Hadapi
Gugatan Newmont
Firmanzah ; Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan
Pembangunan
|
KORAN
SINDO, 07 Juli 2014
Melalui siaran persnya, PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont) menyampaikan mereka telah mengajukan permohonan untuk
arbitrase (request for arbitration)
terhadap Pemerintah Indonesia.
Permohonan arbitrase ini dikaitkan dengan keharusan perusahaan tambang
untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan yang ditetapkan
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 beserta aturan
pelaksanaannya. Berbagai ketentuan ini merupakan amanat dari Pasal 103 dan
Pasal 170 Undang- Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Dalam masa transisi pemerintah menetapkan pengenaan bea keluar hingga
tahun 2017. Oleh karenanya bila ada bahan tambang yang hendak diekspor tetapi
belum diolah dan dimurnikan sepenuhnya di Indonesia akan dikenai bea keluar.
Besaran bea keluar dikaitkan dengan tingkat pengolahan dan pemurnian yang
dilakukan di Indonesia.
Arbitrase
Arbitrase yang digunakan Newmont bukanlah jenis arbitrase ketika
Pemerintah Indonesia menggugat Newmont pada tahun 2008. Ketika itu arbitrase
yang digunakan adalah arbitrase yang diatur dalam kontrak karya. Arbitrase
jenis ini dikenal sebagai arbitrase komersial (commercial arbitration). Kali ini Newmont mengajukan Pemerintah
Indonesia ke International Center for
Settlement of Investment Dispute (ICSID).
ICSID meski disebut sebagai arbitrase, tetapi berbeda dengan arbitrase
komersial. ICSID dalam konteks peradilan di Indonesia mirip dengan Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam konteks demikian individu atau badan hukum
yang bertindak sebagai penggugat, sedangkan pemerintah sebagai tergugat.
Dalam konteks ICSID pemerintah hanya bisa digugat oleh penanam modal yang
berkewarganegaraan asing untuk masalah yang terbatas pada penanaman modal (investment).
Gugatan diajukan karena penanam modal merasa dirugikan oleh kebijakan
yang diambil pemerintah. Adapun pihak yang menggugat pemerintah dalam kasus
ini adalah pemegang saham Newmont, yaitu Nusa Tenggara Partnership BV, yang merupakan
badan hukum Belanda, di samping Newmont sendiri. Inti dari gugatan, Newmont
tidak dapat beroperasi karena bea keluar yang diterapkan pemerintah. Padahal
pemerintah terikat untuk tidak mengeluarkan apa pun pajak ataupun bea selain
yang diatur dalam kontrakkarya.
Janggal
Gugatan Newmont ke ICSID sangat janggal. Ada lima alasan mengapa
demikian. Pertama , pengenaan bea keluar oleh pemerintah tidak hanya
dikenakan secara khusus terhadap Newmont. Bea keluar dikenakan ke semua
perusahaan tambang, baik lokal maupun multinasional. Memang terkait bea
keluar ini sejumlah pihak melakukan gugatan terhadap pemerintah.
Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia
(Apemindo) mengajukan permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah Jepang
dikabarkan berencana mengajukan Pemerintah Indonesia ke Dispute Settlement
Body yang dikenal dalam World Trade
Organization. Besar dugaan gugatan dilancarkan karena perusahaan
pemurnian bahan tambang di Negeri Sakura tersebut terganggu pasokannya karena
bea keluar.
Ini berarti keinginan Indonesia untuk melakukan hilirisasi di dunia
pertambangan sudah tepat. Hilirisasi pasti tidak dikehendaki banyak pihak.
Hilirisasi yang akan membuat Indonesia mengubah diri dari negara yang
berbasis penambangan menjadi negara yang berbasis pengolahan mineral.
Kejanggalan kedua , permohonan arbitrase oleh Newmont ke ICSID sangat
tidak etis ketika pemerintah sedang mencari jalan keluar atas permasalahan
bea keluar yang dihadapi banyak perusahaan tambang. Bagi pemerintah
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri merupakan kebijakan final dan harga
mati. Ini karena UU Minerba telah menggariskan demikian. Hanya saja
pemerintah tentu bisa meninjau besaran dari bea keluar.
Bila peninjauan dilakukan, ini bukan karena tekanan dari Newmont atau
perusahaan tambang multinasional, melainkan pemerintah harus memperhatikan
banyaknya tenaga kerja yang harus dirumahkan atau harus mengalami pemutusan
hubungan kerja (PHK). Ketiga, gugatan yang dilancarkan Newmont terhadap
Pemerintah Indonesia ke ICSID anehnya dikaitkan dengan kontrak karya.
Padahal bila substansi kontrak karya yang hendak dipermasalahkan
arbitrase, yang seharusnya menyelesaikan adalah arbitrase komersial yang
dibentuk berdasarkan kontrak karya, bukan melalui forum ICSID. Argumentasi
Newmont bahwa Pemerintah Indonesia harus tunduk pada kontrak karya dan tidak
boleh menerbitkan peraturan terkait bea keluar sama saja dengan mengatakan
kedaulatan hukum pemerintah Indonesia dibelenggu oleh kontrak.
Di dunia ini tentu tidak ada suatu pemerintahan pun yang mau dibelenggu
kedaulatan hukumnya oleh sebuah kontrak. Pemerintah sebagai pembuat regulasi
tidak boleh dibelenggu ataupun dibatasi perannya. Keempat , Newmont
memanfaatkan anak perusahaannya, Nusa
Tenggara Partnership BV, yang didirikan di Belanda untuk mengajukan
Pemerintah Indonesia ke ICSID.
Padahal Newmont Mining
Corporation adalah sebuah perusahaan Amerika Serikat. Menjadi pertanyaan
mengapa tidak Newmont Mining Corporation
yang mengajukan gugatan? Gugatan didasarkan pada Perjanjian Peningkatan dan
Perlindungan Penanaman Modal (P4M) atau Bilateral
Investment Treaty antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda.
Tidak seharusnya Newmont Mining
Corporation membawa-bawa Pemerintah Belanda dalam sengketa ini. Publik di
Indonesia tentu akan sensitif bila pemerintah atau perusahaan Belanda
mengajukan Pemerintah Indonesia ke hadapan ICSID. Rasa nasionalisme pun akan
muncul. Terakhir kejanggalan dari gugatan ini, Newmont mengajukan permohonan
arbitrase ICSID di waktu Indonesia sedang menjalani proses pemilihan
presiden.
Apakah ini merupakan gertakan kepada siapa pun yang akan menjadi
presiden Indonesia ke depan? Yang pasti, siapa pun Presiden pengganti SBY,
mereka akan menjadikan gugatan Newmont sebagai komoditas politik. Presiden
pengganti SBY akan bertindak lebih keras dan tegas terhadap perusahaan
tambang multinasional yang menunjukkan arogansinya. Mengajukan Pemerintah
Indonesia ke ICSID merupakan tindakan arogan dari Newmont.
Hadapi
Bagi pemerintah, tidak ada kata lain selain menghadapi gugatan Newmont
ke ICSID. Pemerintah harus segera menunjuk pengacara andal yang terbiasa
dengan kasus-kasus di ICSID. Setelah itu pemerintah akan menunjuk arbiternya.
Di tahap awal pemerintah akan mematahkan gugatan Newmont dengan menyatakan
ICSID tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan Newmont.
Bila berhasil, gugatan Newmont akan kandas. Bila tidak barulah memasuki
substansi perkara. Satu hal yang pasti, dalam gugatannya, Newmont meminta
putusan sela agar ICSID dapat memutus untuk memperbolehkan Newmont melakukan
ekspor tanpa dikenai bea keluar. Ini tindakan tidak etis Newmont yang
memanfaatkan lembaga peradilan internasional seperti ICSID untuk kepentingan
komersialnya.
Padahal pengenaan bea keluar bagi Indonesia merupakan tindakan untuk
menjalankan amanat UU Minerba yang merupakan pengejawantahan Pasal 33 UUD
1945. Dalam pengajuan ke ICSID ini, bila pemerintah menyerah berarti
pemerintah telah mengkhianati amanat UU Minerba. Untuk sebuah harga diri dan
kedaulatan, pemerintah tidak boleh lemah karena rakyat pasti ada di belakang.
Bila pemerintah menyerah, perusahaan tambang multinasional dan lokal
lainnya memaksa pemerintah untuk memperlakukan mereka sama dengan Newmont.
Pemerintah tidak boleh menyerah dan lemah. Satu hal lagi, ada baiknya
pemerintah mempertimbangkan untuk keluar dari ICSID mengingat belakangan ini
ICSID digunakan untuk ”menekan” pemerintah agar tunduk pada kehendak perusahaan
multinasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar