Kampanye
Negatif dan Etika Media
Agus
Sudibyo ; Direktur Eksekutif
Matriks Indonesia
|
JAWA
POS, 30 Juni 2014
MEMBERIKAN
informasi sebanyak-banyaknya tentang calon presiden dan wakil presiden kepada
masyarakat adalah kewajiban pers Indonesia menjelang suksesi kepemimpinan
nasional seperti saat ini. Termasuk jika informasi itu mengungkapkan
sisi-sisi negatif tentang jati diri capres-cawapres. Masyarakat berhak tahu
rekam jejak calon pemimpinnya secara memadai dan pers harus membantu
masyarakat dalam hal tersebut. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan
menggunakan hak pilihnya secara rasional, tidak memilih ’’kucing dalam
karung’’, serta tidak terhipnotis
janji-janji gombal capres-cawapres. Pada titik ini, mengungkap
keburukan-keburukan capres-cawapres bisa membantu meningkatkan legitimasi
politik pemilihan presiden.
Persoalannya
adalah, jika pengungkapan keburukan-keburukan itu dilakukan di ruang publik
media, jelas ada aturan main dan etikanya, serta tidak dapat dilakukan secara
sembarangan. Pertama, pengungkapan keburukan capres-cawapres itu semata-mata
memenuhi hak publik untuk tahu (right
to know), bukan karena suruhan atau pesanan kandidat capres-cawapres, tim
sukses, dan simpatisan, termasuk pemilik media sendiri.
Itulah
yang disebut sebagai independensi media. Bisa jadi media menunjukkan
kecondongan politis tertentu. Namun, kecondongan itu semata-mata dilakukan
karena penelusuran dan pengamatan media menunjukkan bahwa capres X memang
lebih baik daripada capres Y, bukan karena media atau pemiliknya telah
terlibat kontrak politik dengan capres X.
Kedua,
pengungkapan keburukan capres-cawapres dilakukan melalui proses verifikasi
yang memadai. Pengungkapan keburukan-keburukan itu tidak dilakukan secara
ceroboh dan membabi buta, tetapi melalui proses konfirmasi, uji kebenaran
informasi dan kredibilitas sumber, pemisahan antara fakta dan opini, serta
selalu menjaga asas praduga tak bersalah. Disiplin verifikasi sangat penting
dilakukan agar media massa tidak terseret arus yang terjadi di media sosial
bahwa caci maki, sumpah serapah, dan penghakiman dengan leluasa dilakukan
terhadap capres-cawapres tertentu.
Ketiga,
media memberikan ruang yang relatif berimbang kepada semua capres-cawapres
untuk diberitakan secara positif maupun negatif. Jika suatu media gencar
melakukan profiling negatif kepada satu capres, sedangkan kepada capres yang
lain adalah selalu profiling positif, patut diduga media itu telah melanggar
prinsip-prinsip ruang publik. Kecondongan media terhadap satu kandidat tidak
berarti bahwa media itu menutup diri dari kandidat yang lain.
Keempat,
pengungkapan keburukan-keburukan capres-cawapres harus dibatasi kepada
hal-hal yang memang relevan untuk kepentingan publik, yakni rekam-jejak
sebagai pejabat publik, tokoh masyarakat, atau pengusaha. Apakah seorang
capres-cawapres mempunyai catatan kriminal, kekerasan, korupsi, tindakan
asusila, dan pelanggaran kepatutan sosial tertentu? Hal itu perlu diungkapkan
pers dengan bertolak dari disiplin verifikasi dan asas praduga tak bersalah.
Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan beragama dan etnisitas
semestinya tidak dieksploitasi secara intensif untuk menghindari
kecenderungan merendahkan dan mendiskriminasikan kelompok agama atau etnis
tertentu. Pengungkapan hal-hal yang bersifat pribadi juga tidak kondusif bagi
pendidikan politik warga negara.
Perlu
diperhatikan, empat prinsip etis tersebut bersifat koeksisten, harus
diwujudkan media secara keseluruhan. Empat prinsip etis itu tidak bersifat
substitutif, tidak cukup hanya dipenuhi satu–dua unsur. Empat prinsip etis
tersebut perlu ditegaskan agar media tidak terjebak menjadi sarana kampanye
negatif atau kampanye hitam pihak-pihak yang sedang bertarung memperebutkan kursi
presiden.
Sulit
mengharapkan para tim sukses atau simpatisan tidak mempraktikkan kampanye
negatif atau kampanye hitam. Model kampanye yang demikian itu, tampaknya,
sudah mendarah daging dalam kehidupan politik kita, dipraktikkan sebagai
kelaziman. Karena dilakukan secara anonim, sulit juga penanganannya.
Namun,
semestinya media massa tidak ikut-ikutan. Media perlu senantiasa menarik
garis tegas antara kampanye negatif di satu sisi dan berita negatif dalam
pengertian seperti dijelaskan di atas pada sisi lain. Media massa adalah
media masyarakat, semestinya tidak mudah diperalat pihak mana pun untuk
kebutuhan kampanye negatif.
Penegasan
itu menjadi sangat penting saat ini. Dalam situasi politik yang semakin panas
belakangan, seharusnya pers menjadi peneduh dan pelindung ketenangan publik.
Di tengah-tengah pertarungan politik yang semakin runcing, pers semestinya
tidak menjadi pelaku politik. Pers justru dibutuhkan sebagai faktor pereda
dengan senantiasa mengingatkan semua pihak tentang pentingnya kedewasaan,
kesantunan, respek, dan perilaku bertanggung jawab dalam proses berdemokrasi.
Namun,
yang terjadi belakangan ini justru menuju ke arah sebaliknya. Dengan mudah
kita menemukan keberadaan pemilik media dalam barisan pendukung
capres-cawapres. Beberapa media telah terang-terangan menempatkan diri
sebagai bagian dari tim pemenangan, dengan mengampanyekan capres tertentu dan
sebaliknya mendelegitimasi capres yang lain secara vulgar dan tendensius.
Wacana media tentang pilpres mulai diwarnai pelanggaran prinsip-prinsip
independensi, disiplin verifikasi, asas praduga tak bersalah, serta spirit
antidiskriminasi.
Selain melanggar prinsip ruang publik dan
etik pers, terlalu jauh menjerumuskan diri ke dalam permainan politik
sesungguhnya sangat berisiko bagi suatu media. Bagaimana jika kemudian
capres-cawapres yang didukung media itu kalah dalam perebutan kursi presiden?
Bagaimana pemilik dan pemimpin redaksi media harus bersikap terhadap presiden
baru yang telah menjadi korban kampanye negatif media tersebut? Bukankah
media sebaiknya tidak mencari kawan, tetapi juga tidak mencari musuh?
Persoalan
yang tidak kalah penting adalah citra media di hadapan masyarakat, pengiklan
menang, dan investor. Pemilu legislatif menunjukkan bahwa kampanye melalui
media tidak begitu berpengaruh terhadap pilihan politik masyarakat, bahkan
menimbulkan sinisme dan stigma buruk yang tiada habisnya terhadap media
tersebut. Sinisme dan stigma buruk yang secara tidak langsung kemudian juga
berdampak terhadap preferensi pengiklan dan investor, terutama jika media
tersebut telah menjadi perusahaan terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar