Minggu, 06 Juli 2014

Paket Reformasi Ekonomi

                                        Paket Reformasi Ekonomi

Muhammad Syarkawi Rauf  ;   Dosen FEB Unhas;
Anggota Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia Timur (Japeit)
KOMPAS,  04 Juli 2014
                                                


DEBAT calon presiden dan wakil presiden telah membuka tirai pencitraan kedua pasangan. Debat tersebut memperlihatkan hal kontras di antara keduanya. Paket reformasi ekonomi Joko Widodo lebih praktis dan operasional, sedangkan Prabowo menawarkan ide yang bersifat makro sehingga tampak tidak realistis.
Paket reformasi ekonomi Jokowi (selanjutnya disebut Jokowinomics) lebih kontekstual menjawab permasalahan ekonomi nasional.

Jokowinomics sejalan dengan Abenomics yang fokus pada isu mendasar pembangunan manusia, modernisasi infrastruktur, dan reformasi birokrasi. Abenomics merujuk pada paket reformasi ekonomi Perdana Menteri Jepang terpilih, Shinzo Abe (The Japan Times, 14/6/2013).

Jokowinomics berorientasi pada peningkatan produktivitas perekonomian nasional melalui penekanan pada pembangunan manusia. Hal ini sejalan dengan kesimpulan laporan Bank Dunia bertajuk ”Kajian Kebijakan Pembangunan 2014: Indonesia Menghindari Perangkap” (Kompas,24/6/2014).

Dengan demikian, paket reformasi Jokowinomics lebih relevan mempercepat reformasi struktural dalam rangka transformasi ekonomi Indonesia keluar dari middle-income trap (jebakan negara berpendapatan menengah) dan menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita di atas 11.750 dollar AS per tahun sebelum tahun 2045.

Tidak hanya itu, Jokowinomics juga sejalan dengan kesimpulan dua ekonom terkemuka, Daron Acemoglu dari MIT dan James A Robinson dari Universitas Harvard, terkait pertanyaan why nations fail? Permasalahan ekonomi di Afrika, Eropa Timur, Amerika Selatan, dan Asia, khususnya Indonesia, bukan karena faktor geografi atau budaya, melainkan karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat untuk memberdayakan ekonominya.

Fokus Jokowinomics

Paket kebijakan pembangunan manusia melalui program revolusi mental bertujuan mengubah secara fundamental manusia Indonesia sehingga dalam jangka panjang memiliki etos kerja tinggi, tertib, bersih, bermoral, menjunjung tinggi hukum, menghargai orang tua, dan menerima keberagaman.

Gagasan di atas sejalan dengan restorasi Meiji 1866-1869 yang terbukti mampu mengantarkan Jepang menjadi negara maju. Reformasi struktural melalui program pembangunan manusia juga ampuh membawa Korea Selatan keluar dari middle-income trap yang ditandai dengan masyarakatnya yang memiliki etos kerja dan loyal terhadap produk dalam negeri.

Program revolusi mental akan melahirkan manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan terampil, tetapi juga memiliki mentalitas sebagai pekerja keras. Hal ini akan meningkatkan produktivitas sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan.

Jokowinomics juga fokus pada isu jangka pendek dan menengah melalui integrasi sistem logistik nasional mulai dari ”tol darat” (sebagai gabungan antara jalur kereta double track dan jalan bebas hambatan) dengan ”tol laut” dan ”tol udara” (angkutan penumpang dan kargo udara).

Ide ”tol laut” bertujuan memperkuat integrasi ekonomi nasional dari Sabang sampai Merauke. Dengan demikian, ”tol laut” bukan jalan tol di atas laut, melainkan kapal besar yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Mengatasi disintegrasi

Saat ini, integrasi ekonomi nasional sangat buruk yang tecermin pada tingginya disparitas harga antardaerah karena mahalnya biaya logistik. Harga semen di Papua bisa berkisar Rp 500.000 sampai Rp 1.500.000 per zak, sedangkan di Jawa hanya sekitar Rp 50.000 per zak.

Data perdagangan antarpulau menunjukkan bahwa tidak ada hubungan dagang langsung Papua dan Maluku dengan Kalimantan dan Sumatera. Daerah-daerah di Papua dan Maluku hanya berhubungan dagang langsung dengan Surabaya, Jawa Timur, dan Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai regional hub di KTI (Unhas, 2010).

Integrasi ”tol laut”, ”tol darat”, dan ”tol udara” akan mengurangi persentase biaya logistik nasional terhadap gross domestic product (GDP) dari 26 persen pada 2013 menjadi 10-15 persen dalam 10 tahun mendatang (Bank Dunia, 2013). ”Tol udara” akan membuka isolasi daerah-daerah di pedalaman Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.

Pengembangan transportasi udara di AS telah melipatgandakan pembeli tiket pesawat hingga 1,2 miliar dari penduduknya yang berjumlah 350 juta jiwa. Satu penduduk AS membeli tiga kali tiket pesawat per tahun. Jika AS menjadi benchmark, potensi pasar penerbangan nasional setara tiga kali 250 juta penduduk Indonesia, sama dengan 750 juta pembeli tiket dari saat ini yang hanya 70 juta pembeli tiket.

Akhirnya, sistem logistik yang terintegrasi dan murah akan memberi insentif terhadap percepatan industrialisasi di Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Papua. Hal ini akan menggeser industri berbasis SDA ke luar Jawa sekaligus mengoreksi deindustrialisasi secara nasional dalam lima tahun terakhir.

Harapannya, perekonomian Indonesia segera bisa naik kelas dari lower middle-income trap dengan pendapatan per kapita sekitar 5.000 dollar AS per kapita per tahun saat ini menjadi 7.250 dollar AS per kapita per tahun dalam lima tahun ke depan (upper middle-income trap).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar