Selasa, 08 Juli 2014

Masa (Tidak) Tenang

                                               Masa (Tidak) Tenang

Gun Gun Heryanto  ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
KORAN SINDO,  07 Juli 2014
                                                


Masa kampanye calon presiden dan calon wakil presiden sudah berakhir. Sebulan masa kampanye, sejak Rabu (4/6) hingga Sabtu (5/7), memanaskan suhu politik nasional.

Beragam cara telah dilakukan banyak kalangan yang menginginkan calonnya berjaya pada 9 Juli mendatang. Nyaris tak ada ruang tersisa dari jamahan persuasi, agitasi, hingga propaganda tim pemenangan dan relawan dua kandidat. Kini saatnya menurunkan titik didih politik kita dan bersiap menentukan secara dewasa dan bertanggung jawab atas pilihan kita di bilik suara.

Keadaban Politik

Masa tenang semestinya dimaknai dalam dua konteks. Pertama, menjadi prakondisi bagi pihak-pihak yang bertarung, terutama para kandidat untuk cooling down. Jalan panjang upaya mereka dengan segenap kemampuan fisik-material maupun mental tentu harus dimaknai sebagai ikhtiar maksimal dari laku politik mereka sebagai ”para petarung sejati”.

Bagaimanapun mengonsolidasikan kekuatan di seantero negeri dan memasarkan diri di tengah tekanan, hujatan, cacian, cemoohan, bahkan kerapkali fitnah hanya akan bisa dilalui oleh mereka yang memiliki kekuatan luar biasa. Dalam konteks inilah seluruh bangsa ini harus mengapresiasi apa yang telah dilakukan dua pasang kandidat yang telah mengoptimalkan daya dan upaya mereka.

Tentu, hasil akhir masih akan ditentukan oleh pilihan rakyat sebagai hakikat demokrasi. Rakyatlah yang memberi modal kedaulatan dan legitimasi kekuasaan bagi siapa pun pemimpin nasional kita lima tahun ke depan. Prakondisi ini penting bagi kandidat mengingat pertarungan selalu menyisakan hanya satu pemenang.

Karena itu, butuh kedewasaan, kejernihan pikiran, dan kemampuan mengendalikan diri dan pendukung saat salah satu kandidat belum didaulat sebagai pemenang usai pencoblosan. Kedua, konteks untuk para pendukung, pengagum, fans club, relawan, tim sukses, atau apa pun namanya agar memahami dan menyadari bahwa sejatinya demokrasi telah mengamanahi kita untuk menghormati keberbedaan.

Tak dimungkiri, sejak proses tahapan pemilu bergulir mulai dari pemilu legislatif hingga pilpres, masyarakat terpolarisasi. Fragmentasi kekuatan begitu kentara dan kerap menghadirkan fenomena hubungan antagonistis di antara para pendukung dari kubu berbeda. Tak disangkal bahwa salah satu konsekuensi demokrasi adalah kompetisi.

Tetapi, kompetisi yang sehat harus menghadirkan daya tahan para pelakunya untuk tidak terjebak pada anarkisme dan pragmatisme saat menggapai kemenangan dengan menihilkan aturan, etika, dan keadaban publik. Pilpres kali ini memang lebih gegap gempita dan cenderung panas mengingat semakin komplitnya saluran komunikasi politik yang digunakan.

Selain saluran konvensional yang biasa dipakai yakni jejaring hubungan antarpersonal, organisasi, struktur sosial tradisional, media massa juga saluran persuasi modern yang berbasis media sosial. Beragam media sosial terutama Twitter dan Facebook menjadi medan pertempuran yang luar biasa di antara para pendukung.

Generasi web 2.0 yang interaktif, multimedia, dan memosisikan para pengguna internet bukan semata konsumen informasi, melainkan juga produsen berita, perang informasi pun tak terelakan lagi. Secara kasatmata kita melihat beragam pertukaran informasi di media sosial bahkan di media arus utama yang tak lagi sehat, bahkan cenderung mengalami paradoks dengan hakikat demokrasi itu sendiri. Kampanye hitam berseliweran dan dipertukarkan tanpa merasa bersalah. Inilah sisi kelam pertarungan merengkuh dukungan sekaligus mendelegitimasi pihak lawan.

Jeda Pertarungan

Pemilu memang belum usai meski sudah memasuki putaran akhir. Masa tenang bisa kita digunakan sebagai jeda pertarungan jelang pencoblosan. Serangkaian proses memenangkan kandidat tentu saja masih akan dilakukan oleh kubu masing-masing.

Jeda masa tenang ini harus menjadi moratorium konflik, hujatan, agitasi, sekaligus tembok pembatas yang jelas untuk menghentikan beragam bentuk kampanye mulai dari positif, negatif, hingga kampanye hitam. Paling tidak ada tiga pihak yang harus diingatkan agar masa tenang tidak berubah menjadi masa tidak tenang! Pertama, posisi media massa terutama media arus utama, lebihlebih televisi yang kerap menghadirkan terpaan luar biasa di masyarakat.

Memang tak terelakan bahwa posisi media di mana pun memiliki kekuatan yang signifikan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality).

Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah ”cerita” (Tuchman, 1980). Jhon Sinclair dkk dalam bukunya, New Patterns in Global Television: Peripheral Vision (1996), pernah mengingatkan bahwa televisi merupakan medium cangkokan yang megah. Karena wataknya sebagai media cangkokan, televisi termasuk juga media arus utama lain harus hati-hati membawakan diri jangan sampai tampilan vulgar media menjadi instrumental conditioning sejumlah prilaku tak patut yang ditiru masyarakat.

Dalam teori reinformant imitasi dari Miller dan Dollard, seseorang bisa belajar menyamai tindakan orang lain terlebih saat ada instrumen yang mengondisikan prilaku imitasi mereka seperti media massa misalnya. Berita provokatif dan insuniatif yang terus dikembangkan media massa bisa memancing kebencian antarpendukung kandidat dan memicu konflik menjadi aktual.

Selama masa tenang seharusnya media yang menjadi pendukung kandidat mau dan mampu menahan diri untuk menghormati masa tenang. Kedua, para elite yang berada di lingkaran utama kandidat maupun di atmosfernya. Terutama, mereka yang kerap menjadi bahan berita media. Selama masa tenang seyogianya mereka mengembangkan respek dan saling menghormati dengan tidak menyengajakan diri terlibat dalam agresivitas verbal dan tindakan.

Kelompok elite ini biasanya menjadi role model sekaligus stimulan positif maupun negatif bagi khalayak akar rumput. Jangan karena syahwat politik atau kepanikan dalam membaca peta dukungan, terus-menerus mengembangkan komunikasi kebencian.

Ketiga, masyarakat yang menjadi pendukung, relawan, ataupun simpatisan. Masa tenang harus menjadi momentum refleksi atas beragam tindakan dukungan yang selama ini telah diekspresikan. Rasionalitas tetap harus dikedepankan di tengah situasi penuh tekanan.

Tak salah jika berasumsi banyak cara menuju Istana, tetapi tentu caracara tersebut harus tunduk pada aturan main dan menghormati keadaban publik. Pendukung harus melek politik hingga ekspresi dukungannya tidak membahayakan dirinya dan demokrasi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar