Kamis, 17 Juli 2014

Komitmen Berswasembada Pangan

                           Komitmen Berswasembada Pangan

Miftahudin Efendi  ;   Mantan Kepala Perum Perhutani Unit II Jawa Timur,
Tinggal di Salatiga 
SUARA MERDEKA,  15 Juli 2014
                                                


"Presiden terpilih harus lebih memiliki kepedulian pada persoalan pertanian guna menuju swasembada pangan"

TIAP pemilihan umum, para kandidat selalu menjadikan program swasembada pangan, terutama beras, sebagai salah satu materi kampanye. Sangat beralasan mengingat sebagian besar (60%) rakyat Indonesia adalah petani. Iming-iming pelibatan dan pemakmuran petani melalui program itu, menjadi jurus andalan menarik massa pemilih. Sayang, jargon itu acap hanya komoditas kampanye. 

Selama ini, belum ada langkah riil mewujudkan sebenar-benarnya swasembada.
Biasanya, melalui jargon itu, langkah yang diambil adalah cara klasik, yakni intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, atau menciptakan lahan sawah baru, yang sejatinya tidak pernah benar-benar terwujud. Intensifikasi dan ekstensifikasi memang perlu tapi untuk ekstensifikasi bukan lagi hanya terbatas pada penciptaan sawah baru. Saat ini justru lebih memerlukan kebijakan pertanian yang lebih cerdas untuk mewujudkan swasembada pangan.

Obsesi mencetak sawah baru memang mudah diucapkan tapi tak mudah direalisasikan, karena menyangkut pengairan, topografi lahan harus berada di bawah irigasi, jenis tanah, dan sebagainya. Andai pun mengubah atau menggunakan kawasan hutan menjadi lahan sawah, berarti harus mengubah fungsi sesuai dengan perundang-undangan. Dalam praktik, pelaksanaannya tidak mudah dan tak bisa cepat direalisasikan.

Dalam pelaksanaannya pun, kesalahan pengelolaan pertanian yang tak mampu mewujudkan swasembada, akhirnya hanya mengambinghitamkan perkembangan dan pembangunan zaman. Kegagalan swasembada pangan didalihkan karena tidak bisa menghindari penggunaan lahan untuk industri. Termasuk menyalahkan terus berkembangnya kawasan perumahan, yang ujung-ujungnya dianggap mengurangi luas areal pertanian dan persawahan.

Di tingkat birokrasi pun, realitas itu menjadi komoditas untuk saling menyalahkan antarsektor karena tidak ada jalan keluar atas penyelesaian pertanian guna mencapai swasembada pangan. Karena itu, presiden dan wakil presiden terpilih harus memiliki kepedulian yang konkret pada persoalan pertanian.

Keduanya harus cepat mencari jalan keluar menuju swasembada pangan, khususnya mewujudkan negara ini sebagai penghasil beras. Upaya itu mudah dilaksanakan asalkan pemerintah memiliki niat dan komitmen kuat untuk mewujudkan, tidak sekadar beretorika. Tentunya memerlukan dukungan semua elemen, termasuk sinergitas antarkementerian.

Sebenarnya para pemerhati dan peneliti pertanian, khususnya peneliti padi, sudah lama mengenal varietas padi lahan kering. Masyarakat mengenalnya sebagai padi gogo. Sayang, belum banyak elite peduli terhadap perkembangan tanaman ini. Saya yakin kalau pemerintah mendatang lebih peduli pada pengembangan padi lahan kering (padi gogo), swasembada beras menjadi keniscayaan.

Upaya awal dapat dilakukan dengan membiayai penelitian dan percobaan untuk pengembangannya. Sebenarnya sudah ada kegiatan penelitian untuk itu tapi masih perlu penyempurnaan. Bila petani kita bisa secara masif mengembangkan pertanian padi gogo, saya yakin kurang dari setahun negara ini bisa mencapai program swasembada beras.

Eksportir Besar

Bahkan kalau penelitian dan pengembangan tersebut dilanjutkan dengan penemuan varietas padi yang tahan naungan, tidak tertutup kemungkinan negara ini menjadi pengekspor besar beras di dunia. Saat sekarang banyak lahan kering di bawah naungan yang belum dimanfaatkan, dan selama ini hanya ditumbuhi belukar. Hal itu baik lahan milik rakyat, lahan perkebunan, maupun lahan hutan, dan arealnya masih sangat luas di Tanah Air.

Bila kita menengok masa lalu, tebu hanya ditanam di lahan basah/sawah (tebu lahan basah). Permasalahan tersebut sama dengan padi. Lama-lama karena perkembangan zaman dan makin sempitnya lahan, para pemerhati tebu meresponsnya dengan melakukan penelitian, percobaan, dan pengembangan. Hasilnya terbukti, setelah era 1980-an tanaman tebu bisa dibudidayakan di lahan kering.

Sudah barang tentu, upaya mewujudkan swasembada beras, tidak lagi harus bergantung pada produksi padi dari lahan basah/sawah. Pemerintah bisa mengembangkan padi lahan kering, dengan memanfaatkan pekarangan, daerah sekitar hutan, dan sebagainya.

Harapan itu sudah ada di depan mata, dengan memanfaatkan padi gogo yang memang bisa ditanam di lahan kering. Hasil padi atau bulir berasnya pun tidak kalah dari beras lahan basah/sawah. Bila negara ini berkelebihan beras dari lahan kering, pasti bisa menjadi pengekspor beras.

Realitas itu merupakan tantangan bagi mereka yang peduli, terutama para ahli, peneliti, pemangku kepentingan sektor pertanian dan kehutanan, untuk mewujudkan. Ibaratnya tinggal membalik tangan bila pemerintahan baru di bawah presiden-wakil presiden terpilih konsisten dan mau lebih peduli sekaligus membiayai program tersebut bekerja sama dengan lembaga penelitian, pendidikan tinggi, dan swasta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar