Kamis, 03 Juli 2014

Mengkhawatirkan Kecurangan 9 Juli 2014

                Mengkhawatirkan Kecurangan 9 Juli 2014

M Ridha Saleh  ;   Wakil Ketua Komnas HAM Periode 2007-2012;
Aktivis HAM dan Lingkungan Hidup
KOMPAS,  02 Juli 2014
                                                


NEGARA berkewajiban memfasilitasi setiap warga negara yang mempunyai hak pilih (right to vote) untuk menggunakan hak pilihnya tanpa adanya pemaksaan dan diskriminasi. Dalam konteks hak asasi manusia, hak pilih atau memilih atau memberi suara (right to vote) adalah hak politik yang merupakan hak dasar (basic right) dan fundamental setiap individu/warga negara untuk dijamin pemenuhannya oleh negara/pemerintah sebagaimana tertuang dalam konstitusi.

Jaminan bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan presiden  antara lain disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Hukum internasional

Selain peraturan nasional, jaminan partisipasi warga negara dalam menggunakan hak pilih secara universal dan sederajat tanpa adanya diskriminasi juga diatur di dalam berbagai peraturan hukum internasional. Hal ini antara lain disebutkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, dan Konvensi  Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999.

Prinsip hak asasi manusia universal adalah menjamin pemenuhan hak sipil politik. Bahkan, Pasal 21 DUHAM menyatakan, negara pihak harus menjamin hak berpartisipasi dalam pemerintahan dan pemilu serta hak atas pelayanan umum.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 71 menyatakan, ”Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”.

Sebagai pemegang kewajiban pemenuhan HAM, negara mengemban tiga bentuk tugas. yaitu negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil) hak asasi manusia. Oleh karena itu, dalam konteks menghormati, melindungi, dan memenuhi hak pilih warga negara, pemerintah tidak boleh mengintervensi hak pilih warga, karena campur tangan negara justru merupakan pelanggaran atas hak pilih.

Komposisi politik

Pemilihan presiden (pilpres) yang akan dilaksanakan tanggal 9 Juli adalah salah satu bentuk perwujudan demokrasi, di mana seluruh rakyat yang sudah berhak sesuai ketentuan akan memilih calon presiden terbaik.

Namun, pelaksanaan pesta demokrasi itu kerap dinodai kecurangan yang dilakukan secara sistematis dan masif di sejumlah daerah, bahkan melibatkan aparat pemerintah dan oknum penyelenggara pemilu untuk menghilangkan atau membeli hak pilih warga negara tanpa diketahuinya melalui cara transaksional.

Kecurangan yang terjadi secara sistematis dan masif jamak diketahui, dilakukan terhadap kelompok-kelompok rentan seperti penyandang cacat, masyarakat adat di wilayah pedalaman,  masyarakat di wilayah perbatasan, permukiman kaum miskin perkotaan, narapidana/tahanan, dan komunitas rentan lainnya.

Pilpres kali ini terasa lain hawa politiknya karena hanya melibatkan dua pasangan calon. Kekuatan koalisi-politiknya pun berimbang. Walaupun demikian, praktik pilpres yang terkesan liberal tetap membuka peluang terjadi kecurangan. Apalagi secara politik, banyak kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, masuk dan secara terbuka dideklarasikan menjadi ketua dalam tim sukses pasangan capres-cawapres.

Dilihat dari komposisinya, 79 persen gubernur dan bupati/wali kota di Indonesia berlatar belakang partai politik yang berkoalisi dan mendukung pasangan capres Prabowo-Hatta, sementara hanya ada sekitar 21 persen gubernur dan bupati/wali kota berlatar belakang partai politik yang berkoalisi mendukung Jokowi-JK.

Kompetisi dan komposisi politik seperti ini sangat berpeluang menimbulkan terjadinya mobilisasi infrastruktur birokrasi politik daerah, baik aparat, fasilitas, maupun keuangan daerah, untuk memenangkan capres-cawapres tertentu, mengingat birokrasi kita yang sangat rapuh dan masih banyaknya aparat kita yang oportunistik.

Independensi

Di sisi lain, menurut data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), ada sekitar 200 oknum penyelenggara pemilu di daerah yang diberhentikan atau dipecat oleh DKPP akibat keterlibatan dalam penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan pilkada ataupun pileg. Hal ini menggambarkan bahwa independensi penyelenggara pemilu di level bawah masih rentan kecurangan.

Situasi seperti ini menjadi wajar untuk dikhawatirkan mengingat hal tersebut terkait dengan kualitas demokrasi dan perlindungan terhadap hak pilih warga negara, di mana antara kekuatan yang diduga dan berpeluang melakukan intervensi untuk memenangkan capres tertentu tidak sebanding dengan kualitas serta independensi penyelenggara pemilu.

Ketimpangan ini diduga dapat menjadi peluang menciptakan transaksi yang menyebabkan kecurangan dan penyimpangan terhadap pelaksanaan pilpres. Substansi demokrasi dalam pilpres jauh panggang dari api.

Dalam kondisi yang rentan terhadap kecurangan dan penyimpangan pada pilpres tersebut, dibutuhkan partisipasi politik rakyat, tidak hanya untuk menggunakan hak pilih  sesuai dengan nurani, tetapi juga ikut berpartisipasi secara sukarela mengawal proses pilpres, khususnya pada saat pemilihan dan perhitungan suara.

Demikian pula dibutuhkan independensi dari penyelenggara, termasuk pemerintah daerah, untuk tetap bersikap netral demi menghadirkan pemilu yang jujur dan adil sesuai dengan harapan rakyat, karena mewujudkan pemilu jurdil adalah praktik demokrasi yang bermartabat, juga merupakan perwujudan dari penegakan hak asasi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar