RRI
dan Pilar Kebudayaan
Heri Priyatmoko ;
Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
|
KORAN
TEMPO, 17 Juli 2014
Tagar
#SaveRRI bergentayangan di media sosial. Publik ramai-ramai membela Radio
Republik Indonesia (RRI) yang diduga ditekan politikus DPR gara-gara
menyelenggarakan hitung cepat. Hasil hitung cepat (quick count) RRI menunjukkan pasangan Prabowo-Hatta mengantongi
47,51 persen suara dan Jokowi-JK 52,49 suara. Ketua Komisi I DPR Mahfudz
Siddiq berencana memanggil RRI dalam kaitan dengan kegiatan itu.
Elite
politik kembali mempertontonkan sikap kekanak-kanakan. Mereka tidak tahu
balas budi. DPR seharusnya berterima kasih kepada institusi penyiaran negara
ini. RRI telah bekerja keras, blusukan sampai desa terpencil. Buahnya adalah
mengobati kebingungan warga yang dicekoki data yang penuh rekayasa oleh
beberapa lembaga survei abal-abal. Selain ikut menyukseskan pemilu presiden
2014, siasat RRI berhasil: publik kembali melirik lembaga ini layaknya
puluhan tahun silam. Di kala umurnya kian menua-lebih dari 67 tahun-RRI
dikalahkan oleh media televisi dan radio swasta yang menjadi pesaing kuatnya.
Pada
masa silam, RRI merupakan pilar kebudayaan. Masyarakat memahami orok merah Indonesia
yang tengah tertatih-tatih mencari bentuk kebudayaannya lewat RRI. Pemerintah
memakai RRI sebagai media politik dan budaya. Warga terbantu saat mendalami
pengetahuan budaya meski dengan cara nguping (mendengarkan). Di RRI
Surakarta, misalnya, warga dapat belajar karawitan gaya Surakarta via siaran
gending Jawa. RRI periode 1970-an membangun identitas sendiri dan menjelma
menjadi sumber dalam garap karawitan Jawa Surakarta.
Menurut
Darsono (2002), masyarakat pencinta seni senang bukan kepalang lantaran
leluasa menimba pengetahuan, tata krama (aturan nabuh), serta informasi tentang garap gending dan garap
instrumen, yang di dalamnya terdapat cengkok dan wiledan yang lazim digunakan
di keraton. Sebaliknya, pengrawit keraton yang merangkap pegawai RRI merasa
puas menularkan kemampuannya yang bernilai tinggi itu kepada warga.
Pemerintah
sengaja melibatkan para empu seni. Sebab, mereka adalah patron masyarakat
dalam bidang kesenian, dengan umur yang menuju senja sehingga diharapkan bisa
menyebarkan keahliannya kepada publik secara maksimal. Pada 1970-1978, RRI
berhasil membuat kehidupan karawitan sangat semarak dan menyihir suasana kota
semakin ayem tentrem.
Selain
karawitan, RRI mengumandangkan secara langsung pergelaran wayang kulit saban
Sabtu malam. Suguhan kesenian tradisional yang dibuka untuk umum dan berhasil
memikat banyak penonton ini bahkan menjadi salah satu mata acara yang paling
populer. Penduduk di pelosok turut
menikmati hiburan gratis tersebut. Siaran lainnya, pertunjukan wayang wong dan sandiwara berbahasa
Jawa sebagai program acara pendukung pelestarian, pengembangan, dan
penyebarluasan kebudayaan Jawa. DPR harus tahu bahwa RRI menyemaikan
nilai-nilai luhur budaya Jawa kepada generasi muda lewat ragam acara itu.
Jika
melihat peran historis RRI sekaligus mencermati siasatnya untuk menarik
kembali perhatian publik, mestinya elite politik mengacungi jempol, bukan
malah menekan. Penyelenggaraan hitung cepat (quick qount) merupakan terobosan bagus yang dikerjakan RRI.
Membela RRI memang sudah seharusnya dilakukan. Selain sebagai ucapan terima
kasih, kita membuat masyarakat Indonesia melek akan sejarah RRI. Kita kadung
banyak berutang budi kepadanya, termasuk dalam pilpres 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar