Pemimpin
Baru dan Harapan Baru
Angelina Pattiasina ;
Alumnus Bremen University, Jerman
|
SINAR
HARAPAN, 02 Juli 2014
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ini sangat menentukan dan
merupakan momentum bagi Indonesia untuk bangkit. Namun, momentum ini akan
sia-sia jika tidak disertai terobosan baru dalam mengelola berbagai potensi
nasional untuk kesejahteraan rakyat.
Kalau kita mencermati visi-misi kedua pasangan calon, Probowo
Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sebenarnya tidak terlalu
jelas seperti apa para calon pemimpin akan mengelola kawasan Indonesia Timur.
Kawasan Indonesia Timur selayaknya mendapat perlakuan khusus,
sehingga tidak semakin memperlebar kesenjangan kawasan yang terjadi selama
ini.
Apalagi, potensi alam yang besar di kawasan Timur seolah tidak
berdampak terhadap perkembangan kawasan. Untuk itu, sudah selayaknya jika
pemimpin nasional yang baru nanti mengambil berbagai terobosan dan kebijakan
yang berpihak ke kawasan Timur.
Sesungguhnya, peserta pilpres tidak perlu bersusah payah mencari
visi pembangunan nasional. Para generasi pendahulu sudah mewariskan visi,
gagasan, dan konsep ke mana negara ini akan melangkah. Ketika berbicara soal
ekonomi Indonesia, Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi acuan utama. Di sanalah
pondasi dasar sistem ekonomi Indonesia. Hanya saja, amanat Pasal 33 UUD 1945
itu tidak nyata dalam praktik perekonomian Indonesia.
Ada fakta juga menunjukkan justru terjadi privatisasi cabang
produksi vital. Negara, sebagai penguasa didegdradasi menjadi sekadar
menjalankan fungsi administrasi. Akibatnya, nasib rakyat dipertaruhkan dalam
mekanisme pasar yang sekaligus menghilangkan fungsi sosial dari negara untuk
melayani dan melindungi warga negara.
Ketika pasar yang berbicara, hanya ada pilihan untung atau rugi.
Fungsi pelayanan dan fungsi sosial negara menjadi hilang dalam sistem ekonomi
pasar ini. Jika demikian, tidak mengherankan kalau pemerintah seolah
berdagang dengan rakyatnya, berhitung untung dan rugi dalam menjalankan
fungsi pemerintahan.
Orientasi Pengelola
Begitu juga Pasal 33 Ayat 3 tentang sumber daya alam. Mari kita
melihat, apakah semua sumur minyak dan gas, batu bara, perikanan, perkebunan,
dan sebagainya dikuasai negara juga dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Blok Masela yang di depan mata rakyat Maluku, seolah rakyat
Maluku tidak berhak dan tidak perlu diajak bicara. Situasi ini hampir terjadi
di semua daerah yang kaya sumber daya, tapi justru rakyatnya hidup dalam
kemiskinan.
Untuk itu, siapa pun presiden yang terpilih, ia perlu
mengembalikan semangat pengelolaan perekonomian negara sesuai semangat awal
dari para generasi terdahulu. Sistem ekonomi dalam Pasal 33 ini menjamin
terjadinya demokrasi negara. Kita tidak bisa hanya berbicara seolah kita
menjadi negara demokratis setelah menggelar pemilihan umum dan pilkada. Itu
hanya demokrasi politik. Roh dari demokrasi ekonomi itu ada dalam Pasal 33
UUD 1945.
Demokrasi politik bicara kalah dan menang, bicara
mayoritas-minoritas, bicara prosedural. Demokrasi ekonomi bicara soal
keadilan sosial, keadilan ekonomi, kesetaraan, atau substansi. Jadi, siapa
pun yang mengaku sebagai demokratis, tidak ada jalan lain selain mewujudkan
keadilan sosial dan keadilan ekonomi.
Kita harus bersyukur karena Indonesia ditakdirkan menjadi negara
yang unik karena memiliki wilayah dengan kombinasi daratan dan lautan
demikian luas. Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di Dunia.
Pengakuan sebagai negara kepulauan tidak datang sendirinya,
tetapi melalui perjuangan diplomasi yang tidak kenal lelah, dimulai dengan
Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Djuanda
Kartawidjaja. Deklarasi itu menegaskan, laut Indonesia adalah termasuk laut
sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan
wilayah NKRI.
Padahal, dalam peraturan Belanda, wilayah laut Indonesia hanya
sejauh 3 mil dari garis pantai. Artinya, di luar itu bukan merupakan laut RI.
Namun, Deklarasi Djuanda telah menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelagic state). Deklarasi Djuanda ini diterima dan ditetapkan dalam
konvensi hukum laut PBB pada 1982 atau dikenal dengan United Nations
Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.
Esensi dasar negara kepulauan adalah laut dan daratan merupakan
satu kesatuan. Semestinya, dalam pola pembangunan Indonesia harus
memperlakukan wilayah laut dan daratan dalam setiap kebijakan pembangunan.
Namun, sangat disayangkan karena dari satu periode pemerintahan ke
pemerintahan lain, wilayah laut seolah menjadi “anak tiri”.
Hal ini, otomatis berdampak kepada daerah kepulauan, seperti
Maluku, Maluku Utara, NTT, dan Kepulauan Riau. Jadi, tanpa mengubah orientasi
pembangunan yang seimbang antara darat dan laut, provinsi kepulauan masih akan
tetap tertinggal karena pembangunan provinsi kepulauan jelas jauh lebih sulit
dan berat.
Untuk itu, pemerintahan baru harus melakukan terobosan untuk
mengeluarkan kebijakan khusus bagi kabupaten kepulauan dan provinsi
kepulauan. Ketika pemerintah memperlakukan provinsi kepulauan dan daratan
secara sama, wilayah kepulauan akan terus tetap tertinggal.
Ironi Bangsa Pelaut
Untuk itu, sangat relevan untuk mengingatkan semua pengelola
negara ini, jika para pemimpin terdahulu sudah mengingatkan betapa pentingnya
mengalihkan perhatian ke wilayah laut. Pendiri negara ini, Bung Karno, pada
1953 pernah menyatakan, “Usahakanlah agar bisa menjadi bangsa pelaut; bangsa
pelaut dalam arti seluas-luasnya, bukan sekadar jongos-jongos di kapal.
Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga; bangsa pelaut yang mempunyai
armada militer; bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama
gelombang laut itu sendiri.”
Bung Karno benar, anak-anak laut itu masih sekadar jongos di
kapal-kapal karena ternyata bangsa pelaut itu tidak sibuk di laut, tetapi
justru sibuk di daratan. Mereka lebih sibuk membeli tank, membangun tol,
membangun jembatan antarpulau. Semua itu karena lupa membuat pabrik
pengalengan ikan, membuat keramba, membuat kapal untuk nelayan.
Pengelola negara lupa, negara ini tidak mungkin disatukan oleh
jembatan sehebat apa pun karena negara ini telah disatukan oleh laut. Ketika
nasihat Bung Karno ini dilupakan, jangan heran kalau bangsa pelaut itu
akhirnya mengimpor ikan teri, mengimpor garam, mengimpor ikan segar dan
mengimpor semua yang sesungguhnya melimpah di Indonesia.
Ketidakadilan terhadap wilayah laut itu bukan isapan jempol
belaka. Selama ini, formula Dana Alokasi Umum (DAU) hanya memperhitungkan
wilayah kontinental. Wilayah laut tidak diperhitungkan.
Akibatnya, DAU provinsi kepulauan yang memiliki wilayah laut
yang luas lebih sedikit dibandingkan provinsi kontinental. Wilayah kepulauan
yang memang memiliki wilayah laut, juga semakin terhimpit karena jumlah
penduduknya relatif lebih sedikit. Padahal, indikator seperti ini sangat
subjektif dan masih bisa diperdebatkan.
Untuk itu, kita berharap pemerintahan baru harus memastikan
prioritas infrastruktur selama lima tahun ke depan bergeser ke timur. Itu
karena kesenjangan infrastruktur kawasan sudah terlalu lebar. Setiap proyek
infrastruktur rakasasa di kawasan barat, sesungguhnya melukai perasaan anak
bangsa di kawasan lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar