Sabtu, 05 Juli 2014

Lima Tanjakan Mendikbud Baru

                              Lima Tanjakan Mendikbud Baru

Sudaryanto  ;   Dosen FKIP UAD, Pengajar Tamu di Guangxi
University for Nationalities
HALUAN,  02 Juli 2014
                                                


Saat ini, sosok yang tepat menduduki po­sisi Menteri Pen­didikan dan Kebu­dayaan (Mendikbud) 2014-2019 memang belum jelas. Namun, tanjakan demi tan­jakan pen­didikan yang dihadapi oleh Mendikbud-baru sudah jelas di depan mata.
Tulisan ini akan mengupas lima tanjakan pendidikan, baik dari lingkup pendidikan tinggi maupun pendidikan dasar dan menengah. Pertanyaannya kini, apa-apa sajakah tanjakan pendidikan tersebut?

Tanjakan pertama ialah soal jenjang pendidikan para dosen, baik dari PTN maupun PTS. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013), jumlah dosen di Indo­nesia yang berjenjang pendi­dikan S-1 tercatat 7.638 (PTN) dan 46.766 (PTS). Sementara itu, dosen berjenjang pendidikan S-2 tercatat 44.459 (PTN) dan 58.396 (PTS), dan S-3 tercatat 11.720 (PTN) dan 6.043 (PTS). Apa yang dapat dibaca dari angka-angka statistik itu?

Baik PTN maupun PTS sama-sama memiliki persoalan krusial, yaitu mendorong dosen untuk studi lanjut, khususnya ke jenjang magister (S-2). Khusus PTS, persoalan tersebut menjadi kian pelik, mengingat padatnya jadwal mengajar dosen di kampus serta ma­halnya biaya studi lanjut. Persoalan lainnya, khusus PTS pula, minimnya jumlah dosen yang berjenjang doktor (S-3). Untuk itu, Ditjen Dikti Kem­dikbud perlu memperhatikan hal yang satu ini.

Jam Mengajar vs “Jam Riset”

Tanjakan kedua berupa tingginya jam mengajar para dosen dibandingkan “jam riset”-nya. Berdasarkan survei QS University Rangkings (2014), diperoleh fakta bahwa dosen PT kita masih kurang dalam hal produktivitas penelitian. Hal itu wajar, mengingat tingginya jam mengajar para dosen, baik di kampus sendiri maupun di kampus lain. Jangankan dosen bergelar guru besar, dosen bergelar magister saja banyak yang malas melakukan penelitian.

Alhasil, jika seorang dosen telah malas melakukan pene­litian, maka dirinya juga tak mampu menghasilkan publi­kasi ilmiah. Dari sini, persoalan berikutnya terjadi, yaitu kesulitan untuk mengurus jabatan akademik. Pasalnya, salah satu syarat untuk mengurus jabatan akademik ialah adanya publikasi ilmiah berupa artikel jurnal, baik yang terakreditasi maupun yang belum terakreditasi. Bagaimana ingin publikasi jurnal jika dosen itu ternyata malas penelitian?

Sebetulnya, solusi atas persoalan tersebut cukup gampang, yaitu adanya sanksi tegas dari pihak kepala pro­gram studi (kaprodi). Jujur saja, saya belum pernah mendengar berita kaprodi berani “menjewer” salah seorang dosennya karena malas penelitian dan publikasi ilmiah. Alih-alih begitu, justru yang pernah terjadi ialah pihak senat fakultas (representasi dari sejumlah kaprodi) “menjewer” dosen yang bermasalah dalam hal mengajar, bukan penelitian dan publikasi.

Tanjakan ketiga ialah gejala mati-suri sejumlah jurnal ilmiah dari PTN dan PTS. Di Fakultas Bahasa dan Seni UNJ, dua jurnal milik Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Arkais dan Analisis, kini tengah mati-suri. Kondisi itu terjadi lantaran banyak faktor, antara lain, nihilnya dana penerbitan dan sedikitnya naskah artikel. Jika pihak Dikti jeli akan persoalan ini, saya yakin, betapa banyak kampus mengalami gejala mati-suri jurnal ilmiah.

Gejala serupa juga diidap oleh sejumlah kampus yang memiliki sekolah/program pascasarjana (SPs/PPs). Di PPs Unnes dan UNS, misalnya, beberapa prodi S-2 “tiba-tiba” memiliki jurnal ilmiah guna mendukung publikasi hasil tesis mahasiswa. Sepintas, hal ini memang layak diacungi jempol, namun persoalan akreditasi jurnal tetap terabaikan oleh pengelola jurnal. Jadi, jurnal ilmiah yang “tiba-tiba” itu tetap sia-sia alias muspra.

Hemat saya, pihak Ditjen Dikti, khususnya yang me­nanga­ni penerbitan ilmiah, dapat melakukan sejumlah hal. Pertama, melakukan evaluasi secara rutin dan bertahap terhadap pengelola jurnal ilmiah di Indonesia, baik yang berbasis program studi, ju­rusan, hingga fakultas. Kedua, mendorong pengelola jurnal ilmiah untuk lebih aktif “mengakreditasikan” jurnal mereka sehingga dapat terbit secara rutin dan mencapai predikat A (unggul).

Fokus Pelatihan Guru

Tanjakan keempat dan kelima ialah persoalan pelatihan guru dan implementasi Ku­rikulum 2013. Pelatihan guru merupakan faktor kunci atas berhasil-tidaknya implementasi kurikulum baru tersebut. Jujur diakui, tak ada keberhasilan kurikulum di kelas tanpa campur-tangan seorang guru. Untuk itu, Kemdikbud, khu­susnya Ditjen Dikdasmen dan Badan Pengembangan SDM Pendidikan perlu lebih mem­perhatikan persoalan pelatihan guru.

Becermin dari para guru di Kota Shanghai, Tiongkok, yang mendapatkan pelatihan selama 240 jam dalam kurun lima tahun (Elin Driana, 2012), tak ada salahnya jika para guru di Indonesia juga menda­patkan hal serupa. Tiap bulan ada 4 jam pelatihan yang wajib dilaksanakan oleh pihak Disdikpora untuk para guru semua bidang studi, baik dari sekolah negeri maupun sekolah swasta. Dalam pelatihan itu, disampaikan pula keunggulan-keunggulan Kurikulum 2013.

Salah satu keunggulan dari kurikulum baru itu ialah praktik pembelajaran tematik-integratif. Ada tiga keung­gulan dari praktik pembe­lajaran tematik-integratif. Pertama, guru antarbidang studi dapat berdiskusi perihal tema, materi ajar, dan peni­laian kompetensi siswa. Kedua, siswa dilatih untuk berpikir secara kompleks dan satu-padu antarpelajaran. Dan ketiga, siswa-guru dapat memahami adanya inter­koneksitas keilmuan di ranah sekolah/kelas.

Sayangnya, ketiga keung­gulan dari praktik pembe­lajaran tematik-integratif di atas tak banyak dilirik oleh para guru. Alih-alih melirik potensi tersebut, justru banyak guru mengalami kegamangan atas praktik pembelajaran tersebut. Sebe­tulnya, jika pemerintah rutin mengadakan pelatihan bagi guru tiap bulan, kegamangan para guru dapat ditekan seminimal mungkin. Ibarat hadiah, para guru cukup terkejut (shock) tatkala menge­tahui kurikulum baru di hadapannya.

Untuk itu, sekali lagi ditegaskan bahwa tak ada keberhasilan kurikulum di kelas tanpa campur-tangan seorang guru. Dalam konteks inilah, bisa dipahami bahwa pelatihan guru memegang peran penting dalam imp­lementasi sebuah kuri­kulum. Tan­pa itu, peru­bahan ku­rikulum sekadar angin lalu; sementara para guru tetap mengajar di kelas dengan cara-cara lama. Semoga hal ini dapat diper­hatikan oleh Men­dikbud yang terpilih nanti.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar