Minggu, 06 Juli 2014

Noda Hate Campaign dalam Pilpres

                          Noda Hate Campaign dalam Pilpres

W Riawan Tjandra  ;   Dosen Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum
Universitas  Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO,  05 Juli 2014
                                                


Pemilu presiden (pilpres) merupakan mekanisme konstitusional untuk memilih pemimpin tertinggi eksekutif berdasarkan kehendak politik rakyat. Daulat rakyat (seharusnya) dapat diwujudkan melalui terpilihnya pemimpin tertinggi eksekutif berdasarkan prinsip pemilu yang baik (good electoral governance) seperti luber dan jurdil, transparan, akuntabel, fair competition, dan demokratis.

Pilpres 2014 kali ini cukup banyak diwarnai kampanye yang bukan saja merupakan kampanye negatif atau kampanye hitam, melainkan sudah menjurus ke arah kampanye penebar kebencian (hate campaign). Kampanye negatif merupakan kampanye yang memiliki ciri ada pengungkapan fakta yang disampaikan secara jujur dan relevan menyangkut kekurangan suatu calon atau partai. Berbeda dengan kampanye negatif, kampanye hitam biasanya hanya berisi tuduhan yang tidak berdasarkan fakta dan mengandung fitnah. Karena sifatnya yang mengandung unsur fitnah, kampanye hitam juga sering disebut sebagai kampanye penebar kebencian.

Namun, pada hate campaign sudah ada upaya untuk diwujudkan perilaku destruktif tertentu yang pada umumnya merusak demokrasi. Kampanye penebar kebencian yang hingga kini masih marak terjadi melalui media cetak/elektronik, internet, aksi publik dengan isu hate campaign tertentu yang by design dan sejenisnya. Kampanye hitam maupun kampanye penebar kebencian merupakan sesuatu yang sebenarnya (tidak) mudah untuk diusut dan diungkap, baik pelaku operasionalnya aktor intelektual (inisiatornya) bahkan penyandang dana di belakang berbagai bentuk kampanye hitam maupun kampanye penebar kebencian.

Itu disebabkan persenyawaan antara motif personal para pelakunya, kepentingan politik yang berkelindan dengan berbagai aksi kampanye tersebut, dan kapasitas institusi pengawas pemilu maupun penegak hukum yang harus menegakkan hukum pemilu. Kampanye penebar kebencian tak hanya terjadi di Indonesia saat ini. Di Amerika Serikat kampanye tersebut juga marak terjadi di era kontestasi politik antara Obama dan John McCain di era kampanye Pilpres AS lalu.

Karena semakin tidak populernya George W Bush, kubu Republik kelihatannya hanya dapat menjadikan warna kulit Obama sebagai satu-satunya alasan yang dapat mereka gunakan untuk melawannya. Partai Republik di masa itu seringkali memberikan toleransi dan mencetuskan penghinaan bernada rasisme, kebohongan bernada kebencian pada orang asing, serta desas-desus jahat. Seandainya dengan mengusung tema tersebut McCain menang, bisa jadi aksi kekerasan akan merebak di AS hingga saat ini. Namun, sejarah politik AS membuktikan bahwa Obama telah mampu menepisnya dan akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang.

Itu telah mengubah wajah baru dunia perpolitikan AS yang sejak dulu dikenal sangat keras dan kompetitif dalam kontestasi demokrasi untuk memilih orang nomor satu di AS. Kampanye penebar kebencian sangat destruktif dampaknya terhadap sistem demokrasi. Melalui kampanye tersebut, afiliasi pendukung/ pemilih telah dikonstruksi dengan membuat perbedaan yang tajam dengan pendukung/pemilih kubu capres lainnya dengan menjadikan pesaing sebagai lawan/musuh.

Kampanye penebar kebencian tersebut juga telah mengubah konstelasi demokrasi menjadi sebuah arena politik yang dikonstruksi sebagai sekadar pertaruhan menang- kalah yang tak jarang diwarnai semangat kebencian terhadap kubu pesaingnya. Demokrasi telah diturunkan derajat maknanya menjadi kontestasi kepentingan antar kandidat yang berimbas pada friksi sosial di aras akar rumput. Politik citra yang berupaya memoles sang kandidat bak malaikat tanpa dosa sambil mendelegitimasi citra publik pesaingnya, tak urung telah menutup realitas bahwa kandidat tersebut memiliki plusminus dalam rekam jejak masing-masing.

Kampanye penebar kebencian yang berupaya mengonstruksi citra jahat kandidat pemilu di benak publik/calon pemilih justru bisa berdampak terhadap menguatnya kebencian antarsegmen atau kelompok masyarakat. Kampanye penebar kebencian pada gilirannya justru akan menimbulkan suasana permusuhan dan friksi sosial karena nalar publik dimatikan dengan memainkan emosi publik melalui pencitraan jahat kandidat politik yang seringkali melampaui faktanya.

Mulai merebaknya kekerasan antarpendukung capres di Yogyakarta pada 24 Juni 2014 harus diantisipasi sebagai kian menajamnya kontestasi antara (pendukung) capres yang kini semakin mengarah pada friksi sosial yang sangat tidak sehat terhadap sistem demokrasi elektoral. Kasus kekerasan serupa sebelumnya terjadi di Yogyakarta, Solo, Jawa Timur, dan beberapa daerah lain. Anarkisme politik sudah mulai merebak, menyusul langkah lamban dari aparat penegak hukum dan pengawas pemilu dalam merespons berbagai bentuk kampanye penebar kebencian, baik yang disampaikan secara oral maupun tulisan.

Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan capres kali ini seharusnya diikuti penguatan sistem pengawasan dan penegakan hukum untuk kasus-kasus hukum pemilu oleh aparat yang diberi otoritas oleh undangundang. Negeri ini tidak ingin menjadi negeri yang gagal dalam melewati transisi demokrasi justru karena kegagalannya dalam berdemokrasi. Dalam kosakata ilmu politik, kata mobokrasi seringkali ditempatkan di belakang kata demokrasi.

Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat, tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai. Negeri ini seharusnya melalui demokrasi elektoralnya mampu membangun suatu demokrasi yang sejahtera (welfare democracy), bukan justru menciptakan mobokrasi atau? Mabuk-krasi? (pemerintahan yang dipimpin oleh elite yang haus kuasa dan jabatan dengan menghalalkan segala cara untuk berkuasa)!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar