Mengkaji
Ulang Penguasaan atas Sektor Migas
Gde
Pradnyana ; Praktisi Migas;
PhD Universitas
Oxford Bidang Fasilitas Produksi Migas Lepas Pantai
|
KOMPAS,
30 Juni 2014
Di
tengah makin melebarnya defisit neraca perdagangan minyak dan gas, diskursus
mengenai kedaulatan negara dalam sektor strategis ini menjadi relevan bahkan
penting untuk kembali didiskusikan. Terutama di saat masyarakat sedang
menilai kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh para calon presiden dalam
lima tahun mendatang. Sudahkah
negara benar-benar berdaulat di sektor minyak dan gas (migas) dari hulu
sampai hilir?
Konstitusi
kita mengamanatkan bahwa ”hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak
harus dikuasai negara”. Migas sebagai salah satu sumber energi jelas
menguasai hajat hidup orang banyak, karena itu dikuasai oleh negara.
Hal ini
yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001.
Namun, penguasaan negara yang dituangkan dalam UU Migas lebih menekankan pada
penguasaan di sisi hulu, yaitu dengan pembentukan ”badan pelaksana” yang
dimaksudkan sebagai perpanjangan tangan negara untuk melakukan manajemen
operasional industri hulu migas.
Sebagaimana
diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memutuskan bahwa pembentukan
”badan pelaksana” ini dianggap inkonstitusional dan mengamanatkan kepada
pemerintah untuk mengambil alih peran ”badan pelaksana” tersebut. Namun,
karena pengusahaan kegiatan hulu migas dilakukan berdasarkan kontrak, bukan
konsesi sebagaimana di pertambangan umum, dan pemerintah tidak boleh
berkontrak dengan swasta (perusahaan migas), maka pemerintah membentuk sebuah satuan kerja khusus untuk
mewakili pemerintah dalam berkontrak dan melaksanakan pengelolaan migas di
hulu.
Terlepas
dari persoalan sah-tidaknya pembentukan satuan kerja khusus tersebut,
pemerintah membutuhkan sebuah institusi untuk melaksanakan penguasaan negara
di sisi hulu.
Sementara di hulu dibutuhkan sebuah
”institusi pelaksana”, di sisi hilir UU Migas No 22/2001 hanya membentuk
”badan pengatur”, bukan ”badan pelaksana hilir”. Maknanya adalah pengelolaan
kegiatan hilir, khususnya distribusi BBM (bersubsidi maupun nonsubsidi) dan
gas pipa, diserahkan kepada swasta.
Pemerintah
hanya mengatur bagaimana perusahaan-perusahaan swasta (nasional maupun asing)
ini berbisnis di hilir tanpa benar-benar ikut campur tangan dalam kegiatan
hilir. MK membenarkan hal ini dan menolak gugatan untuk membubarkan ”badan
pengatur hilir”.
Terbatas sisi hulu
Pertanyaannya,
apakah frase ”yang menyangkut hajat hidup orang banyak” dalam konstitusi
terbatas minyak mentah yang diproduksi di hulu atau BBM yang dikonsumsi
masyarakat di hilir, atau keduanya?
Dengan pola yang ada pada UU Migas saat ini, penguasaan negara atas
industri migas hanya terbatas di sisi hulu. Padahal, persoalan utama ada di
sisi hilir, karena sektor hilirlah yang secara langsung bersentuhan dengan
kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Karena
tak sepenuhnya dikuasai negara, para pemain di sisi hilir dipersilakan
melakukan bisnisnya secara leluasa. Khusus untuk BBM, pemerintah menyerahkan
bisnis penjualan BBM nonsubsidi kepada swasta, baik nasional maupun asing,
dan BBM bersubsidi kepada Pertamina.
Penguasaan
negara atas BBM bersubsidi terbatas pada penetapan harga semata, sementara
dalam hal volume dan distribusi, pemerintah hanya bertindak sebagai
”pengatur”. Akibatnya, pemerintah seperti ”tersandera” untuk menyediakan
subsidi BBM dengan jumlah yang semakin lama semakin meningkat.
Di sisi
lain, PT Pertamina juga ikut tersandera. Sesuai amanat UU BUMN, Pertamina
tentu harus berorientasi mencari keuntungan bagi perusahaan yang pada
akhirnya akan diserahkan juga kepada pemerintah selaku pemegang saham.
Pembebanan tugas melaksanakan distribusi BBM bersubsidi (dikenal dengan
istilah public service obligation atau PSO) ini mengakibatkan Pertamina tidak
bisa sepenuhnya melaksanakan amanat UU BUMN untuk mencari keuntungan.
Di sisi
pembelanjaan perusahaan, Pertamina juga tak bisa leluasa berinvestasi dengan
pola korporasi. Pembatalan tindakan korporasi Pertamina saat menaikkan harga
elpiji 12 kilogram (yang nonsubsidi) dan pembatasan kepada Pertamina untuk
berinvestasi di kegiatan eksplorasi (yang sepatutnya jadi ujung tombak sebuah
perusahaan migas) adalah beberapa contoh nyata pembatasan-pembatasan yang
dialami Pertamina yang menyulitkannya tumbuh secara sehat.
Pembenahan sisi hilir
Tak
terlibatnya negara di sektor hilir juga menyebabkan belum terealisasinya
pembangunan kilang BBM baru yang sebenarnya sudah sangat mendesak di tengah
naiknya konsumsi BBM. Selama ini Pertamina cenderung dilepas sendiri
memperjuangkan proyek kilang BBM dan sering kali harus menghadapi begitu
banyak kendala. Bayangkan jika negara yang melaksanakan, maka proyek kilang
BBM akan menjadi tugas pemerintah dan dituangkan di dalam APBN.
Saat
defisit anggaran terjadi, tudingan yang banyak muncul adalah buruknya kinerja
sektor hulu. Turunnya lifting minyak menjadi kambing hitam atas defisit
neraca perdagangan, khususnya saat makin melebarnya defisit penerimaan dan pembelanjaan migas. Padahal,
hanya menggenjot sektor hulu untuk menutupi defisit anggaran ini jelas tidak menyelesaikan masalah. Pertama,
karena laju pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi menimbulkan peningkatan
kebutuhan BBM yang juga tinggi. Kedua, karena berapa pun banyaknya produksi
minyak yang dihasilkan di hulu, peningkatan konsumsi BBM akan sulit
dikendalikan jika masalah-masalah di hilir tidak dibereskan.
Dengan
demikian, pembenahan juga harus difokuskan di sisi hilir, baik dalam hal
kilang guna menghasilkan BBM maupun pembenahan atas berbagai sektor kegiatan
ekonomi yang mengonsumsi BBM, yang sejatinya sangat menguasai hajat hidup
orang banyak. Penguasaan negara di sisi hilir dapat diwujudkan dengan
pembentukan semacam ”bulog migas” yang berfungsi sebagai ”pelaksana di
hilir”.
Institusi
ini dapat diberi tugas melaksanakan PSO secara lebih luas yang meliputi
penyediaan, pengendalian, dan pengawasan distribusi migas di hilir.
”Pelaksana hilir” ini juga bertugas menjaga strategic-reserve (cadangan
nasional, baik dalam bentuk BBM maupun minyak mentah) untuk menjamin
ketersediaan energi, khususnya BBM dan gas bagi ketahanan nasional.
Seiring
dengan itu, pembenahan sektor transportasi (yang mengonsumsi hampir 70 persen
kebutuhan energi berbasis minyak), dan khususnya transportasi darat yang
mengonsumsi 90 persen lebih BBM bersubsidi menjadi sangat penting. Penguasaan
negara atas sektor hilir dapat menjadi solusi utama bagi langkah pembenahan
untuk mewujudkan penguasaan negara di bidang energi, khususnya migas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar