Sabtu, 12 Juli 2014

Parikesit

                                                                  Parikesit

Purnawan Andra  ;   Peminat Kajian Sosial Budaya
KORAN TEMPO, 11 Juli 2014
                                                


Pemimpin negeri ini perlu belajar dari Parikesit, raja belia Kerajaan Astina selepas perang Bharatayudha. Alkisah, pada suatu hari, ia pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat di pertapaan Bagawan Samiti yang sedang duduk bertapa membisu. Ketika Sang Raja bertanya ke mana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular lalu mengalungkannya di leher Bagawan.

Sang Srenggi, putra Bagawan, naik pitam saat pulang ke rumah dan mendapati bangkai ular melilit leher ayahnya. Ia mengucap kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan itu diucapkan. Bagawan Samiti, sebagai tanda pengabdian kepada pemimpinnya, mengutus muridnya untuk memberi tahu Sang Raja. Namun, Parikesit merasa malu untuk meminta maaf demi mengakhiri kutukan tersebut. Dia memilih untuk berlindung di sebuah puncak menara dengan pengawasan ketat. Tak ada seorang pun bisa masuk menemuinya tanpa lolos dari penjagaan prajurit. Namun, takdir berkata lain. Naga Taksaka, ular sakti pembunuh itu, mengubah diri menjadi ulat dalam buah apel yang dihidangkan kepada raja. Parikesit pun mati digigit Taksaka, yang telah kembali berubah wujud menjadi seekor ular raksasa.

Kisah Parikesit dalam wiracarita Mahabharata episode Adiparwa itu menjadi analogi yang tepat bagi para pemimpin dan politikus yang selama ini hibuk dengan retorika dan pencitraan politis yang tidak implementatif. Pengalaman membuktikan selama ini negara laksana Kerajaan Astina yang penuh menara gading tapi berjarak dengan rakyatnya. Para pemimpin membangun gedung kantor tinggi berpenjaga ketat dan sibuk menyamankan diri dengan fasilitas luks di dalam ruangannya.

Parikesit menjadi simbol pemimpin yang abai akan kondisi riil sosial masyarakatnya. Ketika datang bahaya akibat kesombongannya, ia justru berlindung di menara gading yang indah, namun tak mampu menjawab persoalan. Padahal, persoalan bukan hanya untuk dianalisis, tapi juga membutuhkan solusi yang aplikatif. Dalam konteks kompleksitas permasalahan bangsa kita, pemimpin baru nantinya harus bisa mengambil peran tersebut.

Dengan logika tersebut, kehidupan berbangsa dan bernegara semestinya dimaknai sebagai bangunan regulasi politik yang menegakkan fondasi hukum dan ekonomi dengan tetap memperkuat ikatan-ikatan sosial antarwarga dan mengembangkan logika kreatif dalam rangka mengokohkan peradaban. Caranya adalah dengan menjamin edukasi moral, tanggung jawab sosial, demokrasi, pendidikan, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril dan material. Pemimpin baru harusnya tidak seperti Parikesit: bersembunyi di menara gading menghindari persoalan yang ada, tapi mati saat menyantap makanan yang dihidangkan kepadanya. Sungguh ironis, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar