Sabtu, 05 Juli 2014

Memidana Pelaku Kampanye Hitam

                          Memidana Pelaku Kampanye Hitam

Reza Syawawi ;   Researcher for law and policies
Transparency International Indonesia
MEDIA INDONESIA,  03 Juli 2014
                                                


MASA kampanye pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden semestinya dijadikan sebagai sarana untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat yang memiliki hak pilih. Hukum memberikan ‘fasilitas’ itu kepada pasangan calon dan tim sukses mereka untuk meyakinkan masyarakat akan pilihan politiknya.

Sebagai sarana pendidikan politik, menggunakan masa kampanye sebagai alat propaganda dan menyebarkan fi tnah politik tentu menjadi pembelajaran politik yang paling buruk bagi publik. Suguhan pemberitaan, tayangan, dan siaran yang isinya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum telah menunjukkan kualitas demokrasi yang kita jalankan saat ini.

Belakangan ini publik disuguhi kampanye politik dengan kualitas rendahan, salah satunya melalui media cetak Obor Rakyat. Di luar itu sebetulnya ada begitu banyak sarana yang digunakan pihak tertentu untuk membuat dan menyebarkan isu yang mengarah pada pembodohan publik secara politik.
Kejahatan pemilu

Jika menilik pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, akan sangat jelas itu mengatur perihal kejahatan pemilu. Dalam masa pemilu, undang-undang menetapkan beberapa perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan atau tindak pidana pemilu. 

Kerangka hukum ini dirancang sebagai rules of the game agar para kandidat tidak menggunakan cara-cara yang justru merusak sistem demokrasi. Jika itu dilanggar, pengenaan pidana terhadap pelaku dan aktor intelektual menjadi sesuatu yang tak bisa dielakkan.

Pasal 41 ayat (1) setidaknya memuat 10 larangan di dalam kegiatan kampanye. Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang (a) mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk NKRI; (b) melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI; (c) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau pasangan calon yang lain; (d) menghasut dan mengadu domba perseorangan atau masyarakat; (e) mengganggu ketertiban umum; (f) mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau pasangan calon yang lain; (g) merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon; (h) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; (i) membawa atau menggunakan gambar dan/atau atribut pasangan calon lain selain dari gambar dan/atau atribut pasangan calon yang bersangkutan; dan (j) menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.

Pelanggaran

Di antara 10 larangan tersebut, pembuat undang-undang mengualifikasikan delapan di antaranya sebagai kejahatan pemilu. Pasal 214 menyebutkan bahwa perbuatan tersebut dapat dikenai pidana penjara 6¬24 bulan dan denda Rp6 juta-Rp24 juta.

Ada dua perbuatan yang tidak termasuk dalam ranah kejahatan pemilu, yaitu terkait kampanye yang mengganggu ketertiban umum dan kampanye yang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Jika terjadi pelanggaran atas larangan tersebut, itu hanya dikategorikan sebagai pelanggaran administratif. Ketentuan itu sebetulnya tidak koheren dengan Pasal 45 yang justru menempatkan seluruh larangan yang diatur dalam Pasal 41 ayat (1) sebagai tindak pidana pemilu presiden dan wakil presiden.

Jika dikaitkan dengan penerbitan Obor Rakyat, Pasal 47 ayat (4) menyebutkan bahwa media massa cetak dan lembaga penyiaran dalam memberitakan, menyiarkan, dan mengiklankan kampanye harus mematuhi ketentuan mengenai larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41. Problemnya kemudian ialah Obor Rakyat tidak dikategorikan sebagai produk jurnalistik yang diakui secara hukum. Karena itu, perbuatannya memang sengaja didesain seolah-olah hanya dilakukan individu.

Dalam konteks pemilu, perilaku individu, apalagi yang bersangkutan berada di luar tim kampanye resmi, telah menjadi alat bagi kandidat tertentu untuk melakukan kampanye hitam. Dalam kasus pidana pemilu lainnya hal yang sama juga terjadi, misalnya ketika sekelompok orang di luar tim resmi yang ditugasi untuk melakukan serangan fajar (money politics). Tujuannya sangat jelas melokalisasi pertanggungjawaban pidananya agar kandidat tidak dapat dikenai sanksi hukum.
Harus diakui bahwa Undang-Undang Pemilu gagal menempatkan kampanye hitam sebagai bagian dari rezim kejahatan pemilu. Padahal, secara substansi, perbuatan tersebut memiliki relasi yang kuat dengan proses penyelenggaraan pemilu.

Pemidanaan pelaku

Di luar kekurangan pengaturan dalam undang-undang pemilu, penerbitan Obor Rakyat harus dikenai sanksi pidana. Pembuat media telah diketahui, yang perlu ditelusuri ialah siapa aktor intelek tual (termasuk penyandang dana) dan untuk kepentingan siapa media itu diterbitkan.

Untuk menjamin agar penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden yang fair, titik terang penyelesaian kasus ini harus terlihat sebelum hari pemungutan suara (Editorial Media Indonesia, 30/6). Ini penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum memang memberikan manfaat bagi publik (pemilih), terutama dalam memberikan pilihan politik.

Tak bisa dimungkiri bahwa kampanye hitam dimanfaatkan oleh sebagian kalangan untuk menghancurkan kredibilitas rival politik dengan cara-cara yang melanggar hukum.

Penerbitan media cetak semisal Obor Rakyat yang tidak didasarkan pada prosedur dan etika jurnalistik sangat jelas menunjukkan ada motif jahat pelaku.
Jika demikian, tidak ada alasan bagi penegak hukum untuk mengulur-ulur waktu atas penyelesaian kasus ini. Apa pun alasannya, setiap interest politik harus dihilangkan jika dihadapkan dalam penegakan hukum. Kalau hal itu diabaikan, penegak hukum akan dianggap ikut bermain politik.

Pada titik inilah penegak hukum justru menjadi aktor yang ikut berperan dalam merusak proses demokrasi yang sedang kita jalankan. Atau memang ada desain untuk menghentikan penanganan kasus ini, atau setidak-tidaknya ada upaya melokalisasi kasus ini hanya terhadap individu tertentu dan tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu. Semoga saja tidak demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar