Selasa, 01 Juli 2014

Polri Menjawab Harapan Masyarakat

Polri Menjawab Harapan Masyarakat

Herie Purwanto  ;  Ajun Komisaris Polisi,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
JAWA POS, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
ULANG Tahun Bhayangkara tanggal 1 Juli tahun ini dilaksanakan di tengah-tengah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjalankan tugas nasional, yaitu mengamankan pilpres dan persiapan menghadapi pengamanan arus mudik. Dua kegiatan tersebut merupakan agenda nasional yang menjadi prioritas dan harus bisa dilaksanakan dengan baik.

Pada sisi lain, di samping melaksanakan tugas tadi, secara rutin, Polri dihadapkan pada tugas dalam bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, menjadi pelayanan, pelindung, dan pengayom masyarakat serta penegakan hukum. Dalam usianya yang memasuki ke-68, sudahkah Polri memberikan sumbangsih yang dirasakan masyarakat?

Sangat disadari oleh petinggi Polri bahwa masih adanya komplain masyarakat terhadap tugas Polri, serta berbagai survei yang memberikan gambaran belum optimalnya tugas Polri tadi, menjadi sebuah tantangan bagi Polri untuk menjawabnya. Mengapa harus terjawab dan Polri tidak boleh abai terhadap hal ini?

Pertama, secara politis, tugas pokok dan kewenangan yang saat ini dimiliki Polri dan dijalankan secara kelembagaan maupun individu (adanya asas diskresi kepolisian) merupakan amanat undang-undang. Karena merupakan sebuah amanat, tugas tersebut harus dilaksanakan secara maksimal. Apabila ternyata menurut pemberi amanat, tugas tidak dilaksanakan dengan baik, tidak mustahil amanat tadi akan dicabut.

Dengan perkataan lain, tugas dan kewenangan kepolisian yang tertuang dalam UU merupakan produk politik sehingga menjadi hal yang signifikan bila dikatakan ada dan tidaknya kewenangan tadi serta keberlanjutannya merupakan bagian dari political will.

Kedua, secara substansi, tugas dan kewenangan polisi sangat berhubungan dengan rasa aman. Rasa aman menjadi kebutuhan pokok dalam suatu negara. Dinamika sosial bisa berjalan ketika rasa aman tercipta. Dalam konteks teori kebutuhan dasar manusia, sebagaimana dikatakan A. Maslow dalam teori Hierarchy of Need, rasa aman dibutuhkan manusia sebagaimana manusia membutuhkan makan, minum, seks, dan aktualisasi diri.

Karena sudah menyentuh kebutuhan dasar itulah, Polri yang eksistensinya dibiayai uang rakyat harus mengabdi pada kepentingan rakyat yang membutuhkan rasa aman. Menjadi hal yang kontraproduktif ketika polisi yang termanifestasi pada perilaku oknum-oknumnya yang tertangkap oleh rekannya sendiri masuk dalam lingkaran peredaran narkoba, sindikat kejahatan, sampai perbuatan lain yang mengingkari jati dirinya sebagai abdi yang seharusnya melindungi. Bukan menyakiti.

Dalam skala kecil, adanya komplain berupa salah tembak, salah tangkap, kekerasan dalam proses penyidikan, cari-cari kesalahan pelanggar lalu lintas, menarik pungutan di luar ketentuan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) pada pelayanan pembuatan SIM, SKCK, perizinan, dan sebagainya menjadi catatan tersendiri yang ikut mewarnai kinerja polisi.

Hal ini sangat dipahami oleh pembuat kebijakan di Polri. Maka, regulasi untuk mengantisipasi itu sudah dikeluarkan Mabes Polri, baik berupa perintah langsung, maklumat, maupun proses hukum bagi anggota Polri yang kedapatan melakukan hal-hal yang kontraproduktif tadi.

Itu menjadi sebuah pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dan harus menjadi prioritas Kapolri untuk segera membenahinya. Masih adanya oknum-oknum polisi yang nakal bila tidak ditindak secara tegas akan menjadi virus yang membahayakan organisasi.

Penulis melihat kebijakan dalam rangka pembenahan sudah optimal. Filosofi atas kebijakan untuk menjadikan lembaga kepolisian dicintai masyarakat sudah tertuang dalam Grand Strategi Polri untuk 25 tahun mendatang, yang kini sudah memasuki tahap pertengahan. Yang dibutuhkan sekarang adalah masing-masing individu anggota polisi menyadari bahwa dirinya adalah pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat.

Harus ada perubahan mindset terhadap kultur yang selama ini masih membelenggu. Salah satunya adalah merasa berkuasa atas masyarakat sehingga dengan mudah melakukan abuse of power untuk kepentingan pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar