Masa
(Tidak) Tenang
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 07 Juli 2014
Masa kampanye calon presiden dan calon wakil presiden sudah berakhir.
Sebulan masa kampanye, sejak Rabu (4/6) hingga Sabtu (5/7), memanaskan suhu
politik nasional.
Beragam cara telah dilakukan banyak kalangan yang menginginkan calonnya
berjaya pada 9 Juli mendatang. Nyaris tak ada ruang tersisa dari jamahan
persuasi, agitasi, hingga propaganda tim pemenangan dan relawan dua kandidat.
Kini saatnya menurunkan titik didih politik kita dan bersiap menentukan
secara dewasa dan bertanggung jawab atas pilihan kita di bilik suara.
Keadaban
Politik
Masa tenang semestinya dimaknai dalam dua konteks. Pertama, menjadi
prakondisi bagi pihak-pihak yang bertarung, terutama para kandidat untuk
cooling down. Jalan panjang upaya mereka dengan segenap kemampuan fisik-material
maupun mental tentu harus dimaknai sebagai ikhtiar maksimal dari laku politik
mereka sebagai ”para petarung sejati”.
Bagaimanapun mengonsolidasikan kekuatan di seantero negeri dan
memasarkan diri di tengah tekanan, hujatan, cacian, cemoohan, bahkan
kerapkali fitnah hanya akan bisa dilalui oleh mereka yang memiliki kekuatan
luar biasa. Dalam konteks inilah seluruh bangsa ini harus mengapresiasi apa
yang telah dilakukan dua pasang kandidat yang telah mengoptimalkan daya dan
upaya mereka.
Tentu, hasil akhir masih akan ditentukan oleh pilihan rakyat sebagai
hakikat demokrasi. Rakyatlah yang memberi modal kedaulatan dan legitimasi
kekuasaan bagi siapa pun pemimpin nasional kita lima tahun ke depan.
Prakondisi ini penting bagi kandidat mengingat pertarungan selalu menyisakan
hanya satu pemenang.
Karena itu, butuh kedewasaan, kejernihan pikiran, dan kemampuan
mengendalikan diri dan pendukung saat salah satu kandidat belum didaulat
sebagai pemenang usai pencoblosan. Kedua, konteks untuk para pendukung, pengagum,
fans club, relawan, tim sukses, atau apa pun namanya agar memahami dan
menyadari bahwa sejatinya demokrasi telah mengamanahi kita untuk menghormati
keberbedaan.
Tak dimungkiri, sejak proses tahapan pemilu bergulir mulai dari pemilu
legislatif hingga pilpres, masyarakat terpolarisasi. Fragmentasi kekuatan
begitu kentara dan kerap menghadirkan fenomena hubungan antagonistis di
antara para pendukung dari kubu berbeda. Tak disangkal bahwa salah satu
konsekuensi demokrasi adalah kompetisi.
Tetapi, kompetisi yang sehat harus menghadirkan daya tahan para
pelakunya untuk tidak terjebak pada anarkisme dan pragmatisme saat menggapai
kemenangan dengan menihilkan aturan, etika, dan keadaban publik. Pilpres kali
ini memang lebih gegap gempita dan cenderung panas mengingat semakin
komplitnya saluran komunikasi politik yang digunakan.
Selain saluran konvensional yang biasa dipakai yakni jejaring hubungan
antarpersonal, organisasi, struktur sosial tradisional, media massa juga
saluran persuasi modern yang berbasis media sosial. Beragam media sosial
terutama Twitter dan Facebook menjadi medan pertempuran yang luar biasa di
antara para pendukung.
Generasi web 2.0 yang interaktif, multimedia, dan memosisikan para
pengguna internet bukan semata konsumen informasi, melainkan juga produsen
berita, perang informasi pun tak terelakan lagi. Secara kasatmata kita
melihat beragam pertukaran informasi di media sosial bahkan di media arus
utama yang tak lagi sehat, bahkan cenderung mengalami paradoks dengan hakikat
demokrasi itu sendiri. Kampanye hitam berseliweran dan dipertukarkan tanpa
merasa bersalah. Inilah sisi kelam pertarungan merengkuh dukungan sekaligus
mendelegitimasi pihak lawan.
Jeda
Pertarungan
Pemilu memang belum usai meski sudah memasuki putaran akhir. Masa
tenang bisa kita digunakan sebagai jeda pertarungan jelang pencoblosan.
Serangkaian proses memenangkan kandidat tentu saja masih akan dilakukan oleh
kubu masing-masing.
Jeda masa tenang ini harus menjadi moratorium konflik, hujatan,
agitasi, sekaligus tembok pembatas yang jelas untuk menghentikan beragam
bentuk kampanye mulai dari positif, negatif, hingga kampanye hitam. Paling
tidak ada tiga pihak yang harus diingatkan agar masa tenang tidak berubah
menjadi masa tidak tenang! Pertama, posisi media massa terutama media arus
utama, lebihlebih televisi yang kerap menghadirkan terpaan luar biasa di
masyarakat.
Memang tak terelakan bahwa posisi media di mana pun memiliki kekuatan
yang signifikan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi
seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman yang mengatakan seluruh isi media
sebagai realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality).
Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah ”cerita”
(Tuchman, 1980). Jhon Sinclair dkk
dalam bukunya, New Patterns in Global
Television: Peripheral Vision (1996), pernah mengingatkan bahwa televisi
merupakan medium cangkokan yang megah. Karena wataknya sebagai media
cangkokan, televisi termasuk juga media arus utama lain harus hati-hati
membawakan diri jangan sampai tampilan vulgar media menjadi instrumental
conditioning sejumlah prilaku tak patut yang ditiru masyarakat.
Dalam teori reinformant
imitasi dari Miller dan Dollard, seseorang bisa belajar menyamai tindakan
orang lain terlebih saat ada instrumen yang mengondisikan prilaku imitasi
mereka seperti media massa misalnya. Berita provokatif dan insuniatif yang
terus dikembangkan media massa bisa memancing kebencian antarpendukung
kandidat dan memicu konflik menjadi aktual.
Selama masa tenang seharusnya media yang menjadi pendukung kandidat mau
dan mampu menahan diri untuk menghormati masa tenang. Kedua, para elite yang
berada di lingkaran utama kandidat maupun di atmosfernya. Terutama, mereka
yang kerap menjadi bahan berita media. Selama masa tenang seyogianya mereka
mengembangkan respek dan saling menghormati dengan tidak menyengajakan diri
terlibat dalam agresivitas verbal dan tindakan.
Kelompok elite ini biasanya menjadi role
model sekaligus stimulan positif maupun negatif bagi khalayak akar
rumput. Jangan karena syahwat politik atau kepanikan dalam membaca peta
dukungan, terus-menerus mengembangkan komunikasi kebencian.
Ketiga, masyarakat yang menjadi pendukung, relawan, ataupun simpatisan.
Masa tenang harus menjadi momentum refleksi atas beragam tindakan dukungan
yang selama ini telah diekspresikan. Rasionalitas tetap harus dikedepankan di
tengah situasi penuh tekanan.
Tak salah jika berasumsi banyak cara menuju Istana, tetapi tentu
caracara tersebut harus tunduk pada aturan main dan menghormati keadaban
publik. Pendukung harus melek politik hingga ekspresi dukungannya tidak
membahayakan dirinya dan demokrasi itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar