Krisis
Irak
Tom Saptaatmaja ;
Alumnus St. Vincent de Paul
|
KORAN
TEMPO, 04 Juli 2014
Irak menjadi negeri yang terus dilanda berbagai macam krisis, sejak
Presiden Amerika Serikat George W. Bush menginvasi Irak pada 2003 dan
menggulingkan Saddam Hussein yang berkuasa sejak 1979. Spiral kekerasan terus
menjebak Irak. Nyaris sejak invasi AS itu, perang menjadi keseharian di
negeri yang dulu bernama Babilonia atau Mesopotamia serta menjadi pusat
peradaban dunia tersebut.
Kini hanya ada ledakan bom bunuh diri dan terinjak-injaknya martabat
manusia akibat perang dan bom bunuh diri, meski Presiden Obama sudah menarik
pasukan AS sejak akhir 2011. Ketika Bush hendak menginvasi Irak pada Maret
2003, mendiang Paus Yohannes Paulus II sudah mengingatkan perang hanya
mengakibatkan kekalahan bagi kemanusiaan dan menjadi aib bagi agama-agama.
Ketika itu, Paus hendak dibujuk Bush yang berusaha meyakinkan bahwa serangan
ke Irak merupakan perang kristiani yang sah atau Perang Salib baru (Koran Tempo, 11/2/2002).
Memang, krisis Irak selalu kental dengan sentimen keagamaan. Simak
Saddam, yang penganut Sunni, digulingkan dan diganti oleh pemerintahan yang
didominasi Syiah, kini mayoritas warga Irak yang Syiah cemas atas munculnya Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS). Bukan hanya kaum Syiah, umat kristiani Irak yang sudah ada sejak awal
Masehi juga terjepit oleh kehadiaran ISIS, seperti yang terjadi di Mosul
(baca Tempo.co, 20 Juni 2014).
ISIS sudah memproklamasikan dibentuknya sebuah "kekhalifahan
Islam" di wilayah yang mereka kuasai di Irak dan Suriah, dari Aleppo di
Suriah utara hingga Diyala di Irak timur.
Sayang, kekhalifahan ISIS ini jelas anti-keberagaman, sehingga kaum
minoritas Kristen di Irak yang sudah ada sejak awal Masehi juga cemas.
Padahal, pada kekhalifahan Abbasiyah dengan khalifah Al Mahdi (775-785) dan
Harun al-Rasyid (785-809) yang disebut "Golden Age" dalam sejarah
Islam, orang Kristen Irak pernah memperoleh tempat istimewa. Goenawan Mohamad
dalam Catatan Pinggir-nya, Baghdad, juga berkisah bagaimana khalifah Al
Makmun (830) menyuruh Hunain bin Ishaq, seorang tabib Kristen, untuk
mengkoordinasi proyek penerjemahan risalah-risalah dari bahasa Aram, Pahlavi,
dan Yunani ke bahasa Arab (Tempo, 17-23
Februari 2003).
Jalinan harmonis orang Kristen dan muslim Irak itu terus berlanjut
sampai rezim Saddam. Saddam juga memilih pembantu dekat seorang Katolik
Kaldean, yakni deputi PM Tareq Azis, yang loyalitasnya bagi bangsa Irak tidak
perlu diragukan lagi. Di bawah Saddam, gereja-gereja di Irak bebas menggelar
misa dan kebaktian. Pendirian tempat ibadah juga dijamin. Di Bagdad,
misalnya, terdapat tujuh masjid agung dan lima gereja simbol dari kebebasan
dan toleransi beragama yang bukan basa-basi.
Seolah hendak menggambarkan relasi yang harmonis di antara kedua umat,
gedung gereja di Irak juga memakai kubah seperti di masjid. Tidak pernah
terdengar di Irak ada perusakan tempat ibadah. Andrao Abouna, mantan Uskup
Baghdad, sampai bangga menyebut negerinya sebagai "Tanah Suci",
karena menjadi tempat lahir Nabi Ibrahim, Bapak Ketiga Agama Samawi. Tapi
ISIS yang berafiliasi dengan al-Qaeda lupa akan fakta itu. Saling menghormati
di antara sesama umat yang berbeda agama, sudah sirna di Irak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar