Pesantren dan
Kesadaran Kritis Kaum Santri
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Juli 2014
SAYA
kira ada kecemburuan dan `kecolongan' luar biasa dari Fahri Hamzah dengan
koalisi merah putih yang belum tentu bersih itu terhadap gagasan hari santri
nasional yang diamini Joko Widodo. Jika tak ada perasaan cemburu, mana
mungkin Fahri Hamzah menggunakan kata `sinting' dalam mengomentari rencana
tersebut. Keruan saja kehebohan muncul karena tak sedikit santri dan
pesantren yang marah terhadap tweet-nya
Fahri meskipun, menurutnya, secara bahasa ia tak bermaksud menyebut santri
sebagai sinting!
Momentum
hari santri nasional saya perkirakan akan menjadi momentum bangkitnya
kesadaran kritis para santri yang selama ini seperti tertidur. Itu akan
menjadi tradisi yang baik (al-muhafazah
'ala al-qadim al-salih), terutama sebagai penghargaan kita terhadap upaya
yang telah dilakukan para kiai di seluruh negeri untuk mempertahankan tradisi
(pendidikan) Islam yang baik. Namun, menurut hemat saya, mempertahankan
tradisi yang baik saja belumlah cukup tanpa ada kemampuan menganalisis
kondisi aktual saat ini. Tradisi yang baik tetapi beku tentu bukan merupakan
solusi yang menjanjikan bagi masa depan pendidikan Islam di pondok pesantren.
Karena
itu, diperlukan keberanian dan terobosan yang inovatif dari lingkungan pondok
pesantren, terutama mengenai posisi pondok pesantren dalam mempertahankan dan
menjaga keutuhan NKRI. Harus ada semacam keberanian untuk keluar dari
‘tradisi’ yang seolah-olah tak bisa ditafsirkan kembali ke dalam konteks
kekinian. Itulah sebabnya mengapa penerjemahan tradisi (pendidikan) Islam ke
arah dan agar menjadi sesuatu yang baharu dan memberi harapan (al-akhdz bi al-jadid al-aslah) sangat
diperlukan, termasuk dari para tokoh di lingkungan pondok pesantren.
Bagi
tradisi pendidikan pesantren di Indonesia, rasarasanya tiada zaman yang lebih
menantang daripada zaman sekarang ini, ketika polarisasi kehidupan umat Islam
Indonesia ditandai dengan begitu banyak masalah. Beberapa kejadian terakhir
di Indonesia patut membuat kita untuk berkaca, introspeksi, dan mengevaluasi
apa, siapa, dan ke mana sebenarnya kita akan menuju. Karena itu, sudah
saatnya pondok pesantren memiliki kemampuan dalam merumuskan gagasan yang
cerdas, terutama dalam mendampingi umat Islam Indonesia.
Menurut
hemat saya, pondok pesantren saat ini harus memiliki kesadaran yang ditandai
dengan empat ciri, yaitu (1) kritis, (2) memberi dan mendatangkan energi, (3)
menciptakan, dan (4) menyembuhkan. Tanpa kesadaran dengan ciri-ciri itu,
pondok pesantren akan menjadi suatu yang steril, layu, dan tak memiliki
kontribusi yang besar terhadap bangsa dan negara.
Kesadaran
kritis dalam lingkungan pendidikan Islam di pondok pesantren bertugas
menyuburkan dan mempertahankan kesadaran dominan dalam budaya keagamaan di
Indonesia yang cenderung sarat kepentingan, tunduk pada etos konsumerisme, menopang
tatanan yang ada, atau malahan mengambil keuntungan darinya. Kesadaran kritis
diperlukan dalam rangka membebaskan umat Islam dan sistem teologinya dari
lanskap pertarungan kekuasaan politik yang tidak bertanggung jawab dan sistem
ekonomi yang menjinakkan dan menundukkan kaum fakir dan miskin.
Tradisi
pesantren perlu dikelola secara modern dan terbuka agar tidak terkesan bahwa
pesantren memiliki pandangan keagamaan yang statis dan terkooptasi sehingga
ke depannya pesantren dapat melahirkan kembali anak
anak
yang memiliki jiwa kesatria, taat, dan menjadi sumber energi yang
memungkinkan umat bergerak maju menuju zaman dan situasi yang lebih baik.
Artinya kita harus selalu kritis dalam menyikapi realitas sosial-keagamaan
yang ada sehingga berujung pada tumbuhnya harapan dan arah baru menuju masa
depan yang ditandai dengan tatanan sosial yang egaliter dan berkeadilan.
Selanjutnya,
pondok pesantren juga harus selalu memperbaharui kapasitas menciptakan, yaitu
kemampuan mengidentifikasi masalah, isu, dan keprihatinan yang melanda
kelangsungan hidup umat manusia dan terlibat aktif menemukan jawaban
terhadapnya. Kemudian, jawaban tersebut diterapkan dengan kreatif untuk
mencapai hasil seoptimal mungkin tetapi tetap diperlakukan sebagai sesuatu
yang tentatif. Hasil itu dianggap tentatif karena dapat diuji ulang dan
ditinjau kembali sehingga, dengan demikian, menjadi awal siklus penciptaan
selanjutnya.
Lebih
lanjut lagi, kapasitas menciptakan memerlukan pendamping dan pembimbing.
Karena itu, isu tentang pentingnya capacity
building bagi para pengelola pondok pesantren. Orang-orang berkemampuan
khusus seperti al-maghfurlah Kiai
Hasan Asy’ari dahulu ditempa sebuah kebutuhan khusus sehingga menimbulkan
semangat berlipat ganda dalam menuntut ilmu. Kita tentu membutuhkan suasana
pesantren yang dapat mengembalikan dan menumbuhkan spirit santrinya persis
sama seperti yang pernah dialami para pendahulu kita.
Oleh
sebab itu, pondok pesantren juga harus selalu berusaha untuk terus-menerus
mengembangkan kesadaran menyembuhkan. Ini merupakan kekuatan spiritual yang
bersumber dari komitmen dan kegairahan terhadap risalah dan nubuat agama.
Kekuatan spiritual ini merupakan kebutuhan dan ciri khas yang selama ratusan
tahun telah hidup dan menjadi tradisi di pesantren.
Semangat
menyembuhkan menjadi sangat relevan untuk terus dipertahankan pondok
pesantren karena kesadaran menyembuhkan ini tidak selaras dengan rasa benci
dan bermusuhan di kalangan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda agama,
kelas sosial, dan latar belakang lainnya. Kesadaran itulah yang menempatkan
pondok pesantren pada tempat publik yang sama dengan siapa pun, yang dengan
nilai sinergi dan kesalingtergantungan bersamasama melakukan tugas-tugas
kenegaraan dan keislaman.
Kita
terus membutuhkan konsistensi dan strategi pengembangan pondok pesantren yang
fokus dan terarah. Saya percaya begitu banyak energi dan kreativitas pada
komunitas pondok pesantren yang belum terjamah dengan perencanaan program
yang baik. Partisipasi masyarakat yang menjadi kekuatan pondok pesantren
selama ini harus terus menjadi prioritas untuk dibangun dan dikembangkan
kembali, agar bersama-sama pemerintah pondok pesantren dapat berjalan
beriringan dalam menegakkan kembali citra umat Islam Indonesia yang ramah dan
rahmah. Selamat hari santri nasional,
dengan catatan Pak Jokowi menang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar