Memidana
Pelaku Kampanye Hitam
Reza Syawawi ; Researcher for law
and policies
Transparency International Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Juli 2014
MASA kampanye pemilihan
umum untuk memilih presiden dan wakil presiden semestinya dijadikan sebagai
sarana untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat yang memiliki
hak pilih. Hukum memberikan ‘fasilitas’ itu kepada pasangan calon dan tim
sukses mereka untuk meyakinkan masyarakat akan pilihan politiknya.
Sebagai sarana pendidikan
politik, menggunakan masa kampanye sebagai alat propaganda dan menyebarkan fi
tnah politik tentu menjadi pembelajaran politik yang paling buruk bagi
publik. Suguhan pemberitaan, tayangan, dan siaran yang isinya tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum telah menunjukkan kualitas
demokrasi yang kita jalankan saat ini.
Belakangan ini publik
disuguhi kampanye politik dengan kualitas rendahan, salah satunya melalui
media cetak Obor Rakyat. Di luar itu sebetulnya ada begitu banyak sarana yang
digunakan pihak tertentu untuk membuat dan menyebarkan isu yang mengarah pada
pembodohan publik secara politik.
Kejahatan pemilu
Jika menilik pada
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, akan sangat jelas itu mengatur perihal kejahatan pemilu. Dalam masa
pemilu, undang-undang menetapkan beberapa perbuatan yang bisa dikategorikan
sebagai kejahatan atau tindak pidana pemilu.
Kerangka hukum ini dirancang
sebagai rules of the game agar para
kandidat tidak menggunakan cara-cara yang justru merusak sistem demokrasi.
Jika itu dilanggar, pengenaan pidana terhadap pelaku dan aktor intelektual
menjadi sesuatu yang tak bisa dielakkan.
Pasal 41 ayat (1)
setidaknya memuat 10 larangan di dalam kegiatan kampanye. Pelaksana, peserta,
dan petugas kampanye dilarang (a) mempersoalkan dasar negara Pancasila,
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk NKRI; (b)
melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI; (c) menghina seseorang,
agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau pasangan calon yang lain; (d)
menghasut dan mengadu domba perseorangan atau masyarakat; (e) mengganggu
ketertiban umum; (f) mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan
penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat,
dan/atau pasangan calon yang lain; (g) merusak dan/atau menghilangkan alat
peraga kampanye pasangan calon; (h) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat
ibadah, dan tempat pendidikan; (i) membawa atau menggunakan gambar dan/atau
atribut pasangan calon lain selain dari gambar dan/atau atribut pasangan
calon yang bersangkutan; dan (j) menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada peserta kampanye.
Pelanggaran
Di antara 10 larangan tersebut,
pembuat undang-undang mengualifikasikan delapan di antaranya sebagai
kejahatan pemilu. Pasal 214 menyebutkan bahwa perbuatan tersebut dapat
dikenai pidana penjara 6¬24 bulan dan denda Rp6 juta-Rp24 juta.
Ada dua perbuatan yang
tidak termasuk dalam ranah kejahatan pemilu, yaitu terkait kampanye yang
mengganggu ketertiban umum dan kampanye yang menggunakan fasilitas
pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Jika terjadi pelanggaran
atas larangan tersebut, itu hanya dikategorikan sebagai pelanggaran
administratif. Ketentuan itu sebetulnya tidak koheren dengan Pasal 45 yang
justru menempatkan seluruh larangan yang diatur dalam Pasal 41 ayat (1)
sebagai tindak pidana pemilu presiden dan wakil presiden.
Jika dikaitkan dengan
penerbitan Obor Rakyat, Pasal 47 ayat (4) menyebutkan bahwa media massa cetak
dan lembaga penyiaran dalam memberitakan, menyiarkan, dan mengiklankan
kampanye harus mematuhi ketentuan mengenai larangan dalam kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41. Problemnya kemudian ialah Obor Rakyat tidak
dikategorikan sebagai produk jurnalistik yang diakui secara hukum. Karena
itu, perbuatannya memang sengaja didesain seolah-olah hanya dilakukan
individu.
Dalam konteks pemilu,
perilaku individu, apalagi yang bersangkutan berada di luar tim kampanye
resmi, telah menjadi alat bagi kandidat tertentu untuk melakukan kampanye
hitam. Dalam kasus pidana pemilu lainnya hal yang sama juga terjadi, misalnya
ketika sekelompok orang di luar tim resmi yang ditugasi untuk melakukan
serangan fajar (money politics).
Tujuannya sangat jelas melokalisasi pertanggungjawaban pidananya agar
kandidat tidak dapat dikenai sanksi hukum.
Harus diakui bahwa
Undang-Undang Pemilu gagal menempatkan kampanye hitam sebagai bagian dari
rezim kejahatan pemilu. Padahal, secara substansi, perbuatan tersebut
memiliki relasi yang kuat dengan proses penyelenggaraan pemilu.
Pemidanaan pelaku
Di luar kekurangan
pengaturan dalam undang-undang pemilu, penerbitan Obor Rakyat harus dikenai
sanksi pidana. Pembuat media telah diketahui, yang perlu ditelusuri ialah
siapa aktor intelek tual (termasuk penyandang dana) dan untuk kepentingan
siapa media itu diterbitkan.
Untuk menjamin agar
penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden yang fair, titik terang
penyelesaian kasus ini harus terlihat sebelum hari pemungutan suara (Editorial Media Indonesia, 30/6). Ini
penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum memang memberikan manfaat bagi
publik (pemilih), terutama dalam memberikan pilihan politik.
Tak bisa dimungkiri bahwa
kampanye hitam dimanfaatkan oleh sebagian kalangan untuk menghancurkan
kredibilitas rival politik dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Penerbitan media cetak
semisal Obor Rakyat yang tidak didasarkan pada prosedur dan etika jurnalistik
sangat jelas menunjukkan ada motif jahat pelaku.
Jika demikian, tidak ada
alasan bagi penegak hukum untuk mengulur-ulur waktu atas penyelesaian kasus
ini. Apa pun alasannya, setiap interest
politik harus dihilangkan jika dihadapkan dalam penegakan hukum. Kalau hal
itu diabaikan, penegak hukum akan dianggap ikut bermain politik.
Pada titik inilah penegak
hukum justru menjadi aktor yang ikut berperan dalam merusak proses demokrasi
yang sedang kita jalankan. Atau memang ada desain untuk menghentikan
penanganan kasus ini, atau setidak-tidaknya ada upaya melokalisasi kasus ini
hanya terhadap individu tertentu dan tidak ada kaitannya dengan
penyelenggaraan pemilu. Semoga saja tidak demikian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar