Sabtu, 05 Juli 2014

Kesehatan Penduduk Daerah Remote

                        Kesehatan Penduduk Daerah Remote

Razali Ritonga ;   Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Badan Pusat Statistik
MEDIA INDONESIA,  03 Juli 2014
                                                


MESKI Visi Indonesia Sehat 2010 di Tanah Air telah dicanangkan pada 1999, hingga kini layanan kesehatan belum menjangkau seluruh masyarakat. Selain karena ketidakmampuan sebagian masyarakat mengakses layanan kesehatan akibat kemiskinan, belum optimalnya layanan kesehatan itu juga diakibatkan oleh faktor daerah sulit, terpencil dan pedalaman (remote areas).

Penduduk Indonesia yang tersebar di daerah amat luas dan bertempat tinggal di ribuan pulau memang tidak mudah untuk dijangkau layanan kesehatan. Diperkirakan, sekitar 33,7% penduduk di Tanah Air mengalami kendala dalam mengakses layanan kesehatan akibat jarak tempat tinggal yang jauh dari lokasi layanan kesehatan dan mahalnya biaya yang diperlukan untuk mengunjungi layanan kesehatan (http://www.bappenas.go.id).

Namun, sepatutnya mereka tidak dibiarkan dalam kondisi demikian karena mendapatkan pelayanan kesehatan dasar adalah hak semua warga, dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melaksanakannya. Masyarakat, terutama yang selama ini tidak terjangkau layanan kesehatan, telah lama menantikan kehadiran layanan kesehatan secara memadai. Tumpuan harapan itu terutama berada di pundak pemimpin yang baru hasil pilihan rakyat 9 Juli mendatang.

Potential loss

Patut dicatat, tidak ter penuhinya layanan kesehatan bagi penduduk di daerah remote akan menghambat dalam mewujudkan kesehatan untuk semua, dan menyulitkan penduduk di daerah itu meningkatkan kesejahteraan. Dengan derajat kesehatan rendah umumnya menyebabkan produktivitas rendah sehingga akan mengakibatkan hilangnya peluang (potential loss) dalam meningkatkan pendapatan. Pentingnya kesehatan bagi penduduk di daerah remote itu terutama agar kegiatan mereka tidak terganggu, mengingat penduduk di daerah remote umumnya bertumpu pada kondisi fi sik sebagai nelayan, petani, dan pengolah hasil alam.

Boleh jadi, hilangnya potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah remote turut berkontribusi terhadap melebarnya kesenjangan pendapatan masyarakat. Tercatat, selama 2008-2012, kesenjangan pendapatan, yang diukur dengan angka rasio Gini, melebar dari 0,35 pada 2008 menjadi 0,41 pada 2012.

Pada tahap lanjut, hilangnya potensi itu akan berkontribusi negatif terhadap pencapaian pembangunan milenium atau MDGs secara nasional, terutama dalam penurunan angka kemiskinan, angka kematian ibu, bayi, dan balita. Dengan menurunnya angka kematian itu pada gilirannya akan meningkatkan angka umur harapan hidup penduduk.

Meningkatnya angka harapan hidup merupakan indikasi membaiknya derajat kesehatan penduduk, yang dapat menjadi motor penggerak untuk meningkatkan kualitas penduduk, terutama dalam soal pendidikan dan daya beli masyarakat. Hal ini pada tahap lanjut akan meningkatkan capaian pembangunan manusia. Sebab, ketiga dimensi pembangunan manusia, yaitu kesehatan, pendidikan, dan daya beli, akan bersifat saling menguatkan (mutually reinforcing).

Jika aspek kesehatan terabaikan, akan menyebabkan persoalan sistemik dalam pembangunan manusia di daerah remote. Adapun besarnya potensi yang hilang akibat masalah kesehatan itu sebesar 20% terhadap pencapaian pembangunan manusia (Grantham-Mc Gregor.et.al, 2007).

Prioritas daerah remote

Maka, sejatinya, siapa pun yang akan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden pada 9 Juli mendatang perlu memprioritaskan pembangunan kesehatan. Pertama, pemerintah perlu konsisten untuk memenuhi UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mensyaratkan agar alokasi anggaran sebesar 5% dari anggaran belanja nasional. Adapun anggaran kesehatan yang dialokasikan selama ini hanya berkisar 2%2,5% dari belanja nasional.

Kedua, pemerintah perlu taat asas dalam menyeleng garakan BPJS kesehatan sehingga menjangkau seluruh penduduk. Pemerintah perlu menyediakan anggaran yang cukup untuk mereka yang tidak mampu mengiur dalam kepesertaan BPJS. Ketiga, pemerintah perlu membangun infrastruktur pelayanan kesehatan hingga ke daerah remote. Disadari, memang ini tidak mudah dilakukan mengingat mahalnya biaya yang diperlukan. Untuk itu barangkali perlu dilakukan substitusi dengan memperbanyak, misalnya, mobil layanan kesehatan, perahu, dan kapal rumah sakit untuk menjangkau daerah remote.

Secara faktual, pemenuhan layanan kesehatan hingga menjangkau seluruh masyarakat ke daerah remote tidak semata untuk memenuhi hak setiap warga, tapi juga untuk pemerataan aksesibilitas yang diberikan pemerintah, seperti halnya subsidi kesehatan.

Diketahui, masyarakat di daerah remote selama ini tidak dapat menikmati subsidi kesehatan yang diberikan pemerintah karena sulit mengakses layanan kesehatan.
Bank Dunia (2004) memperkirakan layanan kesehatan masyarakat lebih banyak dinikmati penduduk kaya. Berdasarkan studi di 21 negara ditemukan bahwa sekitar 25% anggaran kesehatan dinikmati oleh 20% penduduk terkaya, sementara 20% penduduk termiskin hanya menikmati 15% anggaran kesehatan.

Secara faktual, hal itu sepatutnya dapat menginspirasi pemerintah dalam penyelenggaraan BPJS kesehatan agar memprioritaskan penduduk di daerah remote. Sebab, jika tidak dimulai dari daerah remote, dikhawatirkan mereka akan menjadi kelompok terakhir yang mendapatkan layanan kesehatan (2019). 

Diketahui, program BPJS kesehatan dimulai pada 1 Januari 2014 dan berakhir pada 2019 sehingga diharapkan seluruhnya tercakup dalam program.
Atas dasar itu, pemerintah yang baru nantinya diharapkan memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelenggarakan layanan kesehatan bagi semua penduduk. Kita perlu mewaspadai berbagai jenis penyakit yang berpotensi menyerang masyarakat. Diketahui, tidak kurang dari 93% penduduk di negara-negara berkembang saat ini menanggung beban penyakit global (Jutling, Innovations Ensuring the Poor, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar