Kesehatan
Penduduk Daerah Remote
Razali Ritonga ; Direktur Statistik
Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Badan Pusat Statistik
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Juli 2014
MESKI Visi Indonesia Sehat
2010 di Tanah Air telah dicanangkan pada 1999, hingga kini layanan kesehatan
belum menjangkau seluruh masyarakat. Selain karena ketidakmampuan sebagian
masyarakat mengakses layanan kesehatan akibat kemiskinan, belum optimalnya
layanan kesehatan itu juga diakibatkan oleh faktor daerah sulit, terpencil
dan pedalaman (remote areas).
Penduduk Indonesia yang
tersebar di daerah amat luas dan bertempat tinggal di ribuan pulau memang
tidak mudah untuk dijangkau layanan kesehatan. Diperkirakan, sekitar 33,7% penduduk
di Tanah Air mengalami kendala dalam mengakses layanan kesehatan akibat jarak
tempat tinggal yang jauh dari lokasi layanan kesehatan dan mahalnya biaya
yang diperlukan untuk mengunjungi layanan kesehatan
(http://www.bappenas.go.id).
Namun, sepatutnya mereka
tidak dibiarkan dalam kondisi demikian karena mendapatkan pelayanan kesehatan
dasar adalah hak semua warga, dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk
melaksanakannya. Masyarakat, terutama yang selama ini tidak terjangkau
layanan kesehatan, telah lama menantikan kehadiran layanan kesehatan secara
memadai. Tumpuan harapan itu terutama berada di pundak pemimpin yang baru
hasil pilihan rakyat 9 Juli mendatang.
Potential loss
Patut dicatat, tidak ter
penuhinya layanan kesehatan bagi penduduk di daerah remote akan menghambat
dalam mewujudkan kesehatan untuk semua, dan menyulitkan penduduk di daerah
itu meningkatkan kesejahteraan. Dengan derajat kesehatan rendah umumnya
menyebabkan produktivitas rendah sehingga akan mengakibatkan hilangnya
peluang (potential loss) dalam
meningkatkan pendapatan. Pentingnya kesehatan bagi penduduk di daerah remote
itu terutama agar kegiatan mereka tidak terganggu, mengingat penduduk di
daerah remote umumnya bertumpu pada
kondisi fi sik sebagai nelayan, petani, dan pengolah hasil alam.
Boleh jadi, hilangnya
potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah remote turut berkontribusi terhadap
melebarnya kesenjangan pendapatan masyarakat. Tercatat, selama 2008-2012,
kesenjangan pendapatan, yang diukur dengan angka rasio Gini, melebar dari
0,35 pada 2008 menjadi 0,41 pada 2012.
Pada tahap lanjut,
hilangnya potensi itu akan berkontribusi negatif terhadap pencapaian
pembangunan milenium atau MDGs secara nasional, terutama dalam penurunan
angka kemiskinan, angka kematian ibu, bayi, dan balita. Dengan menurunnya
angka kematian itu pada gilirannya akan meningkatkan angka umur harapan hidup
penduduk.
Meningkatnya angka harapan
hidup merupakan indikasi membaiknya derajat kesehatan penduduk, yang dapat
menjadi motor penggerak untuk meningkatkan kualitas penduduk, terutama dalam
soal pendidikan dan daya beli masyarakat. Hal ini pada tahap lanjut akan
meningkatkan capaian pembangunan manusia. Sebab, ketiga dimensi pembangunan
manusia, yaitu kesehatan, pendidikan, dan daya beli, akan bersifat saling
menguatkan (mutually reinforcing).
Jika aspek kesehatan
terabaikan, akan menyebabkan persoalan sistemik dalam pembangunan manusia di
daerah remote. Adapun besarnya potensi yang hilang akibat masalah kesehatan
itu sebesar 20% terhadap pencapaian pembangunan manusia (Grantham-Mc Gregor.et.al, 2007).
Prioritas daerah remote
Maka, sejatinya, siapa pun
yang akan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden pada 9 Juli mendatang
perlu memprioritaskan pembangunan kesehatan. Pertama, pemerintah perlu
konsisten untuk memenuhi UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang
mensyaratkan agar alokasi anggaran sebesar 5% dari anggaran belanja nasional.
Adapun anggaran kesehatan yang dialokasikan selama ini hanya berkisar 2%2,5%
dari belanja nasional.
Kedua, pemerintah perlu
taat asas dalam menyeleng garakan BPJS kesehatan sehingga menjangkau seluruh
penduduk. Pemerintah perlu menyediakan anggaran yang cukup untuk mereka yang
tidak mampu mengiur dalam kepesertaan BPJS. Ketiga, pemerintah perlu
membangun infrastruktur pelayanan kesehatan hingga ke daerah remote.
Disadari, memang ini tidak mudah dilakukan mengingat mahalnya biaya yang
diperlukan. Untuk itu barangkali perlu dilakukan substitusi dengan
memperbanyak, misalnya, mobil layanan kesehatan, perahu, dan kapal rumah
sakit untuk menjangkau daerah remote.
Secara faktual, pemenuhan
layanan kesehatan hingga menjangkau seluruh masyarakat ke daerah remote tidak
semata untuk memenuhi hak setiap warga, tapi juga untuk pemerataan
aksesibilitas yang diberikan pemerintah, seperti halnya subsidi kesehatan.
Diketahui, masyarakat di
daerah remote selama ini tidak dapat menikmati subsidi kesehatan yang
diberikan pemerintah karena sulit mengakses layanan kesehatan.
Bank Dunia (2004)
memperkirakan layanan kesehatan masyarakat lebih banyak dinikmati penduduk
kaya. Berdasarkan studi di 21 negara ditemukan bahwa sekitar 25% anggaran
kesehatan dinikmati oleh 20% penduduk terkaya, sementara 20% penduduk
termiskin hanya menikmati 15% anggaran kesehatan.
Secara faktual, hal itu
sepatutnya dapat menginspirasi pemerintah dalam penyelenggaraan BPJS
kesehatan agar memprioritaskan penduduk di daerah remote. Sebab, jika tidak
dimulai dari daerah remote, dikhawatirkan mereka akan menjadi kelompok
terakhir yang mendapatkan layanan kesehatan (2019).
Diketahui, program BPJS
kesehatan dimulai pada 1 Januari 2014 dan berakhir pada 2019 sehingga
diharapkan seluruhnya tercakup dalam program.
Atas dasar itu, pemerintah
yang baru nantinya diharapkan memiliki komitmen yang tinggi untuk
menyelenggarakan layanan kesehatan bagi semua penduduk. Kita perlu mewaspadai
berbagai jenis penyakit yang berpotensi menyerang masyarakat. Diketahui,
tidak kurang dari 93% penduduk di negara-negara berkembang saat ini
menanggung beban penyakit global (Jutling,
Innovations Ensuring the Poor, 2009). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar