Sabtu, 05 Juli 2014

Pemimpin Baru dan Harapan Baru

                           Pemimpin Baru dan Harapan Baru

Angelina Pattiasina  ;   Alumnus Bremen University, Jerman
SINAR HARAPAN,  02 Juli 2014
                                                


Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ini sangat menentukan dan merupakan momentum bagi Indonesia untuk bangkit. Namun, momentum ini akan sia-sia jika tidak disertai terobosan baru dalam mengelola berbagai potensi nasional untuk kesejahteraan rakyat.

Kalau kita mencermati visi-misi kedua pasangan calon, Probowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sebenarnya tidak terlalu jelas seperti apa para calon pemimpin akan mengelola kawasan Indonesia Timur.

Kawasan Indonesia Timur selayaknya mendapat perlakuan khusus, sehingga tidak semakin memperlebar kesenjangan kawasan yang terjadi selama ini.

Apalagi, potensi alam yang besar di kawasan Timur seolah tidak berdampak terhadap perkembangan kawasan. Untuk itu, sudah selayaknya jika pemimpin nasional yang baru nanti mengambil berbagai terobosan dan kebijakan yang berpihak ke kawasan Timur.

Sesungguhnya, peserta pilpres tidak perlu bersusah payah mencari visi pembangunan nasional. Para generasi pendahulu sudah mewariskan visi, gagasan, dan konsep ke mana negara ini akan melangkah. Ketika berbicara soal ekonomi Indonesia, Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi acuan utama. Di sanalah pondasi dasar sistem ekonomi Indonesia. Hanya saja, amanat Pasal 33 UUD 1945 itu tidak nyata dalam praktik perekonomian Indonesia.

Ada fakta juga menunjukkan justru terjadi privatisasi cabang produksi vital. Negara, sebagai penguasa didegdradasi menjadi sekadar menjalankan fungsi administrasi. Akibatnya, nasib rakyat dipertaruhkan dalam mekanisme pasar yang sekaligus menghilangkan fungsi sosial dari negara untuk melayani dan melindungi warga negara.

Ketika pasar yang berbicara, hanya ada pilihan untung atau rugi. Fungsi pelayanan dan fungsi sosial negara menjadi hilang dalam sistem ekonomi pasar ini. Jika demikian, tidak mengherankan kalau pemerintah seolah berdagang dengan rakyatnya, berhitung untung dan rugi dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

Orientasi Pengelola

Begitu juga Pasal 33 Ayat 3 tentang sumber daya alam. Mari kita melihat, apakah semua sumur minyak dan gas, batu bara, perikanan, perkebunan, dan sebagainya dikuasai negara juga dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Blok Masela yang di depan mata rakyat Maluku, seolah rakyat Maluku tidak berhak dan tidak perlu diajak bicara. Situasi ini hampir terjadi di semua daerah yang kaya sumber daya, tapi justru rakyatnya hidup dalam kemiskinan.

Untuk itu, siapa pun presiden yang terpilih, ia perlu mengembalikan semangat pengelolaan perekonomian negara sesuai semangat awal dari para generasi terdahulu. Sistem ekonomi dalam Pasal 33 ini menjamin terjadinya demokrasi negara. Kita tidak bisa hanya berbicara seolah kita menjadi negara demokratis setelah menggelar pemilihan umum dan pilkada. Itu hanya demokrasi politik. Roh dari demokrasi ekonomi itu ada dalam Pasal 33 UUD 1945.

Demokrasi politik bicara kalah dan menang, bicara mayoritas-minoritas, bicara prosedural. Demokrasi ekonomi bicara soal keadilan sosial, keadilan ekonomi, kesetaraan, atau substansi. Jadi, siapa pun yang mengaku sebagai demokratis, tidak ada jalan lain selain mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi.

Kita harus bersyukur karena Indonesia ditakdirkan menjadi negara yang unik karena memiliki wilayah dengan kombinasi daratan dan lautan demikian luas. Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di Dunia.

Pengakuan sebagai negara kepulauan tidak datang sendirinya, tetapi melalui perjuangan diplomasi yang tidak kenal lelah, dimulai dengan Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi itu menegaskan, laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Padahal, dalam peraturan Belanda, wilayah laut Indonesia hanya sejauh 3 mil dari garis pantai. Artinya, di luar itu bukan merupakan laut RI. Namun, Deklarasi Djuanda telah menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Deklarasi Djuanda ini diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB pada 1982 atau dikenal dengan United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.

Esensi dasar negara kepulauan adalah laut dan daratan merupakan satu kesatuan. Semestinya, dalam pola pembangunan Indonesia harus memperlakukan wilayah laut dan daratan dalam setiap kebijakan pembangunan. Namun, sangat disayangkan karena dari satu periode pemerintahan ke pemerintahan lain, wilayah laut seolah menjadi “anak tiri”.

Hal ini, otomatis berdampak kepada daerah kepulauan, seperti Maluku, Maluku Utara, NTT, dan Kepulauan Riau. Jadi, tanpa mengubah orientasi pembangunan yang seimbang antara darat dan laut, provinsi kepulauan masih akan tetap tertinggal karena pembangunan provinsi kepulauan jelas jauh lebih sulit dan berat.

Untuk itu, pemerintahan baru harus melakukan terobosan untuk mengeluarkan kebijakan khusus bagi kabupaten kepulauan dan provinsi kepulauan. Ketika pemerintah memperlakukan provinsi kepulauan dan daratan secara sama, wilayah kepulauan akan terus tetap tertinggal.

Ironi Bangsa Pelaut

Untuk itu, sangat relevan untuk mengingatkan semua pengelola negara ini, jika para pemimpin terdahulu sudah mengingatkan betapa pentingnya mengalihkan perhatian ke wilayah laut. Pendiri negara ini, Bung Karno, pada 1953 pernah menyatakan, “Usahakanlah agar bisa menjadi bangsa pelaut; bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya, bukan sekadar jongos-jongos di kapal. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga; bangsa pelaut yang mempunyai armada militer; bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang laut itu sendiri.”

Bung Karno benar, anak-anak laut itu masih sekadar jongos di kapal-kapal karena ternyata bangsa pelaut itu tidak sibuk di laut, tetapi justru sibuk di daratan. Mereka lebih sibuk membeli tank, membangun tol, membangun jembatan antarpulau. Semua itu karena lupa membuat pabrik pengalengan ikan, membuat keramba, membuat kapal untuk nelayan.

Pengelola negara lupa, negara ini tidak mungkin disatukan oleh jembatan sehebat apa pun karena negara ini telah disatukan oleh laut. Ketika nasihat Bung Karno ini dilupakan, jangan heran kalau bangsa pelaut itu akhirnya mengimpor ikan teri, mengimpor garam, mengimpor ikan segar dan mengimpor semua yang sesungguhnya melimpah di Indonesia.

Ketidakadilan terhadap wilayah laut itu bukan isapan jempol belaka. Selama ini, formula Dana Alokasi Umum (DAU) hanya memperhitungkan wilayah kontinental. Wilayah laut tidak diperhitungkan.

Akibatnya, DAU provinsi kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas lebih sedikit dibandingkan provinsi kontinental. Wilayah kepulauan yang memang memiliki wilayah laut, juga semakin terhimpit karena jumlah penduduknya relatif lebih sedikit. Padahal, indikator seperti ini sangat subjektif dan masih bisa diperdebatkan.

Untuk itu, kita berharap pemerintahan baru harus memastikan prioritas infrastruktur selama lima tahun ke depan bergeser ke timur. Itu karena kesenjangan infrastruktur kawasan sudah terlalu lebar. Setiap proyek infrastruktur rakasasa di kawasan barat, sesungguhnya melukai perasaan anak bangsa di kawasan lainnya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar