Sabtu, 05 Juli 2014

Pilpres dalam Perspektif Aceh

                                   Pilpres dalam Perspektif Aceh

Mursalin ;   Mahasiswa Program Magister Pascasarjana Universitas Negeri Malang asal Aceh, Pemerhati Sosial Politik Aceh
OKEZONENEWS,  03 Juli 2014

                                                                 

Penentuan pucuk pimpinan bangsa tinggal beberapa hari lagi. Semua serangkaian pesta sudah digendangkan sejak diputuskan oleh KPU. Tinggal memasuki Minggu tenang, dan rakyat akan menentukan pilihannya pada 9 Juli mendatang. Pilpres kali ini jauh lebih mudah menentukan pilihan, hanya ada dua pilihan, kalau bukan si A, pasti si B atau sebaliknya.

Meskipun banyak lembaga-lembaga surve memperlihatkan persentase kenaikan atau penurunan elektibilitas masing-masing sosok. Pertarungan ini adalah pertarungan menentukan pucuk pimpinan, menentukan arah pembangunan 5 tahun mendatang. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Namun, rakyat tentu sudah cerdas dalam menentukan pilihan atas kedua kompetitor. Siapa yang kalah harus siap menerima kekalahan, siapa yang menang juga harus siap membawa perubahan. Paling tidak merealisasikan janji-janji yang pernah diucapkan di masa kampanye.

Masyarakat sebagai penentu kedaulatan. Waktu terus berjalan hingga hari H. Para kompetitor siap melihat hasil usaha yang selama ini digendangkan. Meskipun berbagai isu, celaan, bahkan ada yang berusaha mengungkit track record masa lalu sebagai upaya menurunkan elektibiltas. Beruntung bagi kandidat yang memiliki track record baik di masa lalu. Tentu elektabilitas di mata rakyat akan naik. Sebaliknya, akan menurun bagi kandidat yang track record-nya buram.

Banyak usaha yang dilakukan oleh masing-masing kompetitor dalam mengambil hati rakyat. Ada yang menjanjikan peningkatan sektor pendidikan, ekonomi, pangan, pertanian bahkan hingga janji membangun jalan tol laut. Bagi orang cerdas tentu akan lebih mudah dalam menganalisa, melihat setiap kompetitor. Namun, terlalu sulit bagi masyarakat awam untuk menganalisa, dan melihat rasionalisasi janji-jani setiap kompetitor. Berbagai isu, bisikan, dan banyak rayuan yang menyebar di kalangan masyarakat awam, apalagi didaerah – daerah yang belum terjamah saluran informasi, baik media cetak, online maupun televisi.

Dalam Konteks Aceh

Melihat pilpres kali ini yang memiliki dua pasang kompetitor menarik untuk didiskusikan, Mengapa? Tentu secara pilihan, masyarakat akan terbagi dalam dua kelompok besar. Tidak hanya masyarakat saja, pengusaha, bisnisman, bahkan sampai kepala daerah juga berbeda dalam mendukung. Lihat saja yang terjadi di Aceh.  Gubernur Aceh lebih mendukung pasangan Jokowi-JK daripada Prabowo-Hatta. Sementara Wakil Gubernur secara kepartaian memilih mendukung Prabowo-Hatta.

Politik dua kaki ini menarik untuk diperhatikan, terutama terhadap kelangsungan perdamaian Aceh. Masih banyak peraturan-peraturan turunan Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang belum diselesaikan pemerintah pusat. Menariknya, Gubernur dan Wakil gubernur tidak se-iya sekata dalam menentukan pilihan di Pilpres. Mereka punya argumen masing-masing dalam menentukan pilihan, sebut saja seperti pilihan Gubernur Aceh. Pasangan Jokowi-JK karena ada Pak JK yang sangat berperan dalam negosiasi perdamaian Aceh tahun 2005 silam, dan tentu akan lebih mudah diajak kompromi untuk menyelesaikan poin-poin perjanjian yang belum terwujud jika nanti terpilih, dan ini memudahkan jika ada kesalahan penafsiran isi UUPA.

Sementara pilihan Wakil Gubernur Aceh yang sudah jauh-jauh hari melakukan kontrak politik dengan partai pengusung Prabowo Hatta. Mereka beragumen Pak Prabowo komit terhadap perdamaian Aceh, apalagi ada kader Partai Aceh yang duduk di Senayan (DPR-RI Red) dari Gerindra Aceh.

Secara pilihan, dua-duanya punya kesamaan sikap terhadap perdamaian Aceh. Kita mencoba berandai-andai, jikapun nanti terpilih pasangan Jokowi-JK juga akan berdampak baik bagi Aceh. Begitu pula sebaliknya, ada kontrak politik Gerindra dengan Partai Aceh untuk merealisasikan janji-janji perdamaian, dan tentu keduanya membawa kemaslahatan bagi keabadian perdamaian di tanah rencong. Pespekstif Aceh dalam pilpres kali ini adalah menentukan pucuk pimpinan untuk memudahkan merealisasi aturan turunan pusat yang tidak terselesaikan pada masa SBY. Seperti aturan pengelolaan laut teritorial Aceh, aturan pertanahan dan juga aturan kewenangan pusat terhadap Aceh.

Melihat politik dua kaki yang terjadi di Aceh, yang satu ada di buku Jokowi-JK, dan yang satu lagi ada dikubu Prabowo-Hatta. Masyarakat pun terbagi dalam dua kelompok, mendukung ikut Gubernur atau mendukung Ikut Wakil Gubernur. Inilah namanya politik. Memang tidak bisa ditebak. Perjalanan politik Aceh dari pemilihan Gubernur, legislatif hingga pemilihan Presiden yang sebentar lagi berlangsung mempunyai nilai dan tujuan tersendiri. Apalagi Aceh yang baru saja keluar dari zona konflik ke zona damai. Perdamaain ini terwujud akibat kedua belah pihak bersepakat mengakhiri perang dengan adanya perjanjian. Perjanjian itu yang kemudian diterjemahkan ke dalam sebuah peraturan khusus yang mengatur Aceh, UUPA No.11 Tahun 2006 sebagai patokan Aceh lama menjadi Aceh baru versi perjanjian.

Sebenarnya, jikapun pemerintah Aceh tidak melakukan politik dua kaki. Perdamaian harus tetap terwujud di bumi Serambi Makkah. Kita tahu bahwa perjanjian Helsinki 2005 bukanlah perjanjian dengan rezim penguasa saat itu, melainkan perjanjian untuk berdamai secara abadi. Maka siapapun pucuk pimpinan yang terpilih ke depan berkewajiban meneruskan dan melaksanakan isi perjanjian tersebut, baik pucuk pimpinan Pemerintah Aceh maupun pucuk pimpinan Pemerintah Pusat. Jika tidak demikian, maka dikhawatirkan Aceh akan kembali ke zona konflik seperti dulu.

Aceh memang rentan kembali ke zona lama jika tidak diperlakukan dengan baik, terutama terkait komitmen dalam merealisasikan perjanjian yang telah disepakati. Bahkan menjadi contoh  bagi negara-negara lain dalam menyelesaikan pertikaian, banyak negara melakukan studi banding ke Indonesia untuk mengetahui secara langsung mengenai perkembangan Aceh pasca-damai, dan Indonesia menunjukkan kepada dunia bahwa konflik tidak harus diselesaikan dengan perang. “Damai itu indah,” begitulah tulisan poster banyak terpampang di Aceh pasca-penandatanganan kesepakatan dan kesepahaman untuk berdamai, serta disaksikan oleh dunia bahwa Indonesia pemberi contoh solusi dalam menyelesaikan konflik.   

Aceh mempunyai peran sentral dalam kestabilan dan ketahanan NKRI, untuk itu setiap pucuk pimpinan yang nantinya akan berkuasa perlu melakukan koordinasi yang baik, komit dengan perdamaian yang telah berjalan selama ini. Dan setiap hal yang berkaitan dengan butir-butir UUPA sangat sensitif, karena UUPA adalah wujud penyelesaian konflik Aceh dengan pemerintah pusat dan kunci keabadian perdamaian di bumi Serambi Makkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar