tengah tertatih-tatih mencari bentuk kebudayaannya lewat RRI. Pemerintah memakai RRI sebagai media politik dan budaya. Warga terbantu saat mendalami pengetahuan budaya meski dengan cara nguping (mendengarkan). Di RRI Surakarta, misalnya, warga dapat belajar karawitan gaya Surakarta via siaran gending Jawa. RRI periode 1970-an membangun identitas sendiri dan menjelma menjadi sumber dalam garap karawitan Jawa Surakarta.

Menurut Darsono (2002), masyarakat pencinta seni senang bukan kepalang lantaran leluasa menimba pengetahuan, tata krama (aturan nabuh), serta informasi tentang garap gending dan garap instrumen, yang di dalamnya terdapat cengkok dan wiledan yang lazim digunakan di keraton. Sebaliknya, pengrawit keraton yang merangkap pegawai RRI merasa puas menularkan kemampuannya yang bernilai tinggi itu kepada warga.

Pemerintah sengaja melibatkan para empu seni. Sebab, mereka adalah patron masyarakat dalam bidang kesenian, dengan umur yang menuju senja sehingga diharapkan bisa menyebarkan keahliannya kepada publik secara maksimal. Pada 1970-1978, RRI berhasil membuat kehidupan karawitan sangat semarak dan menyihir suasana kota semakin ayem tentrem.

Selain karawitan, RRI mengumandangkan secara langsung pergelaran wayang kulit saban Sabtu malam. Suguhan kesenian tradisional yang dibuka untuk umum dan berhasil memikat banyak penonton ini bahkan menjadi salah satu mata acara yang paling populer. Penduduk di  pelosok turut menikmati hiburan gratis tersebut. Siaran lainnya, pertunjukan wayang wong dan sandiwara berbahasa Jawa sebagai program acara pendukung pelestarian, pengembangan, dan penyebarluasan kebudayaan Jawa. DPR harus tahu bahwa RRI menyemaikan nilai-nilai luhur budaya Jawa kepada generasi muda lewat ragam acara itu.

Jika melihat peran historis RRI sekaligus mencermati siasatnya untuk menarik kembali perhatian publik, mestinya elite politik mengacungi jempol, bukan malah menekan. Penyelenggaraan hitung cepat (quick qount) merupakan terobosan bagus yang dikerjakan RRI. Membela RRI memang sudah seharusnya dilakukan. Selain sebagai ucapan terima kasih, kita membuat masyarakat Indonesia melek akan sejarah RRI. Kita kadung banyak berutang budi kepadanya, termasuk dalam pilpres 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar