Selasa, 08 Juli 2014

Pilpres Satu Putaran

                                                Pilpres Satu Putaran

Janedjri M Gaffar  ;   Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro, Semarang
KORAN SINDO,  07 Juli 2014
                                                


Polemik apakah Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon perlu dilakukan hingga dua putaran atau cukup satu putaran telah terjawab.

Melalui Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014, MK menyatakan ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon.

Menurut MK, ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU 42 Tahun 2008 harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kata lain, ketentuan keterpilihan dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A ayat (3) hanya berlaku dalam hal pilpres diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon.

Walaupun sangat kecil, kemungkinan pilpres menghasilkan pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% tapi tidak memenuhi syarat sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi tetap ada. Kemungkinan itu tentu harus diantisipasi sebelum terjadi.

Putusan MK telah memberikan kepastian bagi semua pihak, utamanya kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga segala kemungkinan dapat dipersiapkan sejak awal, termasuk menyiapkan mental dan mengondisikan para pendukung jika nantinya tidak terpilih pada 9 Juli nanti.

Legitimasi dan Syarat Keterpilihan

Ketentuan syarat keterpilihan dimaksudkan agar presiden dan wakil presiden terpilih nanti memiliki legitimasi yang kuat. Presiden dan wakil presiden harus merupakan pilihan mayoritas pemilih yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Karena itu, syaratnya adalah mayoritas mutlak, lebih dari 50%, bukan mayoritas sederhana.

Selain itu juga ditambahkan syarat sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi. Tentu saja, untuk memperoleh presiden dan wakil presiden terpilih yang memiliki legitimasi kuat sebenarnya tidak perlu ditentukan harus memenuhi syarat di atas. MK dalam pertimbangan hukum putusan menyatakan bahwa aspek legitimasi tetap terpenuhi walaupun tidak memenuhi syarat sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi.

Legitimasi itu berasal dari kekuatan partai politik atau gabungan partai politik yang menjadi pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan hanya dua pasangan calon, tentu masing-masing akan diajukan atau didukung oleh sejumlah partai politik yang memiliki basis dukungan di seluruh wilayah Indonesia.

Menafsir Konstitusi

Pada perkara ini, fungsi MK menafsir konstitusi terlihat sangat jelas. Hal ini karena UU yang sedang diuji tidak memiliki perbedaan dengan ketentuan UUD 1945. Dalam Putusan ini, MK berangkat dari dalil bahwa fungsi UU adalah melaksanakan ketentuan UUD 1945. Hal ini juga berarti bahwa jika tidak terdapat kejelasan atau terdapat persoalan dalam UUD, harus diselesaikan oleh UU.

Dalam perkara ini, UU Pilpres ternyata juga tidak menyelesaikan persoalan ataupun memberi kejelasan ketentuan dalam UUD 1945. Karena itu, wewenang pengujian UU merupakan mekanisme konstitusional yang disediakan secara hukum untuk menafsirkan ketentuan UUD 1945. Putusan ini sesungguhnya lebih merupakan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 6A UUD 1945.

Untuk menafsirkan konstitusi, ada berbagai metode yang dapat digunakan. Dalam putusan ini, MK setidaknya menggunakan tiga metode penafsiran. Pertama, adalah metode penafsiran sejarah dengan memeriksa proses perumusan ketentuan Pasal 6A UUD 1945. Kedua, metode penafsiran gramatikal dan sistematis antarayat di dalam Pasal 6A UUD 1945. Ketiga, metode penafsiran kontekstual dalam penerapan ketentuan in-concreto .

Melalui pendekatan sejarah diketahui bahwa saat pembahasan Pasal 6A UUD 1945, walaupun yang diidealkan pilpres diikuti dua pasangan calon, tetapi yang dijadikan sebagai asumsi pembentukan aturan adalah pilpres akan diikuti oleh banyak pasangan calon. Melalui pendekatan gramatikal dan sistematis, dipertimbangkan hubungan antara ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4).

Ayat 4 yang menyatakan, ”Dalam hal tidak ada pasangan calon yang menjadi calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua...” menjadi kunci pemahaman bahwa ketentuan sebelumnya, yaitu pada ayat (3), hanya berlaku pada saat terdapat lebih dari dua pasangan calon.

Melalui pendekatan kontekstual, putusan ini dapat diposisikan sebagai salah satu bentuk penafsiran in-concreto , yaitu dihadapkan pada suatu peristiwa yang akan segera terjadi. UUD tidak semata-mata hanya yang tertulis dalam teks, tetapi juga termasuk semangat yang ada di balik teks yaitu konteks kelahiran serta konteks penerapannya dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan bernegara. Melalui penafsiran dalam putusan MK inilah UUD 1945 menjadi konstitusi yang hidup dan dapat menjawab setiap persoalan kenegaraan yang timbul.

Pilpres Satu Putaran

Putusan ini bersifat erga omnes, berlaku umum dan mengikat semua. Artinya, pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden cukup dilakukan dalam satu putaran dengan ketentuan keterpilihan berdasarkan perolehan suara lebih dari 50% tidak hanya berlaku pada Pilpres 2014, tetapi berlaku untuk seluruh pilpres di masa yang akan datang. Hal ini tentu memerlukan pengaturan lebih lanjut agar lebih memberikan kepastian.

Keberadaan dua pasangan calon pada Pilpres 2014 ini patut disyukuri karena sebenarnya inilah yang ideal. Secara teoretis dua pasangan calon berkesesuaian dengan sistem pemerintahan presidensial, serta menjadikan pasangan calon terpilih akan memiliki legitimasi yang kuat. Keberadaan dua pasangan calon ini juga selaras dengan upaya penyederhanaan partai politik, termasuk yang dituju oleh ketentuan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Salah satu dampak keberadaan dua pasangan calon untuk pertama kalinya adalah ketegangan politik yang tinggi karena posisi yang saling berhadapan. Walaupun ketegangan politik adalah hal yang wajar, namun kerawanan berubah menjadi konflik harus selalu diwaspadai. Ini tugas semua pihak.

Kedua pasangan calon harus sejak awal mengondisikan para pendukungnya untuk siap menerima kekalahan ataupun kemenangan. Penyelenggara Pemilu dan semua lembaga terkait dengan penyelenggaraan Pemilu pun harus benar-benar melaksanakan dan mengawal Pemilu sesuai dengan prinsip luber dan jurdil serta sesuai dengan aturan yang berlaku.

Persoalan hukum harus segera diselesaikan dan pelanggaran harus ditindak. Dengan demikian pada 9 Juli 2014 nanti pilpres sebagai elemen kunci demokrasi dapat dilaksanakan secara adil, terhormat, dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar