Senin, 07 Juli 2014

Pekerjaan Rumah Defisit Demokrasi

                         Pekerjaan Rumah Defisit Demokrasi

Wawan Sobari  ;   Dosen Universitas Brawijaya
KORAN TEMPO,  04 Juli 2014
                                                


Ada dua fakta paradoksal mengenai pemilu presiden dan wakil presiden 2014. Di satu sisi, tingkat ketertarikan publik terhadap politik dan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga publik terbilang rendah. Di sisi lain, indikasi defisit demokrasi itu tidak menyurutkan minat publik terhadap pilpres 2014.

Menurut survei nasional Saiful Mujani Research & Consulting pada Februari 2012, ketertarikan publik terhadap masalah politik hanya 32 persen. Sementara itu, data survei nasional Cirus Surveyors Group (CSG) pada Desember 2013 mengungkapkan pesimisme publik terhadap kinerja partai politik, DPR, dan pemerintah. Sebanyak 79,2 persen responden tidak dan kurang percaya terhadap parpol; rerata 51,13 persen  responden yakin DPR belum menjalankan tiga fungsinya dan 59,7 persen merasa tidak diperjuangkan; dan rerata 34,68 persen responden menyatakan kurang puas dan kecewa terhadap 13 jenis pelayanan publik. Adapun survei CSG pada Februari 2014 menemukan sedikit perbaikan atas tingkat ketidakpercayaan terhadap parpol menjadi 75,01 persen.

Begitu pula tren partisipasi publik dalam pemilu legislatif dan pilpres. Pemilu legislatif 2009 mencatat partisipasi tertinggi hingga 92,74 persen. Sepuluh tahun kemudian, angka partisipasi menurun hingga 70,96 persen. Angka partisipasi pilpres setali tiga uang. Jumlah pemilih yang menggunakan haknya dalam pilpres 2009 tinggal 72,56 persen.

Sebaliknya, survei nasional Pol-Tracking Institute (PTI) pada Oktober 2013 menemukan 84 persen responden berminat mengikuti pilpres 2014. Lalu, survei PTI Januari dan Juni 2014 menunjukkan angka peningkatan minat untuk memilih dalam pilpres 2014 menjadi 84,9 persen dan 92,4 persen. Demikian juga angka partisipasi pada pemilihan legislatif 2014, naik 4,15 persen (75,11 persen).

Kemeriahan dukungan para sukarelawan terhadap kubu-kubu capres-cawapres merupakan fakta kontras lainnya. Kubu Jokowi-JK mengklaim telah mendapat dukungan dari hampir sejuta sukarelawan. Kubu Prabowo-Hatta mencatat sudah 820 elemen sukarelawan mendeklarasikan dukungannya di rumah Polonia, Jakarta, hingga akhir Juni 2014. Jumlah tersebut belum termasuk elemen sukarelawan yang mendeklarasikan dukungannya di daerah-daerah.

Kamus bahasa Indonesia mengenal kata sukarelawan atau volunter sebagai orang yang melakukan suatu pekerjaan secara sukarela. Para volunter bekerja atas dasar kemauan sendiri, dengan kerelaan hati.

Dalam kajian sosial, praktek-praktek volunterisme atau keterlibatan dalam lembaga-lembaga volunter merupakan indikasi utama tumbuhnya modal sosial (social capital). Putnam (1995) merinci elemen utama modal sosial dalam bentuk jejaring, norma, dan kepercayaan yang mendorong para volunter bekerja untuk mencapai tujuan bersama.

Sayangnya, penguatan praktek volunterisme dalam hal pilpres 2014 terjadi saat demokrasi mengalami defisit. Selain karena dominasi lembaga politik ketimbang aspirasi publik dalam membuat keputusan publik, lembaga-lembaga pilar demokrasi kurang mampu meredam tekanan nonpublik dalam mewujudkan tuntutan rakyat (Luckham, 2000). Padahal, lembaga-lembaga itu semestinya lebih responsif terhadap suara publik sebagai bukti menjalankan amanah  suara publik (akuntabilitas).

Untuk itu, gejala paradoks penguatan jejaring sukarelawan capres-cawapres di tengah defisit demokrasi atau keterpurukan kinerja parpol dan DPR bisa dimengerti. Penyebabnya, basis gerakan para sukarelawan bersandar pada tujuan mendukung figur capres atau cawapres, bukan identitas parpol pengusungnya. Bahkan, sangat mungkin para sukarelawan tak tertarik dengan parpol. Dengan tanpa mengatasnamakan parpol, gerakan mereka bisa lebih kuat karena tidak dibatasi sekat identitas politik yang kental kepentingan, cenderung konfrontatif, dan rendah kepercayaan.

Bonus modal sosial di tengah demokrasi yang nirsurplus merupakan pekerjaan rumah bagi siapa pun pemimpin terpilih dalam pilpres 2014. Presiden dan wapres terpilih mesti memiliki karakter kepemimpinan dan kebijakan yang mampu mengundang keterlibatan publik, sebagaimana antusiasme para sukarelawan.

Bukan sekadar populis, tipe kemimpinan partisipatoris sangat dibutuhkan dalam situasi melemahnya peran pemerintah karena berbagai tekanan. Terbitnya Inpres Nomor 4 Tahun 2014 yang menargetkan pemotongan belanja negara hingga Rp 100 triliun merupakan salah satu indikasinya. Peran entitas non-negara sangat dominan dalam menggerakan roda ekonomi, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.

Walhasil, siapa pun capres-cawapres terpilih nanti bukan saja harus mampu mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang terpecah karena perbedaan dukungan. Lebih dari itu, pemimpin terpilih mesti mampu memanfaatkan potensi besar volunterisme para sukarelawan. Kemudian, pemimpin dapat mentransformasikannya menjadi modal sosial untuk meminimalkan keterbatasan negara dalam memberi manfaat kepada rakyat.


padK q t l �� p( style='mso-bidi-font-style:normal'>Cameron government, dan last but not least kata SBY administration lebih sering terdengar daripada istilah SBY government.


Faktor Kecakapan

Dalam konteks dan perspektif ini, dalam urusan negara mestinya kriterium kecakapan atau kompetensi administrasi negara menjadi yang pertama dan utama. Lebih daripada itu, yang lebih penting dan relevan adalah cakap dalam mengelola administrasi negara dan menegakkan aturan atau undangundang. Itulah hakikat mengelola negara. Tak heran jika Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam era Khulafaurrasyidin, menggunakan standar kemampuan administrasi yang keras dalam memilih pejabat negara semacam wazir (menteri) atau gubernur lebih daripada kriterium kesalihan pribadi.

Sangat meyakinkan bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan diangkat oleh Umar bin Khattab menjadi gubernur Syam (Syria), Amru bin Ash di Mesir, dan Mughiroh di Kuffah adalah karena mereka dinilai sebagai orang-orang yang cakap, kuat, dan mumpuni dalam urusan eksekutif yang sarat dengan persoalan administratif. Meski Mu’awiyah pernah dipercaya menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW, reputasi keislaman dan etisnya tidaklah begitu mengesankan sebagaimana prestasi dan reputasi administratifnya dalam mengelola administrasi pemerintahan negara.

Perlu dicatat bahwa Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu penaklukan Mekkah (fathu Makkah) bersama-sama dengan ayahnya, Abu Sufyan. Toh demikian, ia diangkat juga oleh Umar menjadi gubernur Syam. Adalah sangat menarik ketika mengangkat dan melantik Amru bin Ash menjadi gubernur Mesir, Khalifah Umar bin Khattab berkata: ”Aku mengenal banyak orang dari kalangan Muhajirin yang jauh lebih baik dibanding Anda, namun aku mengangkat Anda menjadi gubernur dengan pertimbangan kecakapan”. Dalam kasus Provinsi Kuffah proses pengangkatan gubernur oleh Khalifah Umar juga tidak kurang menariknya.

Pasalnya dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi suksesi gubernur sampai empat kali. Setelah Gubernur Saad bin Abi Waqas gagal memerintah Kuffah, Umar mengangkat Amar bin Yasir sebagai penggantinya. Gubernur Amar ternyata gagal juga dan dia diberhentikan pula oleh Umar untuk kemudian diangkatlah Jubair bin Muth’im. Gubernur Jubir bin Muth’im tidak berhasil pula dalam melaksanakan tugasnya dan dipecat pula oleh Umar. Saat Khalifah Umar mengalamikebingunganakanmemilih siapa lagi yang akan diangkatnya menjadi gubernur menggantikan Jubir, datanglah Mughiroh menghadap kepadanya dengan membawa proposal dan menyatakan kemampuan dan kecakapannya untuk memerintah Provinsi Kuffah.

Umar menjawab lamaran itu dengan mengatakan: ”Kamu orang yang tidak senonoh perilakunya!” Jawab Mughiroh tegas: ”Kompetensiku untuk berbuat yang terbaik (dalam pemerintahan) adalah untuk Anda, sementara ketidaksenonohanku untuk aku sendiri.” Umar suka dengan jawaban ini dan diangkatlah Mughiroh! Ketika dikritik para sahabat, Umar menjawab dengan santai: ”Aku hanya memanfaatkan kemampuannya (dalam menangani urusan) pemerintahan!”

Bukan Kesalihan Individual ?

Pernah beberapa orang bertanya kenapa tidak mengangkat para sahabat Nabi yang dikenal alim dan salih, Umar menjawab: ”Aku tidak mau mencemari mereka dengan kemungkinan perbuatan (keliru)!” Di riwayat yang lain yang juga penulis kutip dari sejarawan syi’ah, Rasul Ja’farian, Sejarah Islam: Studi Kritis (hal 499), Umar menjawab bahwa dirinya tidak berniat merusak kealiman dan kesalihan para sahabat itu dengan urusan- urusan eksekutif yang menuntut kecakapan administratif.

Bagi Umar, soal kesalihan atau kejujuran dalam menjalankan pemerintahan itu penting, tetapi ada mekanisme penilaian lain. Walhasil, penyelenggaraan negara itu bukan soal kesalihan ritual atau etika individual, melainkan soal kemampuan mengurus public (respublica: urusan umum). Dikenal dalam sejarah sebagai tokoh yang keras, Umar lebih menyukai manajer yang keras pula dalam menjaga disiplin dan menjamin ditaatinya aturan sekalipun tidak begitu salih! Umar tidak memperlihatkan belas kasihan pada pelanggaran hukum dan peraturan, tak peduli siapa dan dari mana pelanggar hukum itu berasal.

Para gubernur dan anaknya sendiri pun tidak kebal dari murka Umar kalau sedang menegakkan aturan pemerintahan. Walhasil, yang dibutuhkan bukan sekadar figur populis, sederhana, dan berpribadi baik; juga bukan figur yang sekadar jagoan pidato saja, melainkan tokoh yang cakap yang menjamin tegaknya aturan dan undangundang! Indonesia yang sangat besar dan kompleks ini sedang menunggu administrator yang memiliki kecakapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar