Pilpres
dalam Perspektif Aceh
Mursalin ; Mahasiswa Program
Magister Pascasarjana Universitas Negeri Malang asal Aceh, Pemerhati Sosial
Politik Aceh
|
OKEZONENEWS,
03 Juli 2014
Penentuan pucuk pimpinan bangsa tinggal beberapa hari lagi.
Semua serangkaian pesta sudah digendangkan sejak diputuskan oleh KPU. Tinggal
memasuki Minggu tenang, dan rakyat akan menentukan pilihannya pada 9 Juli
mendatang. Pilpres kali ini jauh lebih mudah menentukan pilihan, hanya ada
dua pilihan, kalau bukan si A, pasti si B atau sebaliknya.
Meskipun banyak lembaga-lembaga surve memperlihatkan persentase
kenaikan atau penurunan elektibilitas masing-masing sosok. Pertarungan ini
adalah pertarungan menentukan pucuk pimpinan, menentukan arah pembangunan 5
tahun mendatang. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Namun,
rakyat tentu sudah cerdas dalam menentukan pilihan atas kedua kompetitor.
Siapa yang kalah harus siap menerima kekalahan, siapa yang menang juga harus
siap membawa perubahan. Paling tidak merealisasikan janji-janji yang pernah
diucapkan di masa kampanye.
Masyarakat sebagai penentu kedaulatan. Waktu terus berjalan
hingga hari H. Para kompetitor siap melihat hasil usaha yang selama ini
digendangkan. Meskipun berbagai isu, celaan, bahkan ada yang berusaha
mengungkit track record masa lalu
sebagai upaya menurunkan elektibiltas. Beruntung bagi kandidat yang memiliki track record baik di masa lalu. Tentu
elektabilitas di mata rakyat akan naik. Sebaliknya, akan menurun bagi
kandidat yang track record-nya
buram.
Banyak usaha yang dilakukan oleh masing-masing kompetitor dalam
mengambil hati rakyat. Ada yang menjanjikan peningkatan sektor pendidikan,
ekonomi, pangan, pertanian bahkan hingga janji membangun jalan tol laut. Bagi
orang cerdas tentu akan lebih mudah dalam menganalisa, melihat setiap
kompetitor. Namun, terlalu sulit bagi masyarakat awam untuk menganalisa, dan
melihat rasionalisasi janji-jani setiap kompetitor. Berbagai isu, bisikan,
dan banyak rayuan yang menyebar di kalangan masyarakat awam, apalagi didaerah
– daerah yang belum terjamah saluran informasi, baik media cetak, online
maupun televisi.
Dalam Konteks Aceh
Melihat pilpres kali ini yang memiliki dua pasang kompetitor menarik
untuk didiskusikan, Mengapa? Tentu secara pilihan, masyarakat akan terbagi
dalam dua kelompok besar. Tidak hanya masyarakat saja, pengusaha, bisnisman,
bahkan sampai kepala daerah juga berbeda dalam mendukung. Lihat saja yang
terjadi di Aceh. Gubernur Aceh lebih
mendukung pasangan Jokowi-JK daripada Prabowo-Hatta. Sementara Wakil Gubernur
secara kepartaian memilih mendukung Prabowo-Hatta.
Politik dua kaki ini menarik untuk diperhatikan, terutama
terhadap kelangsungan perdamaian Aceh. Masih banyak peraturan-peraturan
turunan Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang belum
diselesaikan pemerintah pusat. Menariknya, Gubernur dan Wakil gubernur tidak
se-iya sekata dalam menentukan pilihan di Pilpres. Mereka punya argumen
masing-masing dalam menentukan pilihan, sebut saja seperti pilihan Gubernur
Aceh. Pasangan Jokowi-JK karena ada Pak JK yang sangat berperan dalam
negosiasi perdamaian Aceh tahun 2005 silam, dan tentu akan lebih mudah diajak
kompromi untuk menyelesaikan poin-poin perjanjian yang belum terwujud jika
nanti terpilih, dan ini memudahkan jika ada kesalahan penafsiran isi UUPA.
Sementara pilihan Wakil Gubernur Aceh yang sudah jauh-jauh hari
melakukan kontrak politik dengan partai pengusung Prabowo Hatta. Mereka
beragumen Pak Prabowo komit terhadap perdamaian Aceh, apalagi ada kader
Partai Aceh yang duduk di Senayan (DPR-RI Red) dari Gerindra Aceh.
Secara pilihan, dua-duanya punya kesamaan sikap terhadap
perdamaian Aceh. Kita mencoba berandai-andai, jikapun nanti terpilih pasangan
Jokowi-JK juga akan berdampak baik bagi Aceh. Begitu pula sebaliknya, ada
kontrak politik Gerindra dengan Partai Aceh untuk merealisasikan janji-janji
perdamaian, dan tentu keduanya membawa kemaslahatan bagi keabadian perdamaian
di tanah rencong. Pespekstif Aceh dalam pilpres kali ini adalah menentukan
pucuk pimpinan untuk memudahkan merealisasi aturan turunan pusat yang tidak
terselesaikan pada masa SBY. Seperti aturan pengelolaan laut teritorial Aceh,
aturan pertanahan dan juga aturan kewenangan pusat terhadap Aceh.
Melihat politik dua kaki yang terjadi di Aceh, yang satu ada di
buku Jokowi-JK, dan yang satu lagi ada dikubu Prabowo-Hatta. Masyarakat pun
terbagi dalam dua kelompok, mendukung ikut Gubernur atau mendukung Ikut Wakil
Gubernur. Inilah namanya politik. Memang tidak bisa ditebak. Perjalanan
politik Aceh dari pemilihan Gubernur, legislatif hingga pemilihan Presiden
yang sebentar lagi berlangsung mempunyai nilai dan tujuan tersendiri. Apalagi
Aceh yang baru saja keluar dari zona konflik ke zona damai. Perdamaain ini
terwujud akibat kedua belah pihak bersepakat mengakhiri perang dengan adanya
perjanjian. Perjanjian itu yang kemudian diterjemahkan ke dalam sebuah
peraturan khusus yang mengatur Aceh, UUPA No.11 Tahun 2006 sebagai patokan
Aceh lama menjadi Aceh baru versi perjanjian.
Sebenarnya, jikapun pemerintah Aceh tidak melakukan politik dua
kaki. Perdamaian harus tetap terwujud di bumi Serambi Makkah. Kita tahu bahwa
perjanjian Helsinki 2005 bukanlah perjanjian dengan rezim penguasa saat itu,
melainkan perjanjian untuk berdamai secara abadi. Maka siapapun pucuk
pimpinan yang terpilih ke depan berkewajiban meneruskan dan melaksanakan isi
perjanjian tersebut, baik pucuk pimpinan Pemerintah Aceh maupun pucuk
pimpinan Pemerintah Pusat. Jika tidak demikian, maka dikhawatirkan Aceh akan
kembali ke zona konflik seperti dulu.
Aceh memang rentan kembali ke zona lama jika tidak diperlakukan
dengan baik, terutama terkait komitmen dalam merealisasikan perjanjian yang
telah disepakati. Bahkan menjadi contoh
bagi negara-negara lain dalam menyelesaikan pertikaian, banyak negara
melakukan studi banding ke Indonesia untuk mengetahui secara langsung
mengenai perkembangan Aceh pasca-damai, dan Indonesia menunjukkan kepada
dunia bahwa konflik tidak harus diselesaikan dengan perang. “Damai itu indah,” begitulah tulisan
poster banyak terpampang di Aceh pasca-penandatanganan kesepakatan dan
kesepahaman untuk berdamai, serta disaksikan oleh dunia bahwa Indonesia
pemberi contoh solusi dalam menyelesaikan konflik.
Aceh mempunyai peran sentral dalam kestabilan dan ketahanan
NKRI, untuk itu setiap pucuk pimpinan yang nantinya akan berkuasa perlu
melakukan koordinasi yang baik, komit dengan perdamaian yang telah berjalan
selama ini. Dan setiap hal yang berkaitan dengan butir-butir UUPA sangat
sensitif, karena UUPA adalah wujud penyelesaian konflik Aceh dengan
pemerintah pusat dan kunci keabadian perdamaian di bumi Serambi Makkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar