Parikesit
Purnawan Andra ; Peminat Kajian Sosial Budaya
|
KORAN
TEMPO, 11 Juli 2014
Pemimpin negeri ini perlu belajar dari Parikesit, raja belia Kerajaan
Astina selepas perang Bharatayudha. Alkisah, pada suatu hari, ia pergi
berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti
untuk beristirahat di pertapaan Bagawan Samiti yang sedang duduk bertapa
membisu. Ketika Sang Raja bertanya ke mana buruannya pergi, Bagawan Samiti
hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena
pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular
lalu mengalungkannya di leher Bagawan.
Sang Srenggi, putra Bagawan, naik pitam saat pulang ke rumah dan
mendapati bangkai ular melilit leher ayahnya. Ia mengucap kutukan bahwa Raja
Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan itu
diucapkan. Bagawan Samiti, sebagai tanda pengabdian kepada pemimpinnya,
mengutus muridnya untuk memberi tahu Sang Raja. Namun, Parikesit merasa malu
untuk meminta maaf demi mengakhiri kutukan tersebut. Dia memilih untuk
berlindung di sebuah puncak menara dengan pengawasan ketat. Tak ada seorang
pun bisa masuk menemuinya tanpa lolos dari penjagaan prajurit. Namun, takdir
berkata lain. Naga Taksaka, ular sakti pembunuh itu, mengubah diri menjadi
ulat dalam buah apel yang dihidangkan kepada raja. Parikesit pun mati digigit
Taksaka, yang telah kembali berubah wujud menjadi seekor ular raksasa.
Kisah Parikesit dalam wiracarita Mahabharata episode Adiparwa itu
menjadi analogi yang tepat bagi para pemimpin dan politikus yang selama ini
hibuk dengan retorika dan pencitraan politis yang tidak implementatif.
Pengalaman membuktikan selama ini negara laksana Kerajaan Astina yang penuh
menara gading tapi berjarak dengan rakyatnya. Para pemimpin membangun gedung
kantor tinggi berpenjaga ketat dan sibuk menyamankan diri dengan fasilitas
luks di dalam ruangannya.
Parikesit menjadi simbol pemimpin yang abai akan kondisi riil sosial
masyarakatnya. Ketika datang bahaya akibat kesombongannya, ia justru
berlindung di menara gading yang indah, namun tak mampu menjawab persoalan.
Padahal, persoalan bukan hanya untuk dianalisis, tapi juga membutuhkan solusi
yang aplikatif. Dalam konteks kompleksitas permasalahan bangsa kita, pemimpin
baru nantinya harus bisa mengambil peran tersebut.
Dengan logika tersebut, kehidupan berbangsa dan bernegara semestinya
dimaknai sebagai bangunan regulasi politik yang menegakkan fondasi hukum dan
ekonomi dengan tetap memperkuat ikatan-ikatan sosial antarwarga dan
mengembangkan logika kreatif dalam rangka mengokohkan peradaban. Caranya
adalah dengan menjamin edukasi moral, tanggung jawab sosial, demokrasi,
pendidikan, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril dan
material. Pemimpin baru harusnya tidak seperti Parikesit: bersembunyi di
menara gading menghindari persoalan yang ada, tapi mati saat menyantap
makanan yang dihidangkan kepadanya. Sungguh ironis, bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar