Politik
Pasca Pilpres 2014
Asep Salahudin ; Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
|
KOMPAS,
11 Juli 2014
PEMILU Presiden 2014 telah berlangsung relatif aman. Kerusuhan yang
dibayangkan akan menghantui alhamdulillah
tidak terjadi. Amuk massa hakikatnya bukan tabiat negeri kepulauan yang
justru terkenal santun, gotong royong, dan ramah, seperti terpantul dari seluruh
sila dalam ideologi negara dalam lambang Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang digali dari kitab Sutasoma karya Empu Tantular abad
ke-14.
Kita harus berterima kasih kepada seluruh masyarakat yang dengan
kesadaran tinggi telah memosisikan pilpres tidak sebagai ”perang badar”,
tetapi hanya penggalan hikayat politik dalam rotasi demokrasi lima tahunan
untuk memilih pimpinan nasional yang dianggap dalam memori kolektifnya mampu
mempercepat takdir bangsa menemukan adabnya.
Bahkan, harus diakui, realitasnya, rakyat kecil sering kali jauh lebih
dewasa dalam memaknai pemilihan umum ketimbang elite. Mereka dengan ikhlas
menghentikan pekerjaannya pulang ke kampung halaman untuk sekadar masuk
tempat pemungutan suara menggunakan hak pilihnya. Padahal, yang dicoblos sama
sekali tidak kenal serta tidak ada kaitan kekerabatan, puak, kepentingan,
apalagi kesamaan partai.
Ketika para elite masih mengklaim kemenangan dan tim sukses mereka
belum menerima kekalahan, padahal banyak hasil penghitungan cepat (quick count) dengan terang merujuk
pada kemenangan pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla (Jokowi-JK), di lapisan
bawah mereka yang berbeda pilihan sudah kembali bercengkerama dalam suasana
silaturahim yang cair. Tanpa harus diungkapkan, alam kebatinan mereka sudah
berbicara bahwa merajut keindonesiaan yang bersatu jauh lebih penting
ketimbang sekadar sengketa pilpres.
Penyikapan
Pemenang tidak perlu jemawa,
yang kalah tidak semestinya menyimpan kesumat. Kontestasi selalu hanya
menyisakan dua kemungkinan: dia yang diberi kesempatan dan atau yang belum
saatnya sejarah berpihak kepadanya. Festivalisasi senantiasa berujung pada
hal itu. Bahkan, boleh jadi kekalahan lebih utama karena di seberangnya
tersedia kesempatan melakukan refleksi secara utuh tentang seluruh jalan
hidup yang telah dijalaninya.
Orang arif sering menyebut kekalahan sebagai modal rohaniah untuk
menyelam menemukan permata di medan lautan sepi yang tidak pernah dirasakan
orang lain yang tidak bertarung. Apalagi, dirasakan orang lain yang bergabung
dengan nawaitu sesaat hanya sekadar ingin masuk bagian dari kabinet, menjadi
”menteri senior”, memburu rente, ataupun menikmati popularitas.
Kekalahan sebagai jalan politik menuju keutamaan. Bukankah justru di
tangan seorang Siddhartha Gautama, kekuasaan yang telah berada di genggaman
itu malah ditanggalkan demi memburu ketenangan batin menyingkir dari pusat
kekuasaan terpekur di bawah pohon bodis demi menyambut datangnya terang fajar
pencerahan.
Sejarah lain mencatat. Imam Ali, seorang tokoh politik dalam pemilihan
jabatan luhur kekhalifahan, ternyata memilih rute senyap memberikan contoh
kiprahnya yang lebih mengunggulkan etika ketimbang terus mengatur siasat
memburu kursi dan menebar ketakutan kepada khalayak. Walaupun, sikapnya yang seperti
ini pada akhirnya membuat kekuasaannya secara de facto terlepas berpindah ke
tangan Muawiyah.
Bahkan, dirinya sendiri secara tragis harus menjadi martir dari para
pihak yang kecewa atas pilihan moderat politiknya: mati di tangan separatis
Khawarij yang dahulu konstituennya, tetapi telah berbalik haluan berkiblat
kepada ekstremisme menganggap liyan sebagai kafir, memandang ”mereka” yang
tidak berhukum kepada firman Tuhan sebagai ”bidah” terkutuk yang harus
dilenyapkan.
Imam Ali dengan penuh kesadaran mengajarkan ihwal moralitas politik,
tentang ”yang politik” (maslahat) harus melampaui ”politik” (muslihat),
tentang pembedaan (istilah Zizek) antara ”politik nalar” dan ”politik
durjana“ (a specifically political
rationality and a specifically political evil). Imam Ali menginjeksikan
keniscayaan berpolitik dengan akal sehat.
Politik
harian
Setelah pemilu legislatif dan pilpres secara langsung diselesaikan
dengan ongkos politiknya yang sangat mahal yang dibayarkan dari pajak rakyat,
sudah semestinya agenda selanjutnya para terpilih itu berterima kasih kepada
segenap rakyat, baik yang memilihnya maupun yang tidak memilihnya.
Caranya adalah, pertama, bekerja keras berkhidmat untuk kepentingan
bersama. Kedua, membuat regulasi yang menempatkan masyarakat sebagai subjek
utama dalam seluruh tata kelola pemerintahan. Ketiga, menanggalkan atribut
keburukan yang melekat dalam birokrasi.
Keempat, memperbaiki sistem pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang
kadung karut-marut. Kelima, menumbuhkan pengalaman kemajemukan sebagai bagian
penting dari sejarah seluruh warga bangsa yang plural. Keenam, mengembalikan
lagi kebanggaan terhadap bangsa dengan cara, di antaranya, kaum pemimpin itu
memberikan teladan selarasnya kata dengan ucapan, menjauhi watak rakus,
menghentikan korupsi yang sudah menggurita.
Keenam hal inilah—kita sebut sebagai politik harian—yang menjadi
identitas utama yang kelak harus dipertanggungjawabkan kepada kaum
pemilihnya. Jadi, pada akhirnya ketika bertemu kembali pada pemilu yang akan
datang, pertanyaan penting yang muncul: layakkah mereka dipilih kembali atau
tidak?
Politik harian seperti ini yang akan menjadi penanda apakah demokrasi
itu sekadar berhenti sebatas instrumental, mengarah menjadi simtom pembusukan
demokrasi (democracy decay), atau
telah menyentuh sisi substantifnya. Apakah kemeriahan demokrasi itu sebanding
lurus dengan upaya pendistribusian rasa keadilan merata, penegakan hukum, dan
terwujudnya negara kesejahteraan atau tidak? Politik harian yang akan membuat
politik itu kemudian kembali pada fitrahnya yang agung.
Fitrah politik yang agung itu adalah politik seperti diuraikan Hannah
Arendt (1906-1975), yang bertolak dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan
koeksistensi semua orang di ruang publik yang pluralistik. Politik yang memberi
kebebasan berpikir, berbicara, dan bertindak melampaui batas-batas tradisi,
agama, birokrasi, dan kebenaran ilmiah. Politik yang terbebas dari kerangka
penguasaan, pengendalian, dominasi, dan pertarungan kepentingan (Agus Sudibyo, Politik Otentik, 2013).
Merawat
harapan
Jika hasil dari seluruh hajat pemilu legislatif dan pilpres itu tak
pernah menunjukkan indeks prestasi positif, sebagai bangsa masih tetap berada
di halaman belakang daripada negara-negara tetangga, belum juga berdaulat
secara ekonomi, politik, dan kebudayaan, sesungguhnya kita masih tetap harus
merawat harapan.
Keindonesiaan yang telah menginjak usia ke-69 tahun tak seharusnya
tunduk pada segenap perangai negatif kaum pemimpin, tersekap ormas berhaluan
menyimpang yang bertentangan dengan falsafah negara dan cita-cita para
pendiri bangsa. Apa pun hasil dari Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden
2014, tidak semestinya menjadi alasan bubarnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan punahnya negeri kepulauan layaknya negara-negara Balkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar