Selasa, 01 Juli 2014

Nilai Rupiah Menunggu Pilpres 9 Juli

Nilai Rupiah Menunggu Pilpres 9 Juli

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
(PSEKP) UGM
KOMPAS, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MENJELANG pemilihan umum presiden pada 9 Juli 2014, nilai rupiah justru terus melemah, bahkan mencapai Rp 12.100 per dollar AS. Apa yang terjadi? Bukankah pilpres secara langsung oleh rakyat merupakan peristiwa demokrasi yang hebat sehingga mestinya menumbuhkan ekspektasi positif pada nasib perekonomian negara ini?

Ditinjau dari perkembangan serangkaian indikator ekonomi makro, agak sulit menjelaskan mengapa rupiah melemah drastis. Dari sisi eksternal, misalnya, perekonomian Amerika Serikat (AS) memang membaik, yang dapat ditunjukkan dengan level pengangguran yang turun menjadi 6,3 persen. Hal ini jauh lebih baik daripada level 10 persen saat krisis memuncak pada musim semi tahun 2009. Hal inilah yang menyebabkan penguatan kurs dollar AS terhadap seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah.

Namun, pekan lalu, muncul berita yang kurang baik. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dikoreksi dari semula di atas 2,5 persen menjadi hanya 2,1 persen. Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan I-2014 hanya 1,5 persen. Angka yang rendah ini (mestinya minimal 2 persen) tentu saja mengecewakan dan mengundang pesimisme atas kinerja AS di sisa tahun 2014.

Koreksi pertumbuhan ekonomi AS ini mestinya menimbulkan koreksi pula pada kurs dollar AS terhadap rupiah. Kenyataannya tidak. Rupiah justru terus melemah melampaui batas psikologis Rp 12.000 per dollar AS. Secara internal, perekonomian Indonesia memang masih punya masalah dengan defisit transaksi berjalan. Melemahnya rupiah juga memperburuk situasi ini karena impor minyak yang semakin besar dalam konversi rupiah terus membebani APBN 2014. Situasi kian runyam tatkala subsidi energi (BBM dan listrik) bakal mendekati Rp 400 triliun pada tahun ini.

Sebagai ilustrasi, biaya penyelenggaraan Piala Dunia 2014 di Brasil semula ditaksir Bloomberg ”hanya” 15 miliar dollar AS, tetapi bisa membengkak menjadi 20 miliar dollar AS atau Rp 240 triliun. Angka ini ternyata masih kalah jauh dibandingkan dengan subsidi energi Indonesia. Sungguh ironis.

Namun, di sisi lain, sebenarnya ada aliran dana asing masuk pada Mei 2014 yang bisa dideteksi dari kenaikan cadangan devisa menjadi 107 miliar dollar AS. Dana asing ini masuk dalam bentuk portofolio ke pasar surat berharga, baik obligasi pemerintah maupun saham korporasi. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus naik ke arah batas psikologis 5.000. Angka ini sesungguhnya tidak didukung kinerja korporasi yang sebanding (tidak mempunyai underlying) alias menjadi kemahalan. Akibatnya, akhir pekan lalu, terjadi aksi jual dalam rangka ambil keuntungan. IHSG pun ditutup melemah menjadi 4.845.

Secara singkat, inilah potret perekonomian Indonesia menjelang pilpres: (1) likuiditas perbankan ketat sehingga pertumbuhan kredit melemah; (2) defisit transaksi berjalan terus terjadi; (3) inflasi tahunan (year on year) bakal masih 7,3-7,5 persen dan akan naik selama bulan Ramadhan dan Lebaran; (4) aliran modal asing masih terjadi; (5) rupiah terus melemah.

Secara teknis, berdasarkan fundamental ekonomi tersebut, sebenarnya rupiah memang pantas melemah. Namun, tetap saja pelemahan yang sedemikian besar di atas Rp 12.000 per dollar AS menimbulkan pertanyaan apakah rupiah lebih terimbas sentimen negatif pilpres daripada data fundamental ekonomi?

Meski tidak bisa memastikan 100 persen, saya berani berspekulasi bahwa sentimen negatif pilpres memang benar terjadi. Pasar tampaknya cukup waswas dengan dinamika pilpres yang sedemikian hiruk-pikuk sehingga menimbulkan ketidakpastian (uncertainties).

Sistem pemilu kita, yang memungkinkan terjadinya koalisi partai-partai dan gairah berkampanye yang berlebihan sehingga menjerumuskan terjadinya aksi kampanye hitam secara tidak bertanggung jawab, telah menyebabkan jarak elektabilitas kedua kandidat semakin mendekat. Konsekuensinya, hal ini menimbulkan ketidakpastian siapa yang bakal memenangi pilpres. Akibatnya, para investor global tidak mau untuk segera mengeksekusikan rencana-rencana bisnisnya. Mereka memilih menunggu hasil pilpres sebelum menjalankan aksi korporasi.

Sambil menunggu, apa yang mesti dilakukan regulator? Apakah Bank Indonesia (BI) perlu menaikkan BI Rate dari posisi sekarang 7,5 persen atau perlu melakukan intervensi dengan mengalirkan cadangan devisanya ke pasar uang?

Saya pikir, BI pun harus bersabar menunggu. Percuma saja mereka memasok dollar AS untuk memperkuat kurs rupiah. Faktor sentimen pilpres rasanya sulit dilawan dengan cadangan devisa. BI Rate dinaikkan pun percuma karena hal itu hanya akan mempersulit bank-bank untuk menaikkan aktivitas penyaluran kredit ke sektor riil.

Menunggu 9 Juli adalah pilihan yang tak bisa dihindari, baik oleh pelaku ekonomi (investor, konsumen), maupun regulator (BI). Harapan terbaik kita terhadap kedua capres adalah jika mereka memenangi pilpres haruslah bertegur sapa dan akrab dengan para pelaku pasar (market friendly). Sikap ramah kepada investor tidak berarti tidak berani melakukan renegosiasi kontrak. Kontrak kita dengan Freeport, misalnya, harus selalu dievaluasi karena perekonomian berkembang amat dinamis.

Siapa pun pemenang pilpres juga harus agresif membangun infrastruktur. Sebagaimana India, kita termasuk mengalami ”defisit infrastruktur”. Infrastruktur yang buruk akan menyebabkan investor kabur. Inilah pelajaran terpenting dari India.

Presiden baru juga harus terus membangun kualitas sumber daya manusia. Program keluarga berencana (KB) yang dulu sukses pada era Orde Baru ironisnya kini tidak tampak bekasnya. Pengendalian jumlah penduduk menjadi salah satu kunci agar ”bonus demografi” tidak berubah menjadi ”beban demografi” ketika penduduk usia produktif harus menyangga penduduk usia tidak produktif yang jumlahnya lebih besar.

Saya tidak habis mengerti mengapa jumlah anak muda Indonesia yang bersekolah di luar negeri (international student mobility) hanya berada di peringkat ketiga di ASEAN, kalah dari Malaysia dan Vietnam. Di seluruh dunia, juaranya adalah Tiongkok dan India. Untuk meningkatkan daya saing, kita harus merebut pengetahuan dan teknologi. Itu hanya bisa diperoleh dengan mengirimkan pemuda-pemudi sekolah ke luar negeri secara agresif sebagaimana dulu BJ Habibie lakukan saat menjadi Menristek.

Jika faktor-faktor itu dapat kita peroleh dari pemenang Pilpres 9 Juli nanti, kita akan saksikan rupiah menguat dengan cepat. Saya duga level Rp 11.500 per dollar AS merupakan ekuilibrium baru yang mestinya bisa kita raih pekan depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar