Gugatan
Newmont dan Kedaulatan
Giri Ahmad Taufik ; Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
|
KOMPAS,
11 Juli 2014
PRO kontra penerapan larangan impor bahan mentah produk mineral dan
batubara mencapai titik klimaks. Newmont, salah satu kontraktor pertambangan
terbesar setelah Freeport, membawa persoalan ini ke arbitrase internasional.
Larangan ekspor yang diterapkan sejak Januari lalu tampaknya
menimbulkan kerugian signifikan pada kerja keuangan perusahaan. Secara umum,
gugatan Newmont merupakan contoh klasik pertarungan antara kedaulatan negara
(state sovereignty) dan
penghormatan terhadap kontrak (sanctity
of contract).
Pada prinsipnya Pemerintah Indonesia terikat, baik secara hukum
nasional maupun internasional, dengan apa yang dia telah janjikan dalam
ketentuan klausul kontrak dalam sebuah investasi (pacta sunt servanda), terutama dalam industri ekstraktif, di mana
pemerintah terlibat langsung sebagai pihak. Persoalan menjadi rumit karena
entitas pemerintah sebagai pemegang kedaulatan memiliki personalitas hukum
ganda, yakni pemerintah sebagai entitas privat (jure gestionis) dan sebagai entitas negara (jure imperii). Secara hukum, pembagian demikian memiliki
konsekuensi signifikan jika terjadi sengketa.
Klausul
stabilisasi
Pemerintah sebagai entitas privat memiliki kedudukan hukum setara
dengan pihak lainnya tanpa adanya privilese bagi pihak pemerintah. Pada
tindakan pemerintah sebagai negara, kedudukannya adalah tidak setara, di mana
posisi pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan entitas privat. Bahkan,
dalam doktrin imunitas negara, tindakan pemerintah sebagai entitas berdaulat
tak dapat digugat dalam forum internasional mana pun.
Untuk menyiasati doktrin ini, dalam kontrak-kontrak investasi sering
kali memasukkan klausul stabilisasi. Klausul inilah yang sering jadi problem
ketika terjadi perubahan pada kebijakan dan peraturan perundang-undangan.
Klausul stabilisasi merupakan klausul yang lazim ditemukan dalam
kontrak-kontrak investasi asing berdurasi panjang. Tujuannya adalah untuk
menghilangkan dampak suatu kebijakan nasional—pasca ditandatanganinya
kontrak—yang dapat memengaruhi nilai keekonomian dari kegiatan bisnis yang
dilakukan (Transnational Dispute
Management, Eijuri, 2008).
Rumusan redaksional yang umum digunakan adalah membekukan efek
pemberlakuan suatu kebijakan pemerintah terhadap kegiatan bisnis yang ada.
Pembatasan yang demikian seolah-olah memasung pemerintah untuk menerapkan kebijakan/membuat
peraturan perundang- undangan di suatu sektor ekonomi tertentu. Padahal,
pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari tindakan
pemerintah sebagai negara berdaulat, yang tidak dapat dibatasi oleh hubungan
kontraktual keperdataan apa pun.
Terlebih-lebih dalam konteks hukum nasional Indonesia terkait dengan
kekayaan sumber daya alam, di mana kehadiran Pasal 33 UUD 1945 memperbesar
ruang bagi negara untuk mengukuhkan kedaulatannya. Sebagaimana ditegaskan
dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 33, kewenangan negara
untuk memberikan pengaturan tidak dapat dibatasi atau direduksi oleh
kesepakatan perdata apa pun.
Namun, di sisi lain, pemerintah juga terikat berdasarkan hukum untuk
mematuhi apa yang telah diperjanjikan dalam kontrak yang ada. Menghormati
perjanjian yang ada tidak hanya penting secara moral dan hukum, juga memiliki
efek bagi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pembangunan ekonomi
Indonesia tak dapat dilakukan dengan mengandalkan sumber-sumber dalam negeri,
investasi asing sangat diperlukan, terutama dari sisi permodalan.
Mengabaikan ketentuan kontraktual yang sudah dibuat secara
sewenang-wenang merupakan ancaman nyata bagi investasi asing. Alhasil,
pilihan melakukan penghindaran berinvestasi di Indonesia adalah keputusan
paling rasional bagi investor asing, terlebih-lebih dengan integrasi ekonomi
ASEAN 2015.
Gugatan
Newmont
Gugatan Newmont ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Posisi hukum
Indonesia sangat tidak menguntungkan lantaran rumusan klausul stabilisasi
yang buruk bagi posisi Indonesia. Sebagai contoh, klausul stabilisasi antara
Freeport dan Indonesia memuat rumusan redaksional yang secara substansi
memberikan kewajiban bagi pemerintah menerapkan ketentuan yang paling menguntungkan
bagi kontraktor jika terjadi perubahan peraturan perundang- undangan (Katadata.co.id, 2014).
Rumusan demikian tak lazim, bahkan dalam klausul kontrak di
negara-negara kapitalis sekalipun, di mana implikasi dari rumusan tersebut
sepanjang durasi kontrak pemerintah harus terus-menerus memberikan privilese
kepada kontraktor pertambangan besar, untuk setiap perubahan kebijakan.
Sering kali perubahan kebijakan pada dasarnya adalah untuk mempromosikan
kehidupan perekonomian yang lebih menguntungkan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Jika klausul stabilisasi kontrak karya
Newmont memiliki substansi yang sama, jelas posisi Indonesia tidaklah
menguntungkan jika dihadapkan pada panel arbitrase. Jalan paling rasional
untuk ditempuh adalah melakukan renegosiasi term-term dalam kontrak, seperti
yang saat ini sedang berjalan.
Namun, pemerintah juga harus dapat menilai bahwa gugatan arbitrase oleh
Newmont merupakan strategi negosiasi yang mereka terapkan untuk menekan
pemerintah. Ini sekaligus dapat menunjukkan itikad tidak baik dan terdapat
indikasi kuat bahwa tujuan mereka hanya ingin menghindari bea keluar yang
diterapkan oleh pemerintah dengan mendasarkan pada putusan sela pengadilan
arbitrase.
Gugatan Newmont harus dianggap sebagai ancaman bagi kedaulatan
pemerintah dalam menjalankan fungsi kekuasaannya. Oleh karena itu, pemerintah
seharusnya tak boleh menolerir akrobat hukum yang dilakukan Newmont dengan
menghentikan proses renegosiasi dengan Newmont secara serta-merta dan lebih
berfokus dalam menghadapi gugatan hukum Newmont.
Hal ini menjadi penting untuk memberikan sinyal yang jelas bagi
perusahaan multinasional lainnya bahwa kebijakan penerapan nilai tambah bagi
industri mineral dan batubara (minerba) merupakan amanat konstitusi yang tak
dapat ditawar-tawar lagi. Segala keberatan dan pertimbangan sudah seharusnya
diselesaikan dalam kerangka renegosiasi yang sedang berjalan.
Setiap tindakan di luar kerangka renegosiasi merupakan tindakan
penentangan terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat. Adapun respons yang
diberikan juga harus tidak kalah keras dan terukur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar