Jumat, 11 Juli 2014

Polarisasi Politik Indonesia

                                      Polarisasi Politik Indonesia

Lucky Djani  ;   Peneliti Institute for Strategic Initiatives
KOMPAS, 11 Juli 2014
                                                


DI awal tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, banyak pengamat politik Indonesia bersukacita atas kehadiran demokrasi dan memuji Indonesia sebagai negara demokrasi baru serta akan menuju konsolidasi demokrasi dalam waktu dekat. Namun, di pertengahan dasawarsa pertama abad ke-21, keraguan mulai muncul pada arah demokratisasi. Kekhawatiran atas demokrasi Indonesia akan surut atau defisit termuat dalam artikel racikan Andreas Ufen, pakar politik dari Jerman pada 2006. Ufen mengatakan bahwa politik sesudah Soeharto ditandai oleh kombinasi politik aliran dalam format baru dan Filipinanisasi praktik politik.

Hal ini ditandai, menurut Ufen, gejala personalisasi politik (dan partai politik), oligarki parpol, lunturnya platform politik parpol, politik uang, dan gejala lompat pagar/parpol. Analisis Ufen masih relevan dalam mencermati politik Indonesia saat ini. Di samping itu, penulis memandang politik Indonesia juga berjalan menuju kondisi seperti di Thailand. Sebut saja gejala Thailandisasi.

Perseteruan dua kubu politik di Thailand membuat polarisasi yang dalam tidak hanya di kalangan politikus, tetapi juga masyarakat secara luas. Pertentangan dalami masyarakat terlihat jelas dari latar wilayah/daerah dan kelas sosial. Kubu ”Kaus Merah” merupakan personifikasi petani, nelayan, serta kelompok miskin kota yang umumnya berasal dari daerah timur dan timur laut Thailand. Kubu ”Kaus Kuning” representasi kelas menengah, para profesional, juga birokrat dan aparat negara yang ”berdomisili” di bilangan Bangkok Raya.

Kondisi itu nyaris serupa terlihat pada momen Pilpres 2014 di Indonesia yang membelah kelompok politik dan kelompok masyarakat terpolarisasi menjadi dua kubu yang bertarung sengit.

Dua kutub politik

Bangkok di pengujung Mei 2014. ”Ritual” kudeta politik ”Negeri Gajah Putih” kembali berulang. Situasi politik membara dalam dasawarsa terakhir antara massa kubu Kaus Merah dan kubu Kaus Kuning memuncak pada 22 Mei dengan dilancarkannya kudeta militer. Kekacauan politik kali ini layaknya daur ulang episode yang terjadi sejak 2005 ketika gelombang protes dilakukan silih berganti antara Kaus Merah dan Kaus Kuning.

Pada Pemilu 2011, Pheu Thai Party (PTP—reinkarnasi Thai Rak Thai/TRT) pimpinan Yingluck Shinawatra memenangi pemilu secara meyakinkan. Partai ”wong cilik”—karena didukung masyarakat kelas bawah—kembali berkuasa setelah digusur partai Demokrat Thailand pimpinan Abhisit Vejjajiva yang jadi perdana menteri melalui kudeta senyap pada 15 Desember 2008.

Masa tenang pemerintahan Yingluck tak lama karena pada November 2013 muncul gelombang unjuk rasa pimpinan Sekjen Partai Demokrat Suthep Thaugsuban, membentuk koalisi People’s Democratic Reform Committee (PDRC) dan menuntut pembentukan Dewan Rakyat tanpa melalui pemilu untuk mengawasi reformasi politik. Menanggapi tuntutan PDRC, pada Desember 2013 Yingluck membubarkan parlemen dan menjadwalkan pemilu di awal Februari 2014.

Pemilu Februari 2014 tak terlaksana karena diboikot beberapa partai, termasuk Partai Demokrat, sehingga kembali menimbulkan kekacauan politik. Di tengah krisis legitimasi politik, Mahkamah Konstitusi, 7 Mei 2014, secara mendadak menganulir kepemimpinan Yingluck dan beberapa jajaran kabinetnya. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Wakil Perdana Menteri Niwatthamrong Boonsongpaisan ditunjuk sebagai PM caretaker.

Kisruh kepemimpinan diikuti gelombang protes yang membuka pintu masuk bagi tentara kerajaan Thailand (Royal Thai Army/RTA) ”menengahi” kemelut politik. Pada 20 Mei 2014, Komandan RTA Jenderal Prayuth mengeluarkan Martial Law dengan tujuan menjaga kedamaian dan ketertiban serta membuat Peace and Order Maintaining Command (POMC).

POMC segera mengambil inisiatif dengan mengundang faksi-faksi yang bertikai untuk mencari jalan keluar atas krisis politik Thailand yang telah berlangsung satu dasawarsa. Pertemuan itu menemui jalan buntu sehingga Jenderal Prayuth memutuskan mengambil alih kepemimpinan (kudeta) dan menahan para pihak yang berunding di markas resimen pasukan pengawal Raja. Pemimpin kudeta kemudian membentuk pemerintahan junta, National Council for Peace and Order (NCPO).

Sejurus dengan itu, NCPO menganulir sebagian Konstitusi tahun 2007, memberlakukan jam malam, serta menyensor berita media dan media sosial. Pada 24 Mei 2014, NCPO membubarkan Senat dan House of Representative serta memberikan kekuasaan legislasi kepada badan tersebut. Penahanan berlanjut pada tokoh-tokoh kritis, akademisi, dan pemimpin organisasi massa.

 Akar dari kudeta 2014 (setelah 2006) adalah gejolak politik berkelanjutan akibat reformasi politik pada dua dekade sebelumnya.  Kembalinya rezim pemerintahan sipil sesudah demonstrasi berdarah Mei 1992 memaksa militer mundur dari panggung politik. Politikus sipil yang muncul ternyata justru menghadirkan ”spesies” baru dalam politik Thailand yang menggantikan bureaucratic polity yang selama puluhan tahun bercokol dalam nadi politik Thailand dan mengubah wajah perpolitikan.

Para politikus sipil bertumpu pada basis-basis konstituen dalam jaringan patronase yang dikendalikan orang kuat lokal dengan sokongan pengusaha lokal (Callahan 2005, Prasirtsuk 2007). Praktik perdagangan suara tidak hanya jadi marak, tetapi juga menjadi instrumen sentral dalam pemenangan pemilu.

Wajah politik inilah yang memicu kegusaran para pemerhati politik, akademisi, serta kelas menengah Bangkok. Kegundahan melihat korupsi yang melilit penyelenggaraan pemerintahan, pemburu rente, dan perdagangan suara pada pemilu memicu munculnya desakan reformasi politik. Pemerintahan PM Chuan Leekpai merespons dengan membentuk Democracy Development Committee (DDC) guna menyusun rancangan hebat reformasi tatanan politik Thailand yang diketuai Dr Prawase Wasi.

Rekomendasi dari DDC kemudian diadopsi Constitution Drafting Assembly (DCA) dengan mereformasi sistem politik Thailand yang bertujuan memastikan mekanisme check and balance berjalan, menguatkan parpol, menghilangkan dominasi birokrasi (termasuk militer), dan mengamputasi praktik korupsi yang dituangkan pada ”Konstitusi Rakyat” 1997.

Thaksin Shinawatra justru tampil dalam sistem politik hasil reforma politik. Paket kebijakan politik-ekonomi rezim Thaksin bercirikan program populis dengan sasaran utama rakyat di pedesaan, di antaranya pengobatan murah (30 bath), penghapusan utang para petani, dan dana pembangunan pedesaan (1 juta bath per desa). Upaya reformasi melalui perubahan tatanan politik Thailand tanpa disadari justru melahirkan rezim politik ”baru” yang berujung pada konflik politik berkepanjangan.

Para arsitek reformasi politik Thailand sepertinya terperenyak saat menyadari upaya mereka menghilangkan korupsi dan politik uang tidak hanya membuat praktik penyimpangan ini beralih wujud (Callahan 2005, Prasirtsuk 2007), tetapi juga—yang terpenting— munculnya rezim politik baru yang sangat kuat dan mengakar pada fondasi sosial-politik-ekonomi.

Thailandisasi?

Kisruh politik Thailand sejatinya manifestasi dari perebutan kekuasaan antarkelompok elite dan kelompok warga kebanyakan. Komponen Kaus Kuning terdiri dari aliansi monarki, militer, birokrasi, pengusaha, dan kelas menengah Bangkok merasa peran politik mereka terpinggirkan setelah pemberlakuan Konstitusi Rakyat 1997.

Sementara itu, pendukung Kaus Merah sebagai populasi terbesar menganggap pemerintahan Thaksin memperhatikan kebutuhan mereka. Menurut Jim Grossman, pakar Thailand, rumusan politik Thaksin sederhana: ”ia mendengarkan suara rakyat dan memberikan apa yang mereka butuhkan”. 

Perkembangan pilpres kali ini juga membuat polarisasi dua kutub yang tajam di Indonesia. Kedua kubu memiliki pendukung yang fanatik dan jumlahnya berimbang. Polarisasi ini kemungkinan besar akan bertahan setelah Pilpres 9 Juli lalu. Sebenarnya sampai taraf tertentu, polarisasi, terutama yang didasari ideologi dan platform politik yang jelas, dapat membawa dampak positif bagi demokrasi di Indonesia. Pasangan calon yang tidak terpilih beserta koalisi pendukungnya akan menjadi penyeimbang bagi pemerintahan baru. Dengan terpolarisasinya kekuatan politik pada dua kubu, akan ada yang menjadi oposisi.

Yang perlu dijaga ialah hasil pilpres tak memicu konflik politik seperti terjadi di Thailand. Perseteruan politik berkepanjangan tidak hanya akan membuat demokratisasi stagnan dan, jika memicu konflik ataupun kisruh, akan membuka jalan bagi munculnya kelompok yang mungkin menggunakan tangan besi demi menciptakan kestabilan. Kekhawatiran akan munculnya rezim otoriter akibat perseteruan politik antardua kubu dapat dipahami. Akan tetapi, selama salah satu kelompok tak tergiur mengubah konstitusi yang telah memberikan rambu-rambu yang tegas untuk pembatasan masa jabatan, desentralisasi, sistem pemilu yang terbuka, jaminan berkumpul, dan berserikat, polarisasi antarkubu pemerintah dan oposisi niscaya akan membawa dampak positif bagi demokrasi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar