ISIS
di Irak : Genealogi dan Prospek
Muhammad Ja’far ; Pengamat Politik Timur Tengah
|
KORAN
TEMPO, 08 Juli 2014
Kelompok bersenjata Islamic State
of Iraq and Syam (ISIS) yang terus berusaha menggerogoti stabilitas Irak
itu menyimpan obsesi untuk mengakuisisi seluruh wilayah Irak.
Penetrasi kelompok ini sangat cepat: mulanya Tikrit dan Mosul, kemudian
beberapa daerah lain sudah diambil alih. Meski sedikit terlambat, pemerintah
Irak yang tengah disibukkan oleh seribu satu persoalan itu mulai melakukan
langkah taktis guna menghadang ekspansi ISIS sedapatnya. Ketika pasukan
Amerika Serikat ditarik pada 2011, suprastruktur dan infrastruktur militer
Irak masih lemah, belum banyak berbenah di bidang tersebut. Faksi-faksi
tradisional bersenjata, seperti Moqtada Shadr, juga masih belum bersinergi
secara optimal, baik secara politis maupun militer. Kondisi ini jelas
menguntungkan ISIS yang agresif dan akan menempuh cara apa pun untuk
mewujudkan mimpi menaklukkan Irak.
Dalam keadaan seperti ini, wajarlah jika bantuan dari luar negeri
menjadi opsi pertama yang terpikirkan oleh Perdana Menteri Irak Nouri Maliki.
Mengingat terbatasnya kapabilitas pertahanan militer Irak, di samping Iran
dan Libanon sebagai mitra strategisnya, bantuan terbatas dari AS menjadi
pertimbangan Maliki. Opsi ini dinilai strategis untuk mengantisipasi potensi
munculnya new terrorism (kebangkitan terorisme baru setelah Bin Ladin) yang
menjadi motor gerakan ISIS.
Melihat arkeologi gerakannya, sulit mengkategorikan ISIS sebagai
entitas tunggal yang berdiri sendiri. Kegagalan kelompok ini dalam
menjatuhkan pemerintahan Bashar Al Assad di Suriah, dengan membonceng pada
bendera "revolusi" dalam tiga tahun terakhir, membuat ruang
geraknya semakin sempit. Lantas, ditambah dengan semakin tajamnya friksi di
dalam, ISIS mengalami disorientasi gerakan.
Dalam kondisi demikian, mau tak mau, Irak menjadi alternatif yang
dipercepat. Jika dalam cetak biru awal gerakan ISIS Irak merupakan sasaran
selanjutnya setelah sukses di Suriah, kini justru Irak yang menjadi
alternatif pertama setelah gagalnya Damaskus. Gerakan ISIS di Irak saat ini
harus dibaca secara integral dengan visi dan misi gerakannya di Suriah
sebelumnya. Secara genealogis, ISIS lahir dari rahim Al Kaidah cabang Irak
(AQI) dengan pelakon utama Abu Musab Al Zarqawi. Zarqawi dan Usamah bin
Ladin, dengan Amerika Serikat sebagai musuh bersama, awalnya memiliki visi
yang sama. Tapi, dalam perkembangannya, keduanya menjadi rival, Zarqawi
bahkan menerapkan prinsip teror ke dalam tubuh muslimin sendiri,
ototerorisme, sebagai ekspresi ketidaktoleranan terhadap perbedaan.
Zarqawi mengincar varian Islam yang berbeda dengan Islam-nya sebagai
sasaran. Targetnya bukan hanya Islam Syiah Irak, tapi juga muslimin Sunni dan
Kurdi, jika mereka memang menghalangi jalan gerakannya. Jadi, visi teologi
dan ideologi gerakan ini dinilai tunamazhab, karena perjuangan ISIS tidak
merepresentasikan kepentingan politik mazhab apa pun di Irak. Kegaduhan yang
ditimbulkannya murni bermotif teror dan berlatar ekstremisme. Karena itu,
penting bagi Maliki untuk menguatkan sinergi politiknya dengan kelompok Sunni
dan Kurdi, untuk mengantisipasi kemungkinan manipulasi sentimen mazhab oleh
ISIS.
Tahun 2006, Zarqawi tewas, dan AQI bermetamorfosis menjadi ISIS dengan
Abu Bakar Al Baghdadi sebagai figur utama yang menakhodai gerakan sporadis di
Irak saat ini. Dengan ISIS-nya, Al Baghdadi berusaha semakin mematenkan
desain ototerorisme, dengan menjadikan Irak sebagai titik berangkat ISIS,
sebagaimana Afganistan menjadi garis start Al Kaidah ala Bin Ladin. Dalam
imajinasi gerakan Al Baghdadi, dari Irak inilah kekhalifahan Islam akan
dijalarkan ke seluruh tanah Timur Tengah.
Sebesar apa kemungkinan imajinasi Al Baghdadi ini terwujud?
Yang jelas, Irak yang berada tepat di jantung geopolitik Timur Tengah
bukanlah Afganistan, dan inilah rintangan pertama yang dihadapinya. Wacana
yang membicarakan terorisme juga sudah mengalami pergeseran makna secara
politis. Kompleksitas dampak ototerorisme di Irak secara regional dan global
akan mengundang keterlibatan banyak negara untuk mendelegitimasi proyek
ini-terutama dari internal negara muslim, baik Syiah maupun Sunni.
Destabilisasi Irak yang terus dilakukan ISIS akan ditentang keras oleh
kalangan luas yang lintas mazhab. Apalagi sokongan dana dan infrastruktur
militer pada ISIS Irak tidak akan semasif di Suriah. Beberapa negara sudah
kapok dengan fenomena "tsunami balik" para ekstremis yang diberangkatkan
ke Suriah.
Fenomena Al Kaidah di Afganistan sudah cukup menjadi pelajaran mahal
pada masa lalu, dan kini pemerintah Amerika Serikat sudah menetapkan garis
tegas atas persoalan ini. Sinergi Gedung Putih-Baghdad untuk menumpas ISIS
akan membuktikan komitmen ini. Belum lagi jika Iran dan Lebanon, dua mitra
Irak, mengulurkan bantuan. ISIS tidak hanya akan kesulitan memperluas kawasan
akuisisinya, tapi juga semakin tersudut ruang geraknya.
Merujuk pada kiprahnya selama di Suriah, ISIS sebenarnya kelompok yang
cukup rapuh dalam beberapa sisinya: ikatan ideologisnya lemah, soliditas
internalnya rentan pecah, dan visi gerakannya cenderung jangka pendek. Dengan
performa seperti ini, sulit bagi ISIS untuk sukses menjalankan proyek
ototerorismenya, apalagi mendirikan negara Islamnya. Gerakan ini hanyalah
sisa dari ekstremisme politik dan agama yang semakin sulit menemukan dan
mempertahankan eksistensinya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar