Obor
Rakyat
Ahmad Taufik ;
Dosen Etika dan Hukum Jurnalistik di STIKOM Bandung
|
KORAN
TEMPO, 02 Juli 2014
Namanya saja "Obor Rakyat", bisa digunakan untuk tujuan
positif atau negatif. Nah, tabloid Obor Rakyat bisa menjadi alat bukti polisi
untuk menyeret seseorang ke proses pidana, jika ia digunakan untuk tujuan
negatif. Sekarang, dari sudut mana kita melihat tabloid Obor Rakyat itu?
Menjadi penerang sas-sus yang belum jelas atau membakar (baca memprovokasi)
orang yang membacanya.
Senin pekan lalu, tim hukum Joko Widodo dan Jusuf Kalla melaporkan
pengelola Obor Rakyat ke polisi. Biasanya, aturan yang dikenakan dalam kasus
seperti ini adalah penghinaan dan atau pencemaran nama baik, yang terdapat
dalam Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Laporan itu
bertambah kuat setelah Dewan Pers memberi sinyal Obor Rakyat bukan produk
jurnalistik dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga lepas tangan
sebagai bukan pelanggaran pemilu.
Berkaitan dengan pelanggaran pidana penghinaan dan atau pencemaran nama
baik, saya teringat makalah Nono Anwar Makarim, saat menjadi saksi dalam uji
materi Pasal 310 dan 311 KUHP di Mahkamah Agung pada 24 Mei 2008. Menurut
Nono, kriminalisasi penghinaan/pencemaran nama mulanya dimaksudkan guna
menjaga ketertiban umum.
Pada abad ke-13, orang yang merasa dihina menganggap dirinya wajib
menantang si penghina untuk berduel. Di Inggris, pada 1275, jumlah korban dan
kegaduhan yang ditimbulkan oleh penghinaan sedemikian rupa meningkat,
sehingga dibuat ketentuan tentang itu yang disebut Scandalum Magnatum dalam Statute
of Westminster.
Scandalum, sebut
saja begitu, berisi antara lain: "…sejak
sekarang tidak boleh lagi orang secara lancang mengutarakan atau menerbitkan
berita dan cerita bohong yang dapat menimbulkan konflik atau kemungkinan
konflik atau fitnah antara raja dan rakyatnya atau orang-orang besar di dalam
negeri ini." Aturan itu bertujuan untuk menciptakan proses pemulihan
nama baik secara damai. Terlalu banyak kegaduhan bersenjata dan korban jiwa
(saat itu) yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang
dianggapnya penghinaan oleh orang lain. Desas-desus pada masa itu gampang
sekali mengakibatkan adu anggar dan pistol di depan umum.
Saya sepakat dengan Budiarto Shambazy dalam dialog di Metro TV, agar
persoalan ini diselesaikan segera. Para pihak duduk bersama, tak perlu
mengajak polisi masuk dalam persoalan seperti ini. Cuma ada yang saya tak
bisa terima, ketika pengelola Obor Rakyat itu menyebut terbitannya sama
dengan tabloid Suara Independen di
zaman Orde Baru saat Soeharto berkuasa. Saya melihat ada kekeliruan pikiran
pengelola Obor Rakyat. Terutama dalam konteks zaman terbitnya.
Penerbitan alternatif muncul biasanya terjadi pada zaman rezim yang
menindas (otoriter), saat suara-suara kritis dibungkam penguasa, dipenjara,
"dihilangkan", bahkan dibunuh. Media massa disensor, dibreidel, dan
dimatikan. Lalu kebebasan berekspresi dikekang. Di berbagai belahan bumi, di
mana negaranya dipimpin pemerintahan yang otoriter dan militeristik, terbit
media "bawah tanah". Menyamakan Independen
dengan Obor Rakyat adalah
kekeliruan besar. Karena zaman seperti yang disebut di atas tidak ada lagi.
Media massa kini tak perlu lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
seperti pada saat Harmoko memimpin Kementerian Penerangan atau Surat Izin
Terbit (SIT) saat militer berkuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar