Jumat, 11 Juli 2014

Politik Pasca Pilpres 2014

                                         Politik Pasca Pilpres 2014

Asep Salahudin  ;   Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
KOMPAS, 11 Juli 2014
                                                


PEMILU Presiden 2014 telah berlangsung relatif aman. Kerusuhan yang dibayangkan akan menghantui alhamdulillah tidak terjadi. Amuk massa hakikatnya bukan tabiat negeri kepulauan yang justru terkenal santun, gotong royong, dan ramah, seperti terpantul dari seluruh sila dalam ideologi negara dalam lambang Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang digali dari kitab Sutasoma karya Empu Tantular abad ke-14.

Kita harus berterima kasih kepada seluruh masyarakat yang dengan kesadaran tinggi telah memosisikan pilpres tidak sebagai ”perang badar”, tetapi hanya penggalan hikayat politik dalam rotasi demokrasi lima tahunan untuk memilih pimpinan nasional yang dianggap dalam memori kolektifnya mampu mempercepat takdir bangsa menemukan adabnya.

Bahkan, harus diakui, realitasnya, rakyat kecil sering kali jauh lebih dewasa dalam memaknai pemilihan umum ketimbang elite. Mereka dengan ikhlas menghentikan pekerjaannya pulang ke kampung halaman untuk sekadar masuk tempat pemungutan suara menggunakan hak pilihnya. Padahal, yang dicoblos sama sekali tidak kenal serta tidak ada kaitan kekerabatan, puak, kepentingan, apalagi kesamaan partai.

Ketika para elite masih mengklaim kemenangan dan tim sukses mereka belum menerima kekalahan, padahal banyak hasil penghitungan cepat (quick count) dengan terang merujuk pada kemenangan pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla (Jokowi-JK), di lapisan bawah mereka yang berbeda pilihan sudah kembali bercengkerama dalam suasana silaturahim yang cair. Tanpa harus diungkapkan, alam kebatinan mereka sudah berbicara bahwa merajut keindonesiaan yang bersatu jauh lebih penting ketimbang sekadar sengketa pilpres.

Penyikapan

Pemenang tidak perlu jemawa, yang kalah tidak semestinya menyimpan kesumat. Kontestasi selalu hanya menyisakan dua kemungkinan: dia yang diberi kesempatan dan atau yang belum saatnya sejarah berpihak kepadanya. Festivalisasi senantiasa berujung pada hal itu. Bahkan, boleh jadi kekalahan lebih utama karena di seberangnya tersedia kesempatan melakukan refleksi secara utuh tentang seluruh jalan hidup yang telah dijalaninya.

Orang arif sering menyebut kekalahan sebagai modal rohaniah untuk menyelam menemukan permata di medan lautan sepi yang tidak pernah dirasakan orang lain yang tidak bertarung. Apalagi, dirasakan orang lain yang bergabung dengan nawaitu sesaat hanya sekadar ingin masuk bagian dari kabinet, menjadi ”menteri senior”, memburu rente, ataupun menikmati popularitas.

Kekalahan sebagai jalan politik menuju keutamaan. Bukankah justru di tangan seorang Siddhartha Gautama, kekuasaan yang telah berada di genggaman itu malah ditanggalkan demi memburu ketenangan batin menyingkir dari pusat kekuasaan terpekur di bawah pohon bodis demi menyambut datangnya terang fajar pencerahan.

Sejarah lain mencatat. Imam Ali, seorang tokoh politik dalam pemilihan jabatan luhur kekhalifahan, ternyata memilih rute senyap memberikan contoh kiprahnya yang lebih mengunggulkan etika ketimbang terus mengatur siasat memburu kursi dan menebar ketakutan kepada khalayak. Walaupun, sikapnya yang seperti ini pada akhirnya membuat kekuasaannya secara de facto terlepas berpindah ke tangan Muawiyah.

Bahkan, dirinya sendiri secara tragis harus menjadi martir dari para pihak yang kecewa atas pilihan moderat politiknya: mati di tangan separatis Khawarij yang dahulu konstituennya, tetapi telah berbalik haluan berkiblat kepada ekstremisme menganggap liyan sebagai kafir, memandang ”mereka” yang tidak berhukum kepada firman Tuhan sebagai ”bidah” terkutuk yang harus dilenyapkan.

Imam Ali dengan penuh kesadaran mengajarkan ihwal moralitas politik, tentang ”yang politik” (maslahat) harus melampaui ”politik” (muslihat), tentang pembedaan (istilah Zizek) antara ”politik nalar” dan ”politik durjana“ (a specifically political rationality and a specifically political evil). Imam Ali menginjeksikan keniscayaan berpolitik dengan akal sehat.

Politik harian

Setelah pemilu legislatif dan pilpres secara langsung diselesaikan dengan ongkos politiknya yang sangat mahal yang dibayarkan dari pajak rakyat, sudah semestinya agenda selanjutnya para terpilih itu berterima kasih kepada segenap rakyat, baik yang memilihnya maupun yang tidak memilihnya.

Caranya adalah, pertama, bekerja keras berkhidmat untuk kepentingan bersama. Kedua, membuat regulasi yang menempatkan masyarakat sebagai subjek utama dalam seluruh tata kelola pemerintahan. Ketiga, menanggalkan atribut keburukan yang melekat dalam birokrasi.

Keempat, memperbaiki sistem pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang kadung karut-marut. Kelima, menumbuhkan pengalaman kemajemukan sebagai bagian penting dari sejarah seluruh warga bangsa yang plural. Keenam, mengembalikan lagi kebanggaan terhadap bangsa dengan cara, di antaranya, kaum pemimpin itu memberikan teladan selarasnya kata dengan ucapan, menjauhi watak rakus, menghentikan korupsi yang sudah menggurita.

Keenam hal inilah—kita sebut sebagai politik harian—yang menjadi identitas utama yang kelak harus dipertanggungjawabkan kepada kaum pemilihnya. Jadi, pada akhirnya ketika bertemu kembali pada pemilu yang akan datang, pertanyaan penting yang muncul: layakkah mereka dipilih kembali atau tidak?

Politik harian seperti ini yang akan menjadi penanda apakah demokrasi itu sekadar berhenti sebatas instrumental, mengarah menjadi simtom pembusukan demokrasi (democracy decay), atau telah menyentuh sisi substantifnya. Apakah kemeriahan demokrasi itu sebanding lurus dengan upaya pendistribusian rasa keadilan merata, penegakan hukum, dan terwujudnya negara kesejahteraan atau tidak? Politik harian yang akan membuat politik itu kemudian kembali pada fitrahnya yang agung.

Fitrah politik yang agung itu adalah politik seperti diuraikan Hannah Arendt (1906-1975), yang bertolak dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan koeksistensi semua orang di ruang publik yang pluralistik. Politik yang memberi kebebasan berpikir, berbicara, dan bertindak melampaui batas-batas tradisi, agama, birokrasi, dan kebenaran ilmiah. Politik yang terbebas dari kerangka penguasaan, pengendalian, dominasi, dan pertarungan kepentingan (Agus Sudibyo, Politik Otentik, 2013).

Merawat harapan

Jika hasil dari seluruh hajat pemilu legislatif dan pilpres itu tak pernah menunjukkan indeks prestasi positif, sebagai bangsa masih tetap berada di halaman belakang daripada negara-negara tetangga, belum juga berdaulat secara ekonomi, politik, dan kebudayaan, sesungguhnya kita masih tetap harus merawat harapan.

Keindonesiaan yang telah menginjak usia ke-69 tahun tak seharusnya tunduk pada segenap perangai negatif kaum pemimpin, tersekap ormas berhaluan menyimpang yang bertentangan dengan falsafah negara dan cita-cita para pendiri bangsa. Apa pun hasil dari Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014, tidak semestinya menjadi alasan bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan punahnya negeri kepulauan layaknya negara-negara Balkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar