Pilpres
Satu Putaran
Janedjri M Gaffar ;
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 07 Juli 2014
Polemik apakah Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)
2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon perlu dilakukan hingga dua putaran
atau cukup satu putaran telah terjawab.
Melalui Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014, MK menyatakan ketentuan Pasal
159 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai
tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya
terdiri dari dua pasangan calon.
Menurut MK, ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU 42 Tahun 2008 harus
dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden. Dengan kata lain, ketentuan keterpilihan dengan sedikitnya 20%
suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi
di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A ayat (3) hanya
berlaku dalam hal pilpres diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon.
Walaupun sangat kecil, kemungkinan pilpres menghasilkan pasangan calon yang
memperoleh suara lebih dari 50% tapi tidak memenuhi syarat sedikitnya 20%
suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi
tetap ada. Kemungkinan itu tentu harus diantisipasi sebelum terjadi.
Putusan MK telah memberikan kepastian bagi semua pihak, utamanya kedua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga segala kemungkinan dapat
dipersiapkan sejak awal, termasuk menyiapkan mental dan mengondisikan para
pendukung jika nantinya tidak terpilih pada 9 Juli nanti.
Legitimasi
dan Syarat Keterpilihan
Ketentuan syarat keterpilihan dimaksudkan agar presiden dan wakil
presiden terpilih nanti memiliki legitimasi yang kuat. Presiden dan wakil
presiden harus merupakan pilihan mayoritas pemilih yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Karena itu, syaratnya adalah mayoritas mutlak, lebih dari
50%, bukan mayoritas sederhana.
Selain itu juga ditambahkan syarat sedikitnya 20% suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi. Tentu saja,
untuk memperoleh presiden dan wakil presiden terpilih yang memiliki
legitimasi kuat sebenarnya tidak perlu ditentukan harus memenuhi syarat di
atas. MK dalam pertimbangan hukum putusan menyatakan bahwa aspek legitimasi
tetap terpenuhi walaupun tidak memenuhi syarat sedikitnya 20% suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi.
Legitimasi itu berasal dari kekuatan partai politik atau gabungan
partai politik yang menjadi pengusung pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Dengan hanya dua pasangan calon, tentu masing-masing akan diajukan
atau didukung oleh sejumlah partai politik yang memiliki basis dukungan di
seluruh wilayah Indonesia.
Menafsir
Konstitusi
Pada perkara ini, fungsi MK menafsir konstitusi terlihat sangat jelas.
Hal ini karena UU yang sedang diuji tidak memiliki perbedaan dengan ketentuan
UUD 1945. Dalam Putusan ini, MK berangkat dari dalil bahwa fungsi UU adalah
melaksanakan ketentuan UUD 1945. Hal ini juga berarti bahwa jika tidak
terdapat kejelasan atau terdapat persoalan dalam UUD, harus diselesaikan oleh
UU.
Dalam perkara ini, UU Pilpres ternyata juga tidak menyelesaikan
persoalan ataupun memberi kejelasan ketentuan dalam UUD 1945. Karena itu,
wewenang pengujian UU merupakan mekanisme konstitusional yang disediakan
secara hukum untuk menafsirkan ketentuan UUD 1945. Putusan ini sesungguhnya
lebih merupakan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 6A UUD 1945.
Untuk menafsirkan konstitusi, ada berbagai metode yang dapat digunakan.
Dalam putusan ini, MK setidaknya menggunakan tiga metode penafsiran. Pertama,
adalah metode penafsiran sejarah dengan memeriksa proses perumusan ketentuan
Pasal 6A UUD 1945. Kedua, metode penafsiran gramatikal dan sistematis
antarayat di dalam Pasal 6A UUD 1945. Ketiga, metode penafsiran kontekstual
dalam penerapan ketentuan in-concreto .
Melalui pendekatan sejarah diketahui bahwa saat pembahasan Pasal 6A UUD
1945, walaupun yang diidealkan pilpres diikuti dua pasangan calon, tetapi
yang dijadikan sebagai asumsi pembentukan aturan adalah pilpres akan diikuti
oleh banyak pasangan calon. Melalui pendekatan gramatikal dan sistematis,
dipertimbangkan hubungan antara ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4).
Ayat 4 yang menyatakan, ”Dalam
hal tidak ada pasangan calon yang menjadi calon presiden dan wakil presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan
kedua...” menjadi kunci pemahaman bahwa ketentuan sebelumnya, yaitu pada
ayat (3), hanya berlaku pada saat terdapat lebih dari dua pasangan calon.
Melalui pendekatan kontekstual, putusan ini dapat diposisikan sebagai
salah satu bentuk penafsiran in-concreto , yaitu dihadapkan pada suatu
peristiwa yang akan segera terjadi. UUD tidak semata-mata hanya yang tertulis
dalam teks, tetapi juga termasuk semangat yang ada di balik teks yaitu
konteks kelahiran serta konteks penerapannya dalam penyelenggaraan negara
untuk mencapai tujuan bernegara. Melalui penafsiran dalam putusan MK inilah
UUD 1945 menjadi konstitusi yang hidup dan dapat menjawab setiap persoalan
kenegaraan yang timbul.
Pilpres
Satu Putaran
Putusan ini bersifat erga omnes, berlaku umum dan mengikat semua.
Artinya, pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil
presiden cukup dilakukan dalam satu putaran dengan ketentuan keterpilihan
berdasarkan perolehan suara lebih dari 50% tidak hanya berlaku pada Pilpres
2014, tetapi berlaku untuk seluruh pilpres di masa yang akan datang. Hal ini
tentu memerlukan pengaturan lebih lanjut agar lebih memberikan kepastian.
Keberadaan dua pasangan calon pada Pilpres 2014 ini patut disyukuri
karena sebenarnya inilah yang ideal. Secara teoretis dua pasangan calon
berkesesuaian dengan sistem pemerintahan presidensial, serta menjadikan
pasangan calon terpilih akan memiliki legitimasi yang kuat. Keberadaan dua
pasangan calon ini juga selaras dengan upaya penyederhanaan partai politik,
termasuk yang dituju oleh ketentuan bahwa pasangan calon presiden dan wakil
presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Salah satu dampak keberadaan dua pasangan calon untuk pertama kalinya
adalah ketegangan politik yang tinggi karena posisi yang saling berhadapan.
Walaupun ketegangan politik adalah hal yang wajar, namun kerawanan berubah
menjadi konflik harus selalu diwaspadai. Ini tugas semua pihak.
Kedua pasangan calon harus sejak awal mengondisikan para pendukungnya
untuk siap menerima kekalahan ataupun kemenangan. Penyelenggara Pemilu dan
semua lembaga terkait dengan penyelenggaraan Pemilu pun harus benar-benar
melaksanakan dan mengawal Pemilu sesuai dengan prinsip luber dan jurdil serta
sesuai dengan aturan yang berlaku.
Persoalan hukum harus segera diselesaikan dan pelanggaran harus
ditindak. Dengan demikian pada 9 Juli 2014 nanti pilpres sebagai elemen kunci
demokrasi dapat dilaksanakan secara adil, terhormat, dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar