Lima
Tanjakan Mendikbud Baru
Sudaryanto ;
Dosen FKIP UAD, Pengajar Tamu di Guangxi
University for Nationalities
|
HALUAN,
02 Juli 2014
Saat ini, sosok yang tepat menduduki posisi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) 2014-2019 memang belum jelas. Namun, tanjakan demi
tanjakan pendidikan yang dihadapi oleh Mendikbud-baru sudah jelas di depan
mata.
Tulisan ini akan mengupas lima
tanjakan pendidikan, baik dari lingkup pendidikan tinggi maupun pendidikan
dasar dan menengah. Pertanyaannya kini, apa-apa sajakah tanjakan pendidikan
tersebut?
Tanjakan pertama ialah soal
jenjang pendidikan para dosen, baik dari PTN maupun PTS. Berdasarkan data
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013), jumlah dosen di Indonesia yang
berjenjang pendidikan S-1 tercatat 7.638 (PTN) dan 46.766 (PTS). Sementara
itu, dosen berjenjang pendidikan S-2 tercatat 44.459 (PTN) dan 58.396 (PTS),
dan S-3 tercatat 11.720 (PTN) dan 6.043 (PTS). Apa yang dapat dibaca dari
angka-angka statistik itu?
Baik PTN maupun PTS sama-sama
memiliki persoalan krusial, yaitu mendorong dosen untuk studi lanjut,
khususnya ke jenjang magister (S-2). Khusus PTS, persoalan tersebut menjadi
kian pelik, mengingat padatnya jadwal mengajar dosen di kampus serta mahalnya
biaya studi lanjut. Persoalan lainnya, khusus PTS pula, minimnya jumlah dosen
yang berjenjang doktor (S-3). Untuk itu, Ditjen Dikti Kemdikbud perlu
memperhatikan hal yang satu ini.
Jam Mengajar vs “Jam
Riset”
Tanjakan kedua berupa tingginya
jam mengajar para dosen dibandingkan “jam riset”-nya. Berdasarkan survei QS
University Rangkings (2014), diperoleh fakta bahwa dosen PT kita masih kurang
dalam hal produktivitas penelitian. Hal itu wajar, mengingat tingginya jam
mengajar para dosen, baik di kampus sendiri maupun di kampus lain. Jangankan
dosen bergelar guru besar, dosen bergelar magister saja banyak yang malas
melakukan penelitian.
Alhasil, jika seorang dosen
telah malas melakukan penelitian, maka dirinya juga tak mampu menghasilkan
publikasi ilmiah. Dari sini, persoalan berikutnya terjadi, yaitu kesulitan
untuk mengurus jabatan akademik. Pasalnya, salah satu syarat untuk mengurus
jabatan akademik ialah adanya publikasi ilmiah berupa artikel jurnal, baik
yang terakreditasi maupun yang belum terakreditasi. Bagaimana ingin publikasi
jurnal jika dosen itu ternyata malas penelitian?
Sebetulnya, solusi atas
persoalan tersebut cukup gampang, yaitu adanya sanksi tegas dari pihak kepala
program studi (kaprodi). Jujur saja, saya belum pernah mendengar berita
kaprodi berani “menjewer” salah seorang dosennya karena malas penelitian dan
publikasi ilmiah. Alih-alih begitu, justru yang pernah terjadi ialah pihak
senat fakultas (representasi dari sejumlah kaprodi) “menjewer” dosen yang
bermasalah dalam hal mengajar, bukan penelitian dan publikasi.
Tanjakan ketiga ialah gejala
mati-suri sejumlah jurnal ilmiah dari PTN dan PTS. Di Fakultas Bahasa dan
Seni UNJ, dua jurnal milik Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Arkais dan Analisis, kini tengah mati-suri.
Kondisi itu terjadi lantaran banyak faktor, antara lain, nihilnya dana
penerbitan dan sedikitnya naskah artikel. Jika pihak Dikti jeli akan
persoalan ini, saya yakin, betapa banyak kampus mengalami gejala mati-suri jurnal
ilmiah.
Gejala serupa juga diidap oleh
sejumlah kampus yang memiliki sekolah/program pascasarjana (SPs/PPs). Di PPs
Unnes dan UNS, misalnya, beberapa prodi S-2 “tiba-tiba” memiliki jurnal
ilmiah guna mendukung publikasi hasil tesis mahasiswa. Sepintas, hal ini
memang layak diacungi jempol, namun persoalan akreditasi jurnal tetap
terabaikan oleh pengelola jurnal. Jadi, jurnal ilmiah yang “tiba-tiba” itu
tetap sia-sia alias muspra.
Hemat saya, pihak Ditjen Dikti,
khususnya yang menangani penerbitan ilmiah, dapat melakukan sejumlah hal.
Pertama, melakukan evaluasi secara rutin dan bertahap terhadap pengelola
jurnal ilmiah di Indonesia, baik yang berbasis program studi, jurusan,
hingga fakultas. Kedua, mendorong pengelola jurnal ilmiah untuk lebih aktif
“mengakreditasikan” jurnal mereka sehingga dapat terbit secara rutin dan
mencapai predikat A (unggul).
Fokus Pelatihan Guru
Tanjakan keempat dan kelima
ialah persoalan pelatihan guru dan implementasi Kurikulum 2013. Pelatihan
guru merupakan faktor kunci atas berhasil-tidaknya implementasi kurikulum
baru tersebut. Jujur diakui, tak ada keberhasilan kurikulum di kelas tanpa
campur-tangan seorang guru. Untuk itu, Kemdikbud, khususnya Ditjen Dikdasmen
dan Badan Pengembangan SDM Pendidikan perlu lebih memperhatikan persoalan
pelatihan guru.
Becermin dari para guru di Kota
Shanghai, Tiongkok, yang mendapatkan pelatihan selama 240 jam dalam kurun
lima tahun (Elin Driana, 2012), tak ada salahnya jika para guru di Indonesia
juga mendapatkan hal serupa. Tiap bulan ada 4 jam pelatihan yang wajib
dilaksanakan oleh pihak Disdikpora untuk para guru semua bidang studi, baik
dari sekolah negeri maupun sekolah swasta. Dalam pelatihan itu, disampaikan
pula keunggulan-keunggulan Kurikulum 2013.
Salah satu keunggulan dari kurikulum
baru itu ialah praktik pembelajaran tematik-integratif. Ada tiga keunggulan
dari praktik pembelajaran tematik-integratif. Pertama, guru antarbidang
studi dapat berdiskusi perihal tema, materi ajar, dan penilaian kompetensi
siswa. Kedua, siswa dilatih untuk berpikir secara kompleks dan satu-padu
antarpelajaran. Dan ketiga, siswa-guru dapat memahami adanya interkoneksitas
keilmuan di ranah sekolah/kelas.
Sayangnya, ketiga keunggulan
dari praktik pembelajaran tematik-integratif di atas tak banyak dilirik oleh
para guru. Alih-alih melirik potensi tersebut, justru banyak guru mengalami
kegamangan atas praktik pembelajaran tersebut. Sebetulnya, jika pemerintah
rutin mengadakan pelatihan bagi guru tiap bulan, kegamangan para guru dapat
ditekan seminimal mungkin. Ibarat hadiah, para guru cukup terkejut (shock) tatkala mengetahui kurikulum
baru di hadapannya.
Untuk itu, sekali lagi
ditegaskan bahwa tak ada keberhasilan kurikulum di kelas tanpa campur-tangan
seorang guru. Dalam konteks inilah, bisa dipahami bahwa pelatihan guru
memegang peran penting dalam implementasi sebuah kurikulum. Tanpa itu,
perubahan kurikulum sekadar angin lalu; sementara para guru tetap mengajar
di kelas dengan cara-cara lama. Semoga hal ini dapat diperhatikan oleh Mendikbud
yang terpilih nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar