Kamis, 17 Juli 2014

Pemimpin yang Melayani

                                          Pemimpin yang Melayani

Jony Oktavian Haryanto  ;   Kepala Prodi Entrepreneurship Podomoro University 
SUARA MERDEKA,  15 Juli 2014
                                                


PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2014 yang dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Indonesia usai sudah. Komisi Pemilihan Umum menyatakan akan mengumumkan hasil resmi pesta demokrasi tersebut pada 22 Juli mendatang. Sebagian rakyat seperti tidak sabar menunggu. Justru pada masa penantian beberapa hari itu sebenarnya akan menunjukkan siapa pemimpin yang memiliki hati untuk melayani rakyat.

Kepemimpinan sangat dekat dengan kekuasaan, dan pengalaman empiris telah menunjukkan bahwa bila hal itu tidak dikontrol maka akan berisiko melahirkan pemimpin yang korup dan otoriter. Sejarah telah membuktikan bagaimana seorang pemimpin yang pada awalnya berjiwa kerdil bisa berubah menjadi diktator lagi tiran, semisal Adolf Hitler, Ferdinand Marcos, ataupun yang lain.

Padahal para pemimpin agama telah mengajarkan dan menerapkan pola kepemimpinan yang bersifat melayani. Umar bin Khatab misalnya, yang merupakan sahabat Nabi Muhammad saw mengajarkan bahwa pemimpin yang baik adalah apabila rakyatnya lapar maka pemimpin itulah yang paling dulu merasakan lapar, dan apabila rakyatnya sejahtera maka pemimpin itulah yang paling belakangan sejahtera. (seperti dipajang di Museum Astra).

Umat Nasrani pun meyakini ajaran bahwa Yesus Kristus datang ke dunia untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Demikian juga Sang Buddha yang telah memberikan sebagian daging lengan- Nya kepada elang yang lapar untuk dimakan.

Contoh tersebut telah menunjukkan bahwa kepemimpinan yang baik adalah kepimpinan yang siap dan berniat melayani. Kepemimpinan yang bersifat tidak egois namun justru menempatkan kepentingan rakyat sebagai kepentingan yang tertinggi. Saya percaya bahwa dari dalam lubuk hati yang paling dalam, para calon presiden dari dua kubu sebenarnya sudah tahu siapa yang akan menjadi presiden.

Kandidat yang sudah tahu bakal kalah, apabila memiliki hati sebagai pemimpin yang siap melayani pasti akan berbesar hati untuk memberikan ucapan selamat kepada calon yang lain yang menang. Dengan demikian rakyat akan mengenang dia sebagai pemimpin berjiwa besar, bahkan bisa menjadi ”karpet merah” untuk maju dalam Pemilu 2019. Fauzi Bowo (Foke) yang kalah dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 telah membuktikan diri sebagai negarawan. Dia memberi contoh kepemimpinan yang siap melayani.

Pada hari yang sama Foke langsung menelepon Jokowi dan mengucapkan selamat atas keterpilihannya sebagai gibernur. Di antara semua prestasi yang diraih oleh Foke, rakyat, tak hanya warga DKI Jakarta, lebih mengingat Foke sebagai negarawan berjiwa besar karena pemberian ucapan selamatnya secara spontan kepada Jokowi.

Tetap Dikenang

Karena itu, jangan larut dalam sesuatu yang bisa menjadi kontraproduktif. Bukankah rakyat sudah menentukan pilihan mereka walaupun mungkin hasilnya kurang menyenangkan bagi sementara pihak? Yakinilah, menjadi pemimpin adalah sebuah amanah. Kita boleh berusaha mengejarnya, namun pemimpin yang besar pasti lebih mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya. Bukankah menjadi pemimpin di negeri ini tidak harus menjadi presiden atau wakil presiden?

Bukankah masih banyak pelayanan di bidang-bidang lain yang dapat dilakukan oleh pasangan nomor 1 atau pasangan nomor 2, seandainya mereka belum berhasil memenangi kontestasi itu pada tahun ini.

Jabatan presiden-wakil presiden hanyalah 5 tahun atau maksimal 10 tahun. Namun jiwa kepemimpinan yang melayani tersebut akan tetap dan terus dikenang sebagai roh pemimpin besar negeri ini, meskipun tak harus menjadi presiden atau wakil presiden. Kita bisa mencontoh Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang pada usia 40 tahun rela menanggalkan gelar kebangsawanannya. Bahkan ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara supaya bisa bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hati.

Telah 55 tahun berlalu sejak kepulangannya menghadap Sang Maha Pencipta, namun sampai sekarang bangsa ini tetap mengenang Ki Hadjar Dewantara sebagai salah satu pemimpin besar bangsa ini. Jadi, pemimpin besar di negeri ini bukan karena jabatannya sebagai presiden, melainkan karena memiliki jiwa kepemimpinan yang siap melayani bangsa ini.

Untuk itu, kepada siapa pun pasangan yang kalah maupun yang menang, hendaklah memimpin dengan hati yang melayani, yaitu melayani bangsa dan negara ini, dan bukan melayani keinginan diri sendiri atau kelompoknya.

Rhenald Kasali (Kompas, 11/7/14) menuliskan bahwa musuh nomor 1 bukanlah nomor 2, dan musuh nomor 2 bukanlah nomor 1, melainkan musuh nomor 1 adalah nomor 1 dan musuh nomor 2 adalah nomor 2, yaitu mental beberapa tim sukses dan sebagian pendukung yang rakus akan jabatan. Akhirnya, setelah tanggal 22 Juli 2014 selamat datang presiden ketujuh Republik Indonesia. Selamat memimpin dengan hati yang siap melayani. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar