Sabtu, 12 Juli 2014

Jokowi dan Mangkunegara VII

                                 Jokowi dan Mangkunegara VII

Heri Priyatmoko  ;   Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
KORAN TEMPO, 10 Juli 2014
                                                


Pemilihan umum presiden 2014 telah usai. Kita juga telah melewati hari-hari yang "panas" oleh fitnah dan kampanye hitam. Tanggal 9 Juli 2014 adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, termasuk Jokowi. Dia menorehkan tinta emas dalam jagad perpolitikan di Indonesia.

Jokowi adalah representasi wong cilik. Sejak memegang kursi wali kota, dia telah menunjukkan kepedulian besar kepada masyarakat bawah, terutama dalam hal pendidikan. Warga yang tidak mampu secara ekonomi tetap dapat mengenyam bangku sekolah. Kecerdasan dan kepedulian Jokowi itu mengingatkan kita pada sosok Mangkunegara VII. Dia adalah tokoh lokal Solo yang juga menggetarkan dunia internasional dan berjaringan dengan filsuf luar negeri.

Dia priyagung berotak brilian lantaran mengakar semangat belajar yang kuat dalam tubuhnya. Ia berusaha keras memahami kebudayaan Jawa dan Barat yang bertolak belakang. Berkat mengeyam pendidikan di Belanda, meski tidak kelar, dia memadukan budaya luhur nenek moyang dengan konsep pendidikan Barat yang kritis.

Agar para kawula dari segala kelas sosial melek huruf, pada 1927, didirikanlah Solosche van Deventer School (sekolah Van Deventer). Di dalam gedung yang kini digunakan untuk kegiatan belajar SMPN 3 dan SMPN 10 tersebut, pelajaran Barat yang kudu dimamah sang murid antara lain bahasa Belanda, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu kesehatan, dan ilmu gizi. Biar tidak tercerabut dari akar budaya Jawa dan pemikiran para siswa tidak jomplang, mereka diajari membatik dan njoged (menari). 

Dalam kurun itu, ide Mangkunegara VII yang berhasil membikin pemerintah Belanda tercengang ialah berdirinya HIS Siswo, yang berlokasi di Jalan Ngarsopuro (sekarang SMPN 5) dan sekolah Siswo Rini, yang bertempat di bagian timur Pura Mangkunegaran. Sekolah ini khusus untuk menempa kaum hawa. Sungguh sebuah gagasan yang melampaui zaman, karena Mangkunegara VII, yang notabene hidup dalam lingkungan feodal, malah berani mendobrak unsur feodalisme yang menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tidak berhak mengenyam gurihnya pendidikan. Perempuan dikeluarkan dari belenggu tradisi budaya Jawa yang memposisikan mereka macak, manak, dan masak saja. Materi yang diajarkan adalah bahasa Melayu, bahasa Jawa, pengetahuan memasak, cara merawat buah hati, dan menjaga kebersihan lingkungan.

Salah besar kalau menganggap penduduk desa yang rumahnya jauh dari Pura Mangkunegaran tidak diberi kesempatan mencecap pelajaran sekolah. Gusti, bermodalkan setumpuk uang dari hasil bisnis perkebunan, juga memberikan akses pendidikan kepada mereka. Mangkunegara VII menyambut virus kemadjoean dengan memberantas buta sastra di seluruh area praja. Priyayi Mangkunegaran diwajibkan mendidik masyarakat supaya bisa masuk ke dunia kemodernan.

Sebagai orang Solo, mestinya Jokowi tidak lupa akan peran Mangkunegara VII dalam mencerdaskan penduduk. Sebisa mungkin ia meniru semangat Mangkunegara VII. Kemenangan Jokowi-JK dalam pemilu presiden 2014 adalah kemenangan rakyat, kemenangan mereka yang butuh pendidikan. Barangkali, dalam gegap gempita perayaan kemenangan Jokowi-JK ini, kita harus tetap ingatkan dan tagih janji beliau memajukan dunia pendidikan masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar