Sabtu, 12 Juli 2014

ISIS di Irak : Genealogi dan Prospek

                         ISIS di Irak : Genealogi dan Prospek

Muhammad Ja’far  ;   Pengamat Politik Timur Tengah
KORAN TEMPO, 08 Juli 2014

                                                                                                                       


Kelompok bersenjata Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) yang terus berusaha menggerogoti stabilitas Irak itu menyimpan obsesi untuk mengakuisisi seluruh wilayah Irak.

Penetrasi kelompok ini sangat cepat: mulanya Tikrit dan Mosul, kemudian beberapa daerah lain sudah diambil alih. Meski sedikit terlambat, pemerintah Irak yang tengah disibukkan oleh seribu satu persoalan itu mulai melakukan langkah taktis guna menghadang ekspansi ISIS sedapatnya. Ketika pasukan Amerika Serikat ditarik pada 2011, suprastruktur dan infrastruktur militer Irak masih lemah, belum banyak berbenah di bidang tersebut. Faksi-faksi tradisional bersenjata, seperti Moqtada Shadr, juga masih belum bersinergi secara optimal, baik secara politis maupun militer. Kondisi ini jelas menguntungkan ISIS yang agresif dan akan menempuh cara apa pun untuk mewujudkan mimpi menaklukkan Irak.

Dalam keadaan seperti ini, wajarlah jika bantuan dari luar negeri menjadi opsi pertama yang terpikirkan oleh Perdana Menteri Irak Nouri Maliki. Mengingat terbatasnya kapabilitas pertahanan militer Irak, di samping Iran dan Libanon sebagai mitra strategisnya, bantuan terbatas dari AS menjadi pertimbangan Maliki. Opsi ini dinilai strategis untuk mengantisipasi potensi munculnya new terrorism (kebangkitan terorisme baru setelah Bin Ladin) yang menjadi motor gerakan ISIS.

Melihat arkeologi gerakannya, sulit mengkategorikan ISIS sebagai entitas tunggal yang berdiri sendiri. Kegagalan kelompok ini dalam menjatuhkan pemerintahan Bashar Al Assad di Suriah, dengan membonceng pada bendera "revolusi" dalam tiga tahun terakhir, membuat ruang geraknya semakin sempit. Lantas, ditambah dengan semakin tajamnya friksi di dalam, ISIS mengalami disorientasi gerakan.

Dalam kondisi demikian, mau tak mau, Irak menjadi alternatif yang dipercepat. Jika dalam cetak biru awal gerakan ISIS Irak merupakan sasaran selanjutnya setelah sukses di Suriah, kini justru Irak yang menjadi alternatif pertama setelah gagalnya Damaskus. Gerakan ISIS di Irak saat ini harus dibaca secara integral dengan visi dan misi gerakannya di Suriah sebelumnya. Secara genealogis, ISIS lahir dari rahim Al Kaidah cabang Irak (AQI) dengan pelakon utama Abu Musab Al Zarqawi. Zarqawi dan Usamah bin Ladin, dengan Amerika Serikat sebagai musuh bersama, awalnya memiliki visi yang sama. Tapi, dalam perkembangannya, keduanya menjadi rival, Zarqawi bahkan menerapkan prinsip teror ke dalam tubuh muslimin sendiri, ototerorisme, sebagai ekspresi ketidaktoleranan terhadap perbedaan.

Zarqawi mengincar varian Islam yang berbeda dengan Islam-nya sebagai sasaran. Targetnya bukan hanya Islam Syiah Irak, tapi juga muslimin Sunni dan Kurdi, jika mereka memang menghalangi jalan gerakannya. Jadi, visi teologi dan ideologi gerakan ini dinilai tunamazhab, karena perjuangan ISIS tidak merepresentasikan kepentingan politik mazhab apa pun di Irak. Kegaduhan yang ditimbulkannya murni bermotif teror dan berlatar ekstremisme. Karena itu, penting bagi Maliki untuk menguatkan sinergi politiknya dengan kelompok Sunni dan Kurdi, untuk mengantisipasi kemungkinan manipulasi sentimen mazhab oleh ISIS.

Tahun 2006, Zarqawi tewas, dan AQI bermetamorfosis menjadi ISIS dengan Abu Bakar Al Baghdadi sebagai figur utama yang menakhodai gerakan sporadis di Irak saat ini. Dengan ISIS-nya, Al Baghdadi berusaha semakin mematenkan desain ototerorisme, dengan menjadikan Irak sebagai titik berangkat ISIS, sebagaimana Afganistan menjadi garis start Al Kaidah ala Bin Ladin. Dalam imajinasi gerakan Al Baghdadi, dari Irak inilah kekhalifahan Islam akan dijalarkan ke seluruh tanah Timur Tengah.

Sebesar apa kemungkinan imajinasi Al Baghdadi ini terwujud?

Yang jelas, Irak yang berada tepat di jantung geopolitik Timur Tengah bukanlah Afganistan, dan inilah rintangan pertama yang dihadapinya. Wacana yang membicarakan terorisme juga sudah mengalami pergeseran makna secara politis. Kompleksitas dampak ototerorisme di Irak secara regional dan global akan mengundang keterlibatan banyak negara untuk mendelegitimasi proyek ini-terutama dari internal negara muslim, baik Syiah maupun Sunni. Destabilisasi Irak yang terus dilakukan ISIS akan ditentang keras oleh kalangan luas yang lintas mazhab. Apalagi sokongan dana dan infrastruktur militer pada ISIS Irak tidak akan semasif di Suriah. Beberapa negara sudah kapok dengan fenomena "tsunami balik" para ekstremis yang diberangkatkan ke Suriah.

Fenomena Al Kaidah di Afganistan sudah cukup menjadi pelajaran mahal pada masa lalu, dan kini pemerintah Amerika Serikat sudah menetapkan garis tegas atas persoalan ini. Sinergi Gedung Putih-Baghdad untuk menumpas ISIS akan membuktikan komitmen ini. Belum lagi jika Iran dan Lebanon, dua mitra Irak, mengulurkan bantuan. ISIS tidak hanya akan kesulitan memperluas kawasan akuisisinya, tapi juga semakin tersudut ruang geraknya.

Merujuk pada kiprahnya selama di Suriah, ISIS sebenarnya kelompok yang cukup rapuh dalam beberapa sisinya: ikatan ideologisnya lemah, soliditas internalnya rentan pecah, dan visi gerakannya cenderung jangka pendek. Dengan performa seperti ini, sulit bagi ISIS untuk sukses menjalankan proyek ototerorismenya, apalagi mendirikan negara Islamnya. Gerakan ini hanyalah sisa dari ekstremisme politik dan agama yang semakin sulit menemukan dan mempertahankan eksistensinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar