Jokowi
dan Mangkunegara VII
Heri Priyatmoko ; Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
|
KORAN
TEMPO, 10 Juli 2014
Pemilihan umum presiden 2014 telah usai. Kita juga telah melewati
hari-hari yang "panas" oleh fitnah dan kampanye hitam. Tanggal 9
Juli 2014 adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, termasuk Jokowi. Dia
menorehkan tinta emas dalam jagad perpolitikan di Indonesia.
Jokowi adalah representasi wong
cilik. Sejak memegang kursi wali kota, dia telah menunjukkan kepedulian
besar kepada masyarakat bawah, terutama dalam hal pendidikan. Warga yang
tidak mampu secara ekonomi tetap dapat mengenyam bangku sekolah. Kecerdasan
dan kepedulian Jokowi itu mengingatkan kita pada sosok Mangkunegara VII. Dia
adalah tokoh lokal Solo yang juga menggetarkan dunia internasional dan
berjaringan dengan filsuf luar negeri.
Dia priyagung berotak brilian lantaran mengakar semangat belajar yang
kuat dalam tubuhnya. Ia berusaha keras memahami kebudayaan Jawa dan Barat
yang bertolak belakang. Berkat mengeyam pendidikan di Belanda, meski tidak
kelar, dia memadukan budaya luhur nenek moyang dengan konsep pendidikan Barat
yang kritis.
Agar para kawula dari segala kelas sosial melek huruf, pada 1927,
didirikanlah Solosche van Deventer School (sekolah Van Deventer). Di dalam
gedung yang kini digunakan untuk kegiatan belajar SMPN 3 dan SMPN 10
tersebut, pelajaran Barat yang kudu dimamah sang murid antara lain bahasa
Belanda, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu kesehatan, dan ilmu gizi. Biar
tidak tercerabut dari akar budaya Jawa dan pemikiran para siswa tidak
jomplang, mereka diajari membatik dan njoged
(menari).
Dalam kurun itu, ide Mangkunegara VII yang berhasil membikin pemerintah
Belanda tercengang ialah berdirinya HIS Siswo, yang berlokasi di Jalan
Ngarsopuro (sekarang SMPN 5) dan sekolah Siswo Rini, yang bertempat di bagian
timur Pura Mangkunegaran. Sekolah ini khusus untuk menempa kaum hawa. Sungguh
sebuah gagasan yang melampaui zaman, karena Mangkunegara VII, yang notabene
hidup dalam lingkungan feodal, malah berani mendobrak unsur feodalisme yang
menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tidak berhak mengenyam gurihnya
pendidikan. Perempuan dikeluarkan dari belenggu tradisi budaya Jawa yang
memposisikan mereka macak, manak, dan masak saja. Materi yang diajarkan
adalah bahasa Melayu, bahasa Jawa, pengetahuan memasak, cara merawat buah
hati, dan menjaga kebersihan lingkungan.
Salah besar kalau menganggap penduduk desa yang rumahnya jauh dari Pura
Mangkunegaran tidak diberi kesempatan mencecap pelajaran sekolah. Gusti,
bermodalkan setumpuk uang dari hasil bisnis perkebunan, juga memberikan akses
pendidikan kepada mereka. Mangkunegara VII menyambut virus kemadjoean dengan
memberantas buta sastra di seluruh area praja. Priyayi Mangkunegaran
diwajibkan mendidik masyarakat supaya bisa masuk ke dunia kemodernan.
Sebagai orang Solo, mestinya Jokowi tidak lupa akan peran Mangkunegara
VII dalam mencerdaskan penduduk. Sebisa mungkin ia meniru semangat
Mangkunegara VII. Kemenangan Jokowi-JK dalam pemilu presiden 2014 adalah
kemenangan rakyat, kemenangan mereka yang butuh pendidikan. Barangkali, dalam
gegap gempita perayaan kemenangan Jokowi-JK ini, kita harus tetap ingatkan
dan tagih janji beliau memajukan dunia pendidikan masyarakat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar