Fitnah
“Center”
Mohamad Sobary ;
Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 02 Juli 2014
Jokowi bermandikan fitnah. Ia disebut nonmuslim, kafir dan gelar
haji (H) di depan namanya dibuat menjadi nama nonmuslim. Statusnya hanya
“boneka” dan banyak lagi fitnah yang di dalam hukum pidana kita dikategorikan
sebagai perlakuan tak menyenangkan. Anehnya, Jokowi ayem saja.
Siapa yang memfitnah? Kita tidak tahu persis. Tapi, ia pastilah
tukang fitnah. Mengapa memfitnah? Apa lagi alasannya kalau bukan karena iri,
dengki, dan segenap penyakit jiwa lainnya. Mengapa ia iri? Itu karena Jokowi
baik, lurus, jujur, tulus, dan hebat. Watak-watak tersebut—juga
kehebatan—memang menjadi sumber iri dan dengki. Mungkin rasa-rasa itu sampai
di ubun-ubun.
Mengapa ia tak bersyukur karena ada orang baik, lurus, jujur,
tulus, dan hebat? Ini karena ia sendiri tidak baik, tidak lurus, tidak jujur,
tidak tulus, apalagi ia juga tidak hebat. Begitulah kenyataan hidup.
Begitulah watak iri dan dengki yang selalu berkembang dalam diri macam itu.
Siapa dia sebenarnya? Dulu di zaman perang dingin, ketika
penguasa dunia hanya di tangan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet—dua musuh
bebuyutan yang tak mungkin diajak kompromi—ada “dalil moral-politik” yang
menyebutkan, barang yang menguntungkan Soviet, merugikan AS. Dengan
sendirinya, begitu juga sebaliknya.
Di saat ini, dalil itu berlaku: barang yang menguntungkam
Jokowi, merugikan musuh-musuhnya. Tentang siapa dia tadi, jawabnya jelas:
musuhnya. Kata “musuh” ini dibuat di sini bukan oleh Jokowi sebab ia tak
punya musuh. Kepada pihak sana, ia menyebutnya “mitra tanding”.
Mitra itu pasangan, partner. Kata-kata itu artinya bukan musuh,
melainkan lebih dekat kepada makna kawan. Jokowi tak menyebutnya lawan, bukan
pula musuh.
Tetap Kalem
Pada zaman genting, masa “goro-goro” yang membikin hidup ini
gonjang-ganjing, sekitar 1965-1966, berlaku “adagium moral-politik” yang
lain: fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.
Ini ungkapan serius. Dalam pergaulan sehari-hari antarteman,
jika ada yang kebetulan menyatakan fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan
tadi, ada saja yang segera menimpali: meskipun begitu, lebih baik aku
difitnah daripada dibunuh.
Orang-orang ketawa. Ya, begitulah kehidupan. Ketika satu pihak
menyatakan ketegangan, yang lain mencari yang terasa rileks. Ketika seorang
kawan bersikap serius dengan rasa marah, kawan lain bersikap “setel kendo”, jangan tegang-tegangan
supaya jantung tidak terlalu dipaksa bekerja keras. Ini hukum keseimbangan
alam. Saat orang lain panas, selalu ada yang menghadirkan diri sebagai air.
Begitu juga sikap Jokowi. Ketika orang lain “ngeden-ngeden” supaya kelihatan hebat, ia bersikap “setel kendo”. Ketika orang lain
bicara keras biar dianggap tegas, Jokowi tetap kalem, tapi menyatakan sikap
dengan serius dan diam-diam “menyindir” lembut dengan cara Solo, “Saya juga
bisa bersikap tegas.” Ketika orang lain tampak berusaha menjadi orator yang
meniru orang besar yang tak mungkin ditiru, Jokowi bicara dengan hati
nuraninya, dengan langgamnya sendiri.
Ia tak perlu meniru, tak perlu bergaya. Ia tampil autentik, genuine, apa adanya. Ia tak ingin
menjadi orang lain karena dalam hidup, orang hanya akan menjadi diri sendiri.
Barang siapa berani menjadi dirinya sendiri, ia bisa menjadi pemimpin
autentik, genuine, sejati, bukan
tiruan, bukan loyang, tapi emas murni.
Mengapa yang lain meniru-niru gaya tokoh besar yang bukan
bandingannya? Ya boleh saja, tidak apa-apa. Boleh jadi ia tak punya apa-apa
yang bisa dipamerkan. Untuk pamer autentisitasnya mungkin ia merasa dalam
dirinya tak ada yang layak dipamerkan. Ya, begitulah kenyataan hidup.
Kita berkaca kepada Jokowi. Ia itu dianggap nonmuslim diam,
difitnah ia diam, dianggap hanya boneka jua diam. Kenapa harus risau?
Bukankah yang penting adalah dia dan hanya ingin menjadi dia sendiri? Ke mana
pun dia pergi, ibaratnya setinggi apa pun dia terbang, Jokowi ya Jokowi.
Orang ini percaya diri. Ia punya pesona dan memancarkan karisma.
Semuanya tulen, asli, autentik, murni; semurni emas, yang bukan niru-niru. Ia
bukan loyang tadi.
Di Jawa, banyak orang kalem seperti Jokowi. Tapi, mereka bukan
golongan pemimpin. Seperti Jokowi, tapi mereka bukan Jokowi. Jadi, jangan
pula niru-niru Jokowi karena hanya ia yang bisa menjadi Jokowi.
Dalam hidup yang penuh humor—Anda tahu, humor itu serius—ada
masa ketika di sela sebuah seminar, saya dan teman-teman bertukar cerita. Ada
yang serius sekali menyebut fitnah, yang menjengkelkan hatinya, dan seorang
teman dengan kalem—seperti tak merespons apa pun—berkata bahwa fitnah “center” sekarang ada di
mana-mana.
“Fitnah 'center'?” teriak seorang. Ia tak mengerti hubungan kata itu dengan fitnah
yang disebutkan temannya. Ia juga tak memahami pelesetan yang kreatif itu.
Tak tahu pelesetan “fitness center“,
tak berdosa, Mas. Tak usah ngeden-ngeden
seperti capres, percumalah, lagi pula belum tentu menang, kan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar