Noda
Hate Campaign dalam Pilpres
W Riawan Tjandra ;
Dosen Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum
Universitas Atma
Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 05 Juli 2014
Pemilu presiden (pilpres) merupakan mekanisme konstitusional untuk
memilih pemimpin tertinggi eksekutif berdasarkan kehendak politik rakyat.
Daulat rakyat (seharusnya) dapat diwujudkan melalui terpilihnya pemimpin
tertinggi eksekutif berdasarkan prinsip pemilu yang baik (good electoral governance) seperti
luber dan jurdil, transparan, akuntabel, fair
competition, dan demokratis.
Pilpres 2014 kali ini cukup banyak diwarnai kampanye yang bukan saja
merupakan kampanye negatif atau kampanye hitam, melainkan sudah menjurus ke
arah kampanye penebar kebencian (hate
campaign). Kampanye negatif merupakan kampanye yang memiliki ciri ada
pengungkapan fakta yang disampaikan secara jujur dan relevan menyangkut
kekurangan suatu calon atau partai. Berbeda dengan kampanye negatif, kampanye
hitam biasanya hanya berisi tuduhan yang tidak berdasarkan fakta dan
mengandung fitnah. Karena sifatnya yang mengandung unsur fitnah, kampanye
hitam juga sering disebut sebagai kampanye penebar kebencian.
Namun, pada hate campaign
sudah ada upaya untuk diwujudkan perilaku destruktif tertentu yang pada
umumnya merusak demokrasi. Kampanye penebar kebencian yang hingga kini masih
marak terjadi melalui media cetak/elektronik, internet, aksi publik dengan
isu hate campaign tertentu yang by
design dan sejenisnya. Kampanye hitam maupun kampanye penebar kebencian
merupakan sesuatu yang sebenarnya (tidak) mudah untuk diusut dan diungkap,
baik pelaku operasionalnya aktor intelektual (inisiatornya) bahkan penyandang
dana di belakang berbagai bentuk kampanye hitam maupun kampanye penebar
kebencian.
Itu disebabkan persenyawaan antara motif personal para pelakunya,
kepentingan politik yang berkelindan dengan berbagai aksi kampanye tersebut,
dan kapasitas institusi pengawas pemilu maupun penegak hukum yang harus
menegakkan hukum pemilu. Kampanye penebar kebencian tak hanya terjadi di
Indonesia saat ini. Di Amerika Serikat kampanye tersebut juga marak terjadi
di era kontestasi politik antara Obama dan John McCain di era kampanye
Pilpres AS lalu.
Karena semakin tidak populernya George W Bush, kubu Republik
kelihatannya hanya dapat menjadikan warna kulit Obama sebagai satu-satunya
alasan yang dapat mereka gunakan untuk melawannya. Partai Republik di masa
itu seringkali memberikan toleransi dan mencetuskan penghinaan bernada rasisme,
kebohongan bernada kebencian pada orang asing, serta desas-desus jahat.
Seandainya dengan mengusung tema tersebut McCain menang, bisa jadi aksi
kekerasan akan merebak di AS hingga saat ini. Namun, sejarah politik AS
membuktikan bahwa Obama telah mampu menepisnya dan akhirnya berhasil keluar
sebagai pemenang.
Itu telah mengubah wajah baru dunia perpolitikan AS yang sejak dulu
dikenal sangat keras dan kompetitif dalam kontestasi demokrasi untuk memilih
orang nomor satu di AS. Kampanye penebar kebencian sangat destruktif
dampaknya terhadap sistem demokrasi. Melalui kampanye tersebut, afiliasi
pendukung/ pemilih telah dikonstruksi dengan membuat perbedaan yang tajam
dengan pendukung/pemilih kubu capres lainnya dengan menjadikan pesaing
sebagai lawan/musuh.
Kampanye penebar kebencian tersebut juga telah mengubah konstelasi
demokrasi menjadi sebuah arena politik yang dikonstruksi sebagai sekadar
pertaruhan menang- kalah yang tak jarang diwarnai semangat kebencian terhadap
kubu pesaingnya. Demokrasi telah diturunkan derajat maknanya menjadi
kontestasi kepentingan antar kandidat yang berimbas pada friksi sosial di
aras akar rumput. Politik citra yang berupaya memoles sang kandidat bak
malaikat tanpa dosa sambil mendelegitimasi citra publik pesaingnya, tak urung
telah menutup realitas bahwa kandidat tersebut memiliki plusminus dalam rekam
jejak masing-masing.
Kampanye penebar kebencian yang berupaya mengonstruksi citra jahat
kandidat pemilu di benak publik/calon pemilih justru bisa berdampak terhadap
menguatnya kebencian antarsegmen atau kelompok masyarakat. Kampanye penebar
kebencian pada gilirannya justru akan menimbulkan suasana permusuhan dan
friksi sosial karena nalar publik dimatikan dengan memainkan emosi publik
melalui pencitraan jahat kandidat politik yang seringkali melampaui faktanya.
Mulai merebaknya kekerasan antarpendukung capres di Yogyakarta pada 24
Juni 2014 harus diantisipasi sebagai kian menajamnya kontestasi antara
(pendukung) capres yang kini semakin mengarah pada friksi sosial yang sangat
tidak sehat terhadap sistem demokrasi elektoral. Kasus kekerasan serupa
sebelumnya terjadi di Yogyakarta, Solo, Jawa Timur, dan beberapa daerah lain.
Anarkisme politik sudah mulai merebak, menyusul langkah lamban dari aparat
penegak hukum dan pengawas pemilu dalam merespons berbagai bentuk kampanye
penebar kebencian, baik yang disampaikan secara oral maupun tulisan.
Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan capres kali ini
seharusnya diikuti penguatan sistem pengawasan dan penegakan hukum untuk
kasus-kasus hukum pemilu oleh aparat yang diberi otoritas oleh undangundang.
Negeri ini tidak ingin menjadi negeri yang gagal dalam melewati transisi
demokrasi justru karena kegagalannya dalam berdemokrasi. Dalam kosakata ilmu
politik, kata mobokrasi seringkali ditempatkan di belakang kata demokrasi.
Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang
berdaulat, tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun
kesepakatan dapat dibuat secara damai. Negeri ini seharusnya melalui
demokrasi elektoralnya mampu membangun suatu demokrasi yang sejahtera (welfare democracy), bukan justru
menciptakan mobokrasi atau? Mabuk-krasi? (pemerintahan yang dipimpin oleh
elite yang haus kuasa dan jabatan dengan menghalalkan segala cara untuk
berkuasa)! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar