Pelaku
Pasar Menunggu 9 Juli
Nugroho SBM ;
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 07 Juli 2014
MENDEKATI
hari H pelaksanaan Pilpres 2014, nilai tukar rupiah melemah sampai Rp 12.000
per dolar AS. Apa penyebabnya? Kita
bisa merunut kausalitasnya dari dua faktor yang biasa dipakai dalam analisis
pasar valuta asing dan pasar modal, yaitu faktor fundamental dan teknikal.
Faktor fundamental adalah faktor-faktor ekonomi dan bersifat jangka panjang,
sedangkan faktor teknikal menyangkut faktor-faktor nonekonomi dan bersifat
jangka pendek.
Secara
fundamental memang ada beberapa alasan mengapa nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS melemah, baik karena faktor eksternal (luar negeri) maupun internal
(domestik). Faktor eksternal adalah menurunnya tingkat pengangguran di AS
dari 10% pada awal krisis keuangan 2009 menjadi hanya 6,3% tahun 2013, dan
diprediksi turun lagi tahun ini. Hal ini menyebabkan nilai tukar dolar AS
menguat terhadap hampir semua mata uang di dunia, termasuk rupiah.
Berkait
faktor internal di Indonesia, kita bisa menyebut pertama; ketatnya likuiditas
perbankan sehingga pertumbuhan kredit perbankan juga melambat. Kedua; defisit
transaksi berjalan (barang dan jasa) yang masih terus kita alami. Sampai
akhir 2013 dalam kerangka Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN atau ASEAN Free
Trade Area (AFTA), Indonesia hanya mencatat surplus terhadap Filipina dan
Malaysia.
Padahal
2015 AFTA ditingkatkan menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Belum lagi
defisit yang terjadi dengan China. dalam kerangka Kawasan Perdagangan ASEAN
dengan China, atau ASEAN China Free
Trade Area (ACFTA). Defisit transaksi berjalan berarti valuta asing lebih
banyak mengalir ke luar Indonesia dibanding yang masuk sehingga nilai tukar
valuta asing termasuk dolar AS menguat terhadap rupiah.
Ketiga;
inflasi tahunan 2014 diprediksi masih cukup tinggi, berkisar 7,3-7,5% berkait
Ramadan dan nantinya Lebaran. Inflasi berarti rupiah yang beredar bertambah,
sementara di sisi lain dolar AS tetap. Jika jumlah rupiah bertambah tapi
jumlah dolar AS tetap maka nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun akan
melemah.
Sehubungan
faktor eksternal dan internal, meskipun membuat rupiah melemah terhadap dolar
AS, semestinya pelemahan tersebut tak sampai membuat rupiah terjerembab
sampai ke level Rp 12.000 per dolar AS. Ada beberapa faktor yang sebenarnya
mengoreksi rupiah untuk tidak turun terlalu jauh terhadap dolar AS.
Secara
eksternal, meskipun pengangguran di AS turun, di sisi lain tingkat
pertumbuhan ekonomi AS 2014 diprediksi di atas 2,5% telah dikoreksi oleh The
Fed (Bank Sentral AS) menjadi hanya 2,1% karena pada triwulan pertama 2014
pertumbuhan ekonomi AS hanya mencapai 1,5%. Turunnya pertumbuhan ekonomi AS
ini mestinya membuat dolar AS melemah terhadap semua mata uang, termasuk
rupiah.
Adapun
faktor dalam negeri yang mestinya membuat rupiah terhadap dolar AS menguat
adalah adanya aliran dana asing yang masuk. Derasnya aliran dana asing yang
masuk ini membuat cadangan devisa Indonesia pada Mei 2014 mencapai 107 miliar
dolar AS dan membuat IHSG menguat sampai ke 5.000 meskipun kemudian turun
lagi karena aksi jual untuk mengambil untung ke level 4.845.
Bila
faktor fundamental tak bisa menerangkan mengapa rupiah terhadap dolar AS
turun sedemikian drastis maka penyebabnya bisa dicari dari faktor teknikal.
Secara teknikal, sebenarnya Pilpres 9 Juli 2014 merupakan sentimen positif
bagi pasar. Indonesia dipandang sebagai negara sedang berkembang dan berhasil
memasuki era demokrasi yang baik. Dalam pilpres rakyat memilih presiden
secara langsung yang merupakan ciri utama demokrasi negara maju.
Program Propasar
Tapi
kenapa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS justru melemah drastis sampai
mendekati Rp 12.000 per dolar AS? Jawabannya tak lain karena para pemilik
îuang panasî atau valuta asing masih menunggu hasil Pilpres 2014. Mengapa?
Pertama; karena hanya ada dua pasangan capres-cawapres maka persaingan di
antara keduanya sangat ketat dan panas.
Kedua;
elektabilitas kedua capres versi berbagai lembaga survei dari hari ke hari
makin berimbang. Jadi, makin mendekati 9 Juli makin ’’tidak jelas’’ siapa
yang nantinya jadi pemenang. Ketiga; setelah 9 Juli dan diketahui siapa
presiden-wakil presiden terpilih masih ditunggu juga apakah yang kalah
beserta pengikut dan pemilihnya bisa legawa menerima kekalahan? Keempat;
apakah program-program ekonomi presiden-wakil presiden benar-benar ramah
kepada pasar dan pelakunya?
Apa
yang sebaiknya dilakukan, khususnya oleh BI, untuk menahan turunnya nilai
rupiah terhadap dolar AS? Langkah terbaik adalah menunggu Pilpres 2014. Sampai menjelang tanggal coblosan pun bisa
diprediksikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belum menguat secara
signifikan.
Bank
Indonesia dalam siaran persnya sudah menyatakan hal itu, bahwa turunnya nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS bersifat sementara dan masih dalam batas aman.
Saya setuju dengan pernyataan BI karena intervensi pasar dengan menjual dolar
AS ke pasar atau menaikkan BI rate yang saat ini sudah 7,5% tak bakal bisa
menahan faktor teknikal ini.
Capres-cawapres
berserta pendukung dan rakyat pemilih hendaknya bisa mengendalikan diri
sehingga tak terjadi konflik sosial yang merugikan. Setelah memenangi
pilpres, presiden-wakil preside terpilih harus bisa meyakinkan dunia usaha
bahwa mereka ramah terhadap pasar dan siap membenahi akar masalah ekonomi.
Beberapa
masalah itu antara lain renegosiasi kontrak pertambangan, infrastruktur yang
buruk, korupsi dan birokrasi berbelit, pertumbuhan penduduk yang tinggi yang
akan mengancam bonus demografi, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar