Paket
Reformasi Ekonomi
Muhammad Syarkawi Rauf ;
Dosen FEB Unhas;
Anggota Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia Timur (Japeit)
|
KOMPAS,
04 Juli 2014
DEBAT
calon presiden dan wakil presiden telah membuka tirai pencitraan kedua
pasangan. Debat tersebut memperlihatkan hal kontras di antara keduanya. Paket
reformasi ekonomi Joko Widodo lebih praktis dan operasional, sedangkan
Prabowo menawarkan ide yang bersifat makro sehingga tampak tidak realistis.
Paket
reformasi ekonomi Jokowi (selanjutnya disebut Jokowinomics) lebih kontekstual menjawab permasalahan ekonomi
nasional.
Jokowinomics sejalan dengan Abenomics yang fokus pada isu mendasar
pembangunan manusia, modernisasi infrastruktur, dan reformasi birokrasi.
Abenomics merujuk pada paket reformasi ekonomi Perdana Menteri Jepang
terpilih, Shinzo Abe (The Japan Times,
14/6/2013).
Jokowinomics berorientasi pada peningkatan
produktivitas perekonomian nasional melalui penekanan pada pembangunan
manusia. Hal ini sejalan dengan kesimpulan laporan Bank Dunia bertajuk ”Kajian Kebijakan Pembangunan 2014:
Indonesia Menghindari Perangkap” (Kompas,24/6/2014).
Dengan
demikian, paket reformasi Jokowinomics lebih relevan mempercepat reformasi
struktural dalam rangka transformasi ekonomi Indonesia keluar dari
middle-income trap (jebakan negara berpendapatan menengah) dan menjadi negara
maju dengan pendapatan per kapita di atas 11.750 dollar AS per tahun sebelum
tahun 2045.
Tidak
hanya itu, Jokowinomics juga
sejalan dengan kesimpulan dua ekonom terkemuka, Daron Acemoglu dari MIT dan
James A Robinson dari Universitas Harvard, terkait pertanyaan why nations fail? Permasalahan ekonomi
di Afrika, Eropa Timur, Amerika Selatan, dan Asia, khususnya Indonesia, bukan
karena faktor geografi atau budaya, melainkan karena pemimpinnya gagal
membuat kebijakan yang tepat untuk memberdayakan ekonominya.
Fokus Jokowinomics
Paket
kebijakan pembangunan manusia melalui program revolusi mental bertujuan
mengubah secara fundamental manusia Indonesia sehingga dalam jangka panjang
memiliki etos kerja tinggi, tertib, bersih, bermoral, menjunjung tinggi
hukum, menghargai orang tua, dan menerima keberagaman.
Gagasan
di atas sejalan dengan restorasi Meiji 1866-1869 yang terbukti mampu
mengantarkan Jepang menjadi negara maju. Reformasi struktural melalui program
pembangunan manusia juga ampuh membawa Korea Selatan keluar dari
middle-income trap yang ditandai dengan masyarakatnya yang memiliki etos
kerja dan loyal terhadap produk dalam negeri.
Program
revolusi mental akan melahirkan manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki
pengetahuan, menguasai teknologi, dan terampil, tetapi juga memiliki
mentalitas sebagai pekerja keras. Hal ini akan meningkatkan produktivitas
sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan.
Jokowinomics
juga fokus pada isu jangka pendek dan menengah melalui integrasi sistem
logistik nasional mulai dari ”tol darat” (sebagai gabungan antara jalur
kereta double track dan jalan bebas hambatan) dengan ”tol laut” dan ”tol
udara” (angkutan penumpang dan kargo udara).
Ide ”tol
laut” bertujuan memperkuat integrasi ekonomi nasional dari Sabang sampai
Merauke. Dengan demikian, ”tol laut” bukan jalan tol di atas laut, melainkan
kapal besar yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dari Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Mengatasi disintegrasi
Saat
ini, integrasi ekonomi nasional sangat buruk yang tecermin pada tingginya
disparitas harga antardaerah karena mahalnya biaya logistik. Harga semen di
Papua bisa berkisar Rp 500.000 sampai Rp 1.500.000 per zak, sedangkan di Jawa
hanya sekitar Rp 50.000 per zak.
Data
perdagangan antarpulau menunjukkan bahwa tidak ada hubungan dagang langsung
Papua dan Maluku dengan Kalimantan dan Sumatera. Daerah-daerah di Papua dan
Maluku hanya berhubungan dagang langsung dengan Surabaya, Jawa Timur, dan
Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai regional hub di KTI (Unhas, 2010).
Integrasi
”tol laut”, ”tol darat”, dan ”tol udara” akan mengurangi persentase biaya logistik
nasional terhadap gross domestic
product (GDP) dari 26 persen pada 2013 menjadi 10-15 persen dalam 10
tahun mendatang (Bank Dunia, 2013). ”Tol udara” akan membuka isolasi
daerah-daerah di pedalaman Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Pengembangan
transportasi udara di AS telah melipatgandakan pembeli tiket pesawat hingga
1,2 miliar dari penduduknya yang berjumlah 350 juta jiwa. Satu penduduk AS
membeli tiga kali tiket pesawat per tahun. Jika AS menjadi benchmark, potensi
pasar penerbangan nasional setara tiga kali 250 juta penduduk Indonesia, sama
dengan 750 juta pembeli tiket dari saat ini yang hanya 70 juta pembeli tiket.
Akhirnya,
sistem logistik yang terintegrasi dan murah akan memberi insentif terhadap
percepatan industrialisasi di Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Papua. Hal
ini akan menggeser industri berbasis SDA ke luar Jawa sekaligus mengoreksi
deindustrialisasi secara nasional dalam lima tahun terakhir.
Harapannya,
perekonomian Indonesia segera bisa naik kelas dari lower middle-income trap dengan pendapatan per kapita sekitar
5.000 dollar AS per kapita per tahun saat ini menjadi 7.250 dollar AS per
kapita per tahun dalam lima tahun ke depan (upper middle-income trap). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar