Sabtu, 19 Juli 2014

Nalar Koruptif Pengesahan RUU MD3

                      Nalar Koruptif Pengesahan RUU MD3

Pangki T Hidayat  ;   Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education di Yogyakarta dan alumnus dari Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  18 Juli 2014
                                                


Demokrasi di negara ini benar-benar sedang mendapatkan ujian pascaberlangsungnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Skandal dualisme orientasi hitung cepat (quick count) hasil pilpres menjadi ujian pertama yang menyeruak ke permukaan, beberapa jam setelah pemungutan suara selesai.

Beberapa lembaga survei merilis hitung cepat hasil pilpres dengan memberikan keunggulan kepada pasangan nomor urut 1, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Radjasa. Sementara itu, beberapa lembaga survei lainnya merilis hitung cepat hasil pilpres dengan memberikan keunggulan kepada pasangan nomor urut 2, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Alhasil, publik dibuat kebingungan oleh hitung cepat hasil pilpres yang dirilis lembaga-lembaga survei tersebut.

Ujian selanjutnya adalah manuver yang dilakukan dewan terhormat negara ini di Senayan. Tepat sehari sebelum pelaksanaan pencoblosan Pilpres 2014, secara “diam-diam” mereka mengesahkan Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3). Konon, revisi UU tersebut disusun guna membenahi pasal dan klausa UU Nomor 27/2009 yang dianggap sudah tak relevan.

Sidang pengesahan yang dihadiri 476 anggota dewan tersebut berlangsung cukup alot dan dramatis. Pasalnya, sejumlah anggota dewan lain—78 anggota dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), 19 anggota dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan 12 anggota dari Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura) menunjukkan penolakannya dengan aksi walk out.

Rakyat di negara ini memang patut prihatin dengan kesesatan pikir para anggota dewan yang melakukan pengesahan secara aklamasi tersebut. Bagaimana tidak? UU MD3 yang telah disahkan tersebut nyatanya hanya berorientasi ke kepentingan mereka, khususnya agar mendapatkan imunitas hukum yang lebih kuat. Kondisi ini tentu menghambat terciptanya penegakan hukum yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih jauh, aparat penegak hukum, baik Polri maupun Komisi Pemberantasan Hukum (KPK), akan mengalami hambatan serius bila menangani persoalan hukum yang melibatkan anggota dewan, terutama saat perkara korupsi.

Pragmatisme Wakil Rakyat

Gambaran di atas setidaknya telah menegaskan betapa nalar wakil rakyat di negara ini selalu pragmatis dan jauh dari ekspektasi masyarakat. Rakyat sudah jengah dengan masifnya tindak pidana korupsi, tetapi para wakil rakyat malah mempersempit jalan memberangus habis tindakan extra ordinary crime tersebut.

Mereka seolah lupa atau “pura-pura” lupa, telah banyak anggota dewan, baik pada masa lalu maupun periode saat ini, yang terjerat tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, revisi dan pengesahan UU MD3 seharusnya mampu mengakomodasi kepentingan para penegak hukum untuk memberantas habis tindakan extra ordinary crime tersebut, bukan sebaliknya.

Pasal 245 Ayat (1) menyebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Sementara itu, di Ayat (2) diterangkan, persetujuan tertulis diberikan Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari.

Klausa pasal tersebut tentu akan menghambat pemberantasan korupsi, utamanya yang melibatkan anggota dewan. Dengan birokrasi yang bertele-tele, jelas potensi anggota dewan yang terindikasi terlibat korupsi cukup punya waktu untuk menghilangkan barang bukti yang ada. Bukan tidak mungkin, Mahkamah Kehormatan Dewan baru akan mengeluarkan izin tertulis tersebut pada hari ke-28 atau ke-29, mengingat batas maksimal pengeluaran izin adalah 30 hari.

Pengesahan UU MD3 ini juga dapat dimaknai sebagai kegagalan anggota dewan “terhormat” dalam mewujudkan asas “equality before the law”.

Seluruh warga negara Indonesia, baik masyarakat sipil maupun pejabat pemerintahan, berhak mendapatkan pengakuan, perlindungan, kepastian dan perlakuan hukum yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Namun, klausa dalam pasal-pasal UU MD3 jelas menyiratkan pemberian imunitas hukum yang lebih kepada para anggota dewan.

Di sisi lain, spirit pengesahan UU MD3 telah menyalahi esensi awal dilakukannya revisi terhadap UU Nomor 272009. Pada mulanya, revisi dilakukan untuk memperkuat posisi dan fungsi Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Akan tetapi faktanya, hasil revisi yang diwujudkan dalam pengesahan UU MD3 sama sekali tidak mengakomodasi posisi dan fungsi DPD.

Pelanggengan Budaya Korup!

Sudah menjadi rahasia umum di negara ini apabila anggota dewan “terhormat” banyak yang terjerat kasus korupsi. Hasil penelitian sejumlah lembaga survei menyimpulkan, DPR adalah lembaga yang dipersepsikan paling korup.

Berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Januari 2014, sedikitnya 88 anggota DPR terjerat korupsi. Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada periode yang sama, tercatat 431 anggota DPRD terlibat kasus hukum, 83,7 persen di antaranya terlibat dalam kasus korupsi.

Hal ini tentu tak lepas dari sesat pikir mereka yang tak pernah mau bekerja secara jujur dan tulus untuk kepentingan rakyat. Hal utama di nalar mereka secara nyata hanyalah cara mengembalikan modal ketika kampanye, untuk selanjutnya menambah pundi-pundi kekayaan pribadi. Oleh karena itu, dengan pengesahan UU MD3, budaya korup agaknya terus berlanjut di parlemen baru periode 2014-2019.

Terlebih, kualifikasi performa parlemen baru mendatang terindikasi tak akan berbeda jauh dengan kualifikasi performa parlemen periode saat ini. Hal tersebut mengingat incumbent masih banyak yang kembali terpilih di pemilihan legislatif (pileg) lalu.

Imunitas hukum lebih yang diberikan UU MD3 kepada anggota dewan “terhormat” tentu akan membuat nyali dan syahwat korupsi mereka semakin besar. Karena itu, mendorong lahirnya petisi guna mengajukan judicial review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi harga mati bagi masyarakat saat ini. Dengan begitu, keinginan rakyat agar terciptanya kesetaraan di mata hukum dan terbebasnya parlemen dari budaya korup bisa terwujud pada kemudian hari. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar