Prahara
Baru di Timur Tengah
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga; PW ISNU DIY
|
KOMPAS,
12 Juli 2014
DI tengah perhatian dunia terhadap perang destruktif Suriah yang
seperti tak berujung, tiba-tiba bencana dahsyat mengguncang Timur Tengah. Kelompok
garis keras, teroris yang berafiliasi ke Tandzim al-Qaidah, Da’isy (singkatan
dari Dawlah Islamiyyah fil Iraq wal Syam/Negara Islam di Irak dan Syam/ISIL),
berhasil menguasai hampir sepertiga wilayah Irak.
Wilayah yang berada di sebelah utara negara tersebut sangat strategis
dalam konstelasi konflik kawasan. Kawasan itu—kendati mayoritas penduduknya
adalah Sunni—berada di tengah-tengah jaringan kekuatan Syiah yang ”dipimpin”
Iran. Wilayah Iran yang sangat besar, wilayah Irak, Suriah, dan Lebanon
adalah wilayah ”Syiah” yang secara geografis menyatu dengan bentuk mirip
bulan sabit.
Deklarasi berdirinya ”negara” Islam Sunni ekstrem radikal tepat di
tengah-tengah kekuatan-kekuatan Syiah itu sungguh mengejutkan. Dan,
kekhawatiran akan akibat yang ditimbulkan terhadap keamanan dan masa depan
kawasan secara keseluruhan juga demikian tinggi.
Perubahan
sikap
Pihak yang merasa beruntung atas peristiwa itu adalah musuh-musuh
aliansi Syiah yang wilayah mereka tak berdekatan dengan ”wilayah” ISIL.
Mereka berharap, ISIL akan melemahkan aliansi kokoh Iran-Irak-Suriah-Lebanon
selama ini dari dalam. Mereka juga berharap, ini akan melemahkan kekuatan
rezim Assad dalam Perang Suriah.
Sebagian kekuatan Sunni di Irak—baik kalangan suku, tentara Irak masa
Saddam, maupun unsur-unsur lain—turut bersama kelompok itu menaklukkan
beberapa kota di utara Irak. Tentara Irak yang bertugas di kawasan tersebut merasa
tak mampu memberikan perlawanan.
Namun, bisa dipastikan, hampir
seluruh kekuatan utama di kawasan tetap memandang Da’isy atau ISIL (Islamic
State in Iraq and Levant) sebagai ancaman besar. Kelompok ini bahkan
dipandang sebagai ancaman oleh kelompok oposisi Suriah yang sama-sama
memerangi rezim Assad.
Sikap politik dan strategi kekuatan-kekuatan di Irak dan sekitar ”Bulan
Sabit Subur” barangkali akan mengalami pergeseran-pergeseran menyusul
peristiwa ini. Di Irak, kekuatan-kekuatan Syiah yang terus terlibat
perselisihan, terutama menyangkut pembentukan pemerintahan Maliki yang
ketiga, kemungkinan segera menyatu untuk menghadapi ancaman nyata dan di
depan mata ini. Kekuatan ”milisi” semi-resmi Kurdi juga bergerak, tetapi
mereka juga memiliki agenda tersendiri yang berbeda dari Pemerintah Irak.
Mobilisasi rakyat Irak (baca: Syiah), milisi Syiah, dan tentara Irak
telah berderap bersama menghadang laju kelompok garis keras yang sudah
menyerukan pengikutnya untuk merebut Baghdad ini. Sulit sepertinya
menghindari perang ”sektarian” dalam skala besar di dalam negeri Irak dalam
waktu dekat ini. Bagaimanapun, konflik Sunni-Syiah di Irak telah demikian
mendalam dan lama.
Di kawasan, sikap dan strategi kekuatan di kawasan yang ditentukan
afiliasi mereka dalam Perang Suriah barangkali juga mengalami pergeseran.
Pihak pertama yang akan mengubah sikap dan strateginya mungkin adalah Turki.
Banyak warga negara Turki di wilayah yang dikuasai ISIL menjadi korban dan
sandera. Secara de facto dalam Perang Suriah, Turki berada di front berbeda
dengan kekuatan Syiah, termasuk yang berasal dari Irak dan Iran. Lahirnya
ancaman baru yang sangat dekat dengan wilayahnya di sebelah selatan dipastikan akan memaksa mereka
bekerja sama dengan pemerintahan Irak yang Syiah dan didukung Iran.
Turki pasti sangat khawatir dengan perkembangan di sebelah selatan
mereka itu. Kini, mereka menghadapi dua sumber ancaman sekaligus dari arah
itu, yakni dari menjalarnya konflik Suriah dan ISIL di Irak. Wilayah yang
dikuasai ISIL dan kobaran Perang Suriah sebagian besar berbatasan langsung
dengan Turki. Turki adalah pendukung
kelompok-kelompok oposisi ”moderat” di Suriah yang juga sering bentrok dengan
kelompok garis keras ini.
Faktor
AS dan Jordania
AS sepertinya segera mendekat ke Irak untuk membantu negara itu
menghadapi kelompok teroris yang menumpang konflik sektarian. Pemerintah Irak
telah menyatakan kebutuhannya untuk memperoleh dukungan kekuatan udara AS.
Bagaimanapun, kepentingan AS di kawasan adalah menjamin stabilitas agar
produksi dan aliran minyak untuk mereka tetap lancar. Kehadiran ISIL yang
memiliki sikap siap melakukan apa saja dan melawan siapa saja yang berbeda
dengannya sungguh merupakan ancaman baru bagi kepentingan AS di kawasan.
Keterlibatan AS secara terbatas sebagaimana menghadapi kekuatan Al Qaeda di
Yaman sangat mungkin dilakukan di Irak.
Jordania adalah negara yang pantas khawatir dengan perkembangan yang
terjadi di Irak. Kendati wilayah mereka tak berbatasan langsung dengan ISIL,
ancaman itu sangatlah dekat. Sebagian wilayah Jordania termasuk ke dalam
wilayah yang menjadi cita-cita ISIL, yaitu Suriah Raya (Syam).
Jordania selama ini mendukung oposisi tertentu di Suriah yang notabene
juga pernah berhadapan dengan ISIL di lapangan. Kini, negara monarki itu harus
bersiap untuk menghadapi kemungkinan limpahan konflik bersenjata, baik dari
sisi Suriah maupun Irak. Jordania memiliki perbatasan langsung cukup luas
dengan kedua negara itu meski tak seluas perbatasan Turki. Negara ini mesti
menyesuaikan sikap dan strateginya di kawasan dengan lingkungan baru ini.
Apa yang terjadi di Irak sekarang adalah nestapa bagi negeri itu
sekaligus kawasan Timur Tengah. Satu perang panjang dan sangat destruktif
belum berhenti, konflik lain dengan dimensi yang lebih dalam dan ancaman yang
lebih mengerikan sudah kembali pecah. Pantaslah jika ada yang mengatakan
bahwa di Timur Tengah itu (sebetulnya) tak pernah terjadi masalah. Sebab,
setiap masalah itu ada solusinya, sementara konflik di Timur Tengah nyaris
tak memberikan ruang lahirnya solusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar