Pekerjaan Rumah dalam
Pembangunan Pertanian
Agus Pakpahan ;
Ketua Umum Badan Eksekutif
Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo)
|
KORAN
TEMPO, 02 Juli 2014
Sudah banyak dikemukakan hal-hal penting dalam pembahasan pembangunan
pertanian Indonesia oleh para analis atau pemikir kebijakan pembangunan kita.
Dalam tulisan singkat ini, saya hanya akan melengkapi satu hal, tapi sangat
prinsip, yaitu bagaimana kita mengatasi kecenderungan menurunnya harga-harga
komoditas primer pertanian dalam konteks tren jangka panjang dari komoditas
tersebut, yang akan berpengaruh pada perekonomian kita secara
keseluruhan.
Bank Dunia meramalkan pada 2025 nanti, antara lain, harga CPO akan
menurun dari US$ 835 per ton menjadi US$ 629 per ton; harga kakao akan
menurun dari US$ 2,30 per kilogram menjadi US$ 1,75 per kilogram; harga kopi
robusta akan menurun dari US$ 1,97 per kilogram menjadi US$ 1,42 per
kilogram; harga gula akan turun dari US$ 0,36 per kilogram menjadi US$ 0,28
per kilogram; dan harga beras akan turun dari US$ 403,3 per ton menjadi US$
314,5 per ton. Mengingat kita menyaksikan kebenaran ramalan Bank Dunia dalam
periode 1970-2000, seperti harga riil CPO turun dari US$ 1.000 per ton ke US$
300 per ton, kita perlu secara serius menyiapkan kebijakan dan strategi untuk
mengatasi kecenderungan jangka panjang (hingga 2025) harga-harga riil
komoditas pertanian yang diperkirakan akan menurun secara nyata.
Kebijakan yang sering disodorkan adalah peningkatan produksi dan
produktivitas. Apabila ini sukses dalam kondisi karakter ekonomi pertanian
tidak berubah, yang akan terjadi hanyalah involusi pertanian sebagaimana yang
telah disampaikan Geertz pada 1970-an. Artinya, petani akan semakin sengsara.
Jadi, apa kira-kira terobosan kebijakan untuk mengatasi masalah ini?
Agar kita lebih mudah melihat, kita lihat saja negara lain yang telah mampu
mengatasi masalah kecenderungan penurunan harga komoditas primer ini. Dari pengamatan ini, kita bisa menarik
kesimpulan: pertama, kita perlu berkonsentrasi dan bersungguh-sungguh
menyukseskan industrialisasi agro atau agroindustri. Sebagai ilustrasi,
Malaysia sudah lama menjadi net importir karet. Malaysia, dalam hal minyak
kelapa sawit, pun mengimpor cukup besar dari Indonesia. Kita bisa amati hasil
industri pangan Malaysia di kota-kota di Sumatera atau Kalimantan, cukup
banyak. Nilai tambah agroindustri merupakan penyumbang terbesar dalam
keseluruhan sistem agrobisnis. Karena itu, ia sangatlah strategis.
Kedua, perlunya membangun sistem pemasaran yang membangun kepastian
harga melalui sistem kontraktual antara pelaku bisnis besar dan petani yang
berhimpun dalam asosiasi-asosiasi petani atau koperasi petani. Sistem ini
dengan sendirinya menyeleksi pelaku bisnis besar yang berpihak pada
pengembangan ekonomi nasional, bukan pencari rente dari impor atau dari lahan
yang dikuasainya untuk tujuan rent seeking. Model sistem pemasaran gula
dengan menggunakan sistem dana talangan, yang telah melibatkan perguruan
tinggi dalam hal menilai titik impas usaha tani (break event point/BEP), dapat dijadikan referensi. Kesuksesan
model ini dibuktikan oleh dirinya sendiri, telah meningkatkan produksi gula
dari 1,5 juta ton (1999) menjadi 2,8 juta ton (2008).
Inti dari model institusi di atas adalah ia telah mampu memberikan
kepastian harga kepada para pelaku ekonomi, khususnya para petani; membangun
transparansi; melibatkan pihak terkait dengan akuntabilitas dan
responsibilitasnya yang terukur; membangun insentif untuk berpartisipasi
secara positif; dan menempatkan pemerintah pada posisinya yang pas untuk
menciptakan situasi positif baru dalam perekonomian yang menjadi target
kebijakannya. Tidak kalah penting, model institusi tersebut juga mampu
memberikan pendapatan langsung bagi pemerintah, bukan menggunakan dana APBN
dalam menjalankan program kebijakannya.
Ketiga, tentu saja efisiensi dan produktivitas pertanian tak boleh
tertinggal. Peningkatan efisiensi dan produktivitas ini sangat bergantung
pada kesungguhan investasi dalam R&D dan edukasi (RDE). Paling tidak 2,5
persen dari PDB pertanian dialokasikan untuk RDE. Dari RDE ini janganlah kita
berorientasi jangka pendek, tapi kita persiapkan RDE ini untuk Indonesia
jangka panjang, dengan siklus 25 tahun.
Ketiga hal di atas merupakan kesatuan. Apabila saya namakan strategi di
atas Trimatra Utama Pembangunan Pertanian (peningkatan produksi dan
produktivitas, pengelolaan pasar komoditas pertanian dan peningkatan nilai
tambah produk pertanian), maka secara institusional bidang agroindustri dan
perdagangan komoditas pertanian perlu menjadi yurisdiksi Kementerian
Pertanian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar